Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Lembaga Ilmu Pengetahuan Pariaman

31 Mei 2013 | 31.5.13 WIB Last Updated 2013-05-31T14:14:09Z





Salah satu bagian dari visi dan misi kami di Kota Pariaman adalah mendirikan Lembaga Ilmu Pengetahuan Pariaman (LIPP). LIPP bisa bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan berbagai lembaga riset yang dimiliki oleh kementerian, universitas dan swasta. Dengan adanya LIPP ini, pemerintah Kota Pariaman selalu berpijakan kepada riset, sebelum mengambil kebijakan yang strategis. Data-data riset bisa diambil dari Biro Pusat Statistik (BPS). 

Kenapa LIPP ini penting? Salah satu masalah dalam desentralisasi adalah kurangnya upaya pemerintah pusat dalam melakukan desentralisasi di bidang ilmu pengetahuan. Bahkan, perguruan tinggi masih menjadi domain atau kewenangan pemerintah pusat. “Kecurigaan” betapa ilmu pengetahuan bisa menjadi ancaman bagi sebuah negara, sebenarnya warisan mentalitas kolonial. Hampir seluruh studi di masa kolonial dipengaruhi oleh doktrin ini. Padahal, tanpa adanya dukungan kaum intelektual Belanda, kekuasaan yang sampai bertahan selama tiga setengah abad (tidak semua wilayah), tidak akan bertahan. 

Salah satu cara Belanda menguasai Indonesia adalah dengan mengirimkan para antropolog dan kaum intelektual untuk mempelajari masyarakat Indonesia. Cara itu juga dilakukan oleh pihak Amerika Serikat, sebelum memutuskan untuk menyerbu Jepang. Bahkan, di era Orde Baru, sejumlah buku dilarang oleh Kejaksaan Agung. Ada ketakutan yang lebih, dimana kata-kata yang disusun di dalam buku bisa memicu pembangkangan terhadap pemerintah. Walau upaya itu berakhir, dengan tidak lagi kita mengenal pembreidelan atau pelarangan buku, tetap saja ilmu pengetahuan sulit didapatkan di daerah-daerah, termasuk di Pariaman. 

Padahal, ketika kita berbicara soal ilmu pengetahuan, maka ia bisa menjadi kunci untuk membuka dunia. Ilmu pengetahuan adalah harta yang tak ternilai harganya, dibandingkan dengan emas atau berlian. Tanpa panduan ilmu pengetahuan, kekayaan apapun yang ada di sebuah daerah akan menjadi bencana sosial dan bencana ilmu sekaligus. Ilmu pengetahuan bisa membuat seseorang mengalami fase kehidupan yang menarik, sekalipun miskin secara material.

***

Saya masih ingat sebuah puisi yang ada dalam pelajaran sekolah, mungkin sekolah dasar atau sekolah menengah pertama. Puisi itu saya temukan lagi di internet:

Menyesal
(Aly Hasjmy)

Pagiku hilang sudah melayang,
Hari mudaku sudah pergi,
Sekarang petang datang membayang,
Batang usiaku sudah tinggi.

Aku lalai di pagi hari,
Beta lengah di masa muda,
Kini hidup meracun hati,
Miskin ilmu, miskin harta.


Ah, apa gunanya kusesalkan,
Menyesal tua tiada berguna,
Hanya menambah luka sukma.

Kepada yang muda kuharapkan,
Atur barisan di hari pagi,
Menuju ke arah padang bakti.


Sata sering membaca puisi itu di depan kelas, ketika ada pelajaran deklamasi. Dulu, saya menghafal isi puisi itu yang ada gambar seorang tua yang sedang melamun. Mungkin karena sering membaca puisi itu, sehingga sampai sekarang masih ada kata-katanya yang tersisa di kepala saya. 


Puisi itu menunjukkan betapa salah satu yang penting dalam hidup adalah ilmu. Ya, mungkin teori pertumbuhan sekarang menyebabkan orang mencari kekayaan, dalam hal ini harta benda. Namun, kehidupan yang paling miskin adalah miskin ilmu, juga miskin harta. Masalahnya, banyak orang yang punya harta, tetapi tidak punya ilmu. Sebaliknya, banyak juga orang yang punya ilmu, tetapi tidak punya harta.
Tetapi, kalau dipikirkan benar, tidak ada sebetulnya orang yang miskin, kalau punya ilmu. Kenapa? Karena ilmu itulah harta yang sebenarnya. Salah satu pepatah adat Minangkabau yang sudah saya ubah menyebut:

Kalau anak pai ka lapau, hiu bali nak, balanak bali, ikan panjang bali dahulu.
Kalau anak pai marantau, ilmu cari nak, dunsanak cari, induak samang cari dahulu.

Naskah lama yang sering saya dengar adalah “kalau anak pai ka rantau, ibu cari nak, dunsanak cari, induak samang cari dahulu”. Saya mengganti kata “ibu” dengan “ilmu”. Soalnya, ibu saya tidak di rantau, melainkan di ranah. Dengan cara itulah, saya mengutamakan ilmu, di samping tentu mencari dunsanak dan induak samang. Barangkali, karena pengejaran terhadap ilmu itu begitu tekun, saya terlambat dan bahkan sering lupa mencari induak samang (majikan).

***

Saya mulai menyadari menjadi “bodoh” kembali, ketika memutuskan terjun ke dunia politik pada tahun 2008. Barangkali karena sudah terbiasa dengan bahasa ilmu pengetahuan, saya kurang menyadari bahasa yang saya pakai ketika bertemu dengan masyarakat. “Bahaso waang katinggian, ndak mangarati kami,” begitu sambutan yang diberikan kepada saya. Ini bukan soal tinggi-rendahnya bahasa, atau ilmu, melainkan soal tak berakarnya kaum intelektual seperti saya di masyarakat. 


Padahal, salah satu tugas kaum intelektual (organis) adalah menggunakan bahasa rakyat. Dari sinilah, saya belajar kembali, menyamakan frekuensi, lalu menemukan bahwa masyarakat Minangkabau justru memiliki khazanah bahasa yang jauh lebih tinggi lagi. Ada banyak kiasan dalam berbahasa. Ada kata mendatar, kata menurun, kata mendaki dan kata melereng. Sayangnya, kemampuan berbahasa yang hebat itu, semakin hari semakin hilang di tengah gempuran teknologi informasi, termasuk via media cetak dan terutama elektronik. 

Nah, alangkah baiknya, di tengah situasi itu, muncul Lembaga Ilmu Pengetahuan Pariaman. Salah satu fungsinya adalah melestarikan kekayaan ilmu pengetahuan yang ada di Kota Pariaman. Kekayaan itu luar biasa, dari soal kuliner, pencak silat, nama-nama hewan, sampai dengan macam-ragam bahasa di pasar, lapau dan surau. LIPP menjadi pilar bagi ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat Kota Pariaman, khususnya, dan Piaman Laweh, umumnya. 

Ide dasar saya ketika mendirikan Nangkodo Baha Institute beranjak dari itu. Dulu, banyak yang tidak tahu siapa Nangkodo Baha. Kini, semakin orang mendengar namanya, semakin banyak muncul pertanyaan. Mitos dan legenda hidup kembali, dengan beragam versi dan tafsiran. Tabiat ilmu pengetahuan memang bukan menyeragamkan pendapat. Semakin berbeda, semakin baik, asal jelas metodologi yang dipakai dan teori menarik kesimpulan. 

Ketika ilmu pengetahuan menjadi bagian dari keseharian masyarakat Pariaman, maka problema kemiskinan semakin bisa disingkirkan. Jauh lebih sulit untuk mendirikan sebuah toko, ketimbang memberikan sebuah buku untuk dibaca oleh anak-anak sekolah. Saya ingat pengalaman India dengan daerah yang bernama Kerala yang ditulis Amartya Kumar Sen. Kerala lebih miskin dari daerah lain, tetapi usia harapan hidup masyarakatnya jauh lebih tinggi lagi. Kalau rata-rata di India usia harapan hidupnya 64 tahun, maka usia harapan hidup di Kerala adalah 75 tahun. 

Apa kunci kesuksesan Kerala? Salah satunya adalah buku begitu mudah didapatkan. Harga buku juga murah, dengan kertas yang tidak mahal. Saya tidak pernah ke Kerala, suatu saat nanti berniat kesana. Tapi apa yang teman-teman saya katakan tentang Kerala sungguh mengganggu pikiran: “Jangan coba berdebat soal filsafat dengan orang-orang miskin tua di Kerala, jangan-jangan kamu dipermalukan.” 

Dan saya membayangkan, entah berapa puluh tahun lagi, Kota Pariaman menjadi salah satu tujuan bagi wisatawan ilmu pengetahuan: “Berdebatlah dengan orang Pariaman, agar anda tak menyesal menjadi orang yang miskin harta."

Catatan Indra Jaya Piliang, Calon Walikota Pariaman
×
Berita Terbaru Update