Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Belajar dari Kisah Tasripin

27 Mei 2013 | 27.5.13 WIB Last Updated 2013-05-27T04:24:07Z




Kisah bocah kecil Tasripin telah mengoyak batin kita. Ketika pemimpin negeri ini bercerita tentang sesuatu di langit yang tinggi, tapi abai apa sebenarnya yang terjadi di bumi. Inilah bukti negara dengan belum menjalankan amanat yang diberikan rak­yatnya. 

Aparatur pemerintah al­pa melihat kenyataan. Asyik menghitung angka-angka kemiskinan di balik meja kekuasaannya. Sementara, kemiskinan fakta di lapangan tidak pernah tersentuh. Ki­sah Tasripin, bocah 12 tahun, dari Desa Gunung, Ke­ca­matan Cilongok Banyumas itu, merupakan puncak gunung es kemiskinan negeri ini. Korban kemiskinan struktural dan redupnya kepedulian sosial.

Mujurlah ada media massa yang peduli untuk mem­be­ritakan, jika tidak, kisah pilu Tasripin hanyalah angin lalu saja. Berbahagialah mereka yang telah mengabarkan kisah bocah ini, hingga seorang presiden harus turun tangan untuk menangani kasus ini. Semoga jadi ladang amal un­tuk terus berkabar.  

Sungguh pun demikian, pekerjaan belum selesai. Ada banyak kisah serupa di negeri ini. Mereka ada di jalan-jalan, di pintu-pintu mal, di sudut kota, sudut desa, terbiarkan untuk bekerja di atas rata-rata kemampuan orang dewasa. Mereka harus memikul tang­gung jawab besar. Seharusnya mereka berada di bangku se­kolah dan hidup dengan riang gembira dalam dunia kecilnya.

Amanat Undang Undang

Siapa yang peduli? Di ma­na negara, aparat pemerintah? Mereka tanggung jawab kita, sesuai dengan kapasitas ma­sing-masing, yang paling pen­ting, adakah keluarga kita yang masih telantar itu? Dalam amanat undang-undang, ke­miskinan itu tanggung jawab bersama. Namun yang paling di depan adalah negara. Seba­gai tanggung jawab bersama, juga dalam agama, manusia diwajibkan menolong sesama, dari sekitar keluarga, keluarga dekat, kaum, hingga masyara­kat. Pada sisi lain, negara diamanatkan untuk mense­jahterakan kehidupan bangsa.

Pada dasarnya, kita tentu saja harus tolong-menolong dalam hidup ini. Menebar kesejahteraan sesuai kemam­puan. Agar tak ada lagi cerita tentang manusia yang lapar di tanah air tercinta ini. Hanya saja, kita tentu harus menuntut lebih dari amanat undang-undang. Masyarakat miskin, orang telantar, tanggung jawab pemerintah.

Mereka yang ditugaskan untuk menangani masalah ini harusnya tak boleh lagi tutup mata. Jangan hanya bergerak ketika media massa sudah mem-blow up jadi berita be­sar, baru bergerak. Kita tentu miris, jika kisah itu jadi arak-arakan bagi yang me­men­tingkan popularitas. Politisasi semacam ini tidak baik dalam membangun demokrasi dan kemajuan bangsa.

Kemiskinan di Ranah Minang

Pada skala lebih dekat, Ranah Minang, kita patut me­nyigi bagaimana angka kemis­kinan yang telah dicatat oleh Pemprov Sumbar. Usaha me­nu­runkan angka kemiskinan, angka pengangguran setiap tahun terus dilakukan. Terus diekspos, berapa target dan berapa yang telah lepas dari kemiskinan. Namun apakah itu sudah menyentuh hingga ke titik yang dituju itu? Ja­ngan-jangan, ada banyak Tas­ripin di Ranah Minang ini.

Sebagai bukti, anak jalanan masih tetap kelihatan secara nyata di jalanan. Dari mana mereka? Kemanakan siapakah itu? Siapa yang telah sudi mempekerjakan mereka di jalan raya? Jatuh ke dalam air mata kita. Kita secara individual, maupun kelompok kerja sosial, hanya mampu membantu secara tentatif. Tidak bisa sehebat orang-orang pintar yang menjadi aparat di pemerintahan. Kajian mere­ka mutakhir, mereka telah belajar banyak dan anggaran yang tersedia dari pajak yang kita bayar bersama. Aparatur tidak memiliki alasan lagi untuk tidak menyelesaikan sengkarut kesejahteraan anak negeri.

Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD), yang katanya prorakyat itu, harusnya sudah mampu untuk memberantaskan kemiskinan di tengah masyarakat. Kenapa masih ada yang miskin? Di mana salahnya dan kelirunya negeri ini dijalankan? Belum cukupkah subsidi, belum ter­alokasikah anggaran? Tentu sa­ja sulit memberi alasan yang tepat, apabila kita tidak beran­jak dari rasa kemanusiaan dalam hidup ini. Kita terlalu lama berada di prosedural, hingga hangusnya substansi tujuan negeri ini dididirikan. Menyedihkan.  

Ada banyak kegiatan filan­tropi, aksi kemanusiaan, baik secara individu, kelompok, tidaklah bisa diharapkan mam­pu secara terus menerus membantu. Karena sifatnya tentulah tentatif. Keharusan negara berada di depan untuk menyelesaikan masalah adalah harapan dan amanat.

Di negeri orang-orang he­bat, orang-orang pintar ini, kemiskinan masih ada. Masih meraja. Sepanjang kita alpa untuk mengasah nurani kema­nusiaan kita, sepanjang itu pula mereka terpuruk dalam kemiskinan, tidak dapat akses pendidikan dan kesehatan yang layak. Sungguh zalim para pemimpin yang tidak mencium denyut nadi ma­syarakat sendiri.

Terakhir, para pemimpin negeri ini, kembalilah kepada pertanyaan paling manusiawi di sudut hati; bagaimana cara memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan bang­sa. Lalu jalankan amanat itu secara saksama? Sebab, itulah amanat yang bisa jadi laknat bagi diri. Bukankah pemimpin itu diminta per­tanggungjawabannya di akhi­rat kelak? Salam. (*)

Catatan H.Leonardy Harmainy, S.ip. MH, Dt. Bandaro Basa ( Calon DPD RI )
×
Berita Terbaru Update