Kisah bocah kecil Tasripin
telah mengoyak batin kita. Ketika pemimpin negeri ini bercerita tentang
sesuatu di langit yang tinggi, tapi abai apa sebenarnya yang terjadi di
bumi. Inilah bukti negara dengan belum menjalankan amanat yang
diberikan rakyatnya.
Aparatur pemerintah alpa melihat
kenyataan. Asyik menghitung angka-angka kemiskinan di balik meja
kekuasaannya. Sementara, kemiskinan fakta di lapangan tidak pernah
tersentuh. Kisah Tasripin, bocah 12 tahun, dari Desa Gunung,
Kecamatan Cilongok Banyumas itu, merupakan puncak gunung es kemiskinan
negeri ini. Korban kemiskinan struktural dan redupnya kepedulian
sosial.
Mujurlah ada media massa yang peduli untuk
memberitakan, jika tidak, kisah pilu Tasripin hanyalah angin lalu
saja. Berbahagialah mereka yang telah mengabarkan kisah bocah ini,
hingga seorang presiden harus turun tangan untuk menangani kasus ini.
Semoga jadi ladang amal untuk terus berkabar.
Sungguh pun demikian, pekerjaan belum
selesai. Ada banyak kisah serupa di negeri ini. Mereka ada di
jalan-jalan, di pintu-pintu mal, di sudut kota, sudut desa, terbiarkan
untuk bekerja di atas rata-rata kemampuan orang dewasa. Mereka harus
memikul tanggung jawab besar. Seharusnya mereka berada di bangku
sekolah dan hidup dengan riang gembira dalam dunia kecilnya.
Amanat Undang Undang
Siapa yang peduli? Di mana negara, aparat
pemerintah? Mereka tanggung jawab kita, sesuai dengan kapasitas
masing-masing, yang paling penting, adakah keluarga kita yang masih
telantar itu? Dalam amanat undang-undang, kemiskinan itu tanggung jawab
bersama. Namun yang paling di depan adalah negara. Sebagai tanggung
jawab bersama, juga dalam agama, manusia diwajibkan menolong sesama,
dari sekitar keluarga, keluarga dekat, kaum, hingga masyarakat. Pada
sisi lain, negara diamanatkan untuk mensejahterakan kehidupan bangsa.
Pada dasarnya, kita tentu saja harus
tolong-menolong dalam hidup ini. Menebar kesejahteraan sesuai
kemampuan. Agar tak ada lagi cerita tentang manusia yang lapar di tanah
air tercinta ini. Hanya saja, kita tentu harus menuntut lebih dari
amanat undang-undang. Masyarakat miskin, orang telantar, tanggung jawab
pemerintah.
Mereka yang ditugaskan untuk menangani
masalah ini harusnya tak boleh lagi tutup mata. Jangan hanya bergerak
ketika media massa sudah mem-blow up jadi berita besar, baru
bergerak. Kita tentu miris, jika kisah itu jadi arak-arakan bagi yang
mementingkan popularitas. Politisasi semacam ini tidak baik dalam
membangun demokrasi dan kemajuan bangsa.
Pada skala lebih dekat, Ranah Minang, kita
patut menyigi bagaimana angka kemiskinan yang telah dicatat oleh
Pemprov Sumbar. Usaha menurunkan angka kemiskinan, angka pengangguran
setiap tahun terus dilakukan. Terus diekspos, berapa target dan berapa
yang telah lepas dari kemiskinan. Namun apakah itu sudah menyentuh
hingga ke titik yang dituju itu? Jangan-jangan, ada banyak Tasripin di
Ranah Minang ini.
Sebagai bukti, anak jalanan masih tetap
kelihatan secara nyata di jalanan. Dari mana mereka? Kemanakan siapakah
itu? Siapa yang telah sudi mempekerjakan mereka di jalan raya? Jatuh ke
dalam air mata kita. Kita secara individual, maupun kelompok kerja
sosial, hanya mampu membantu secara tentatif. Tidak bisa sehebat
orang-orang pintar yang menjadi aparat di pemerintahan. Kajian mereka
mutakhir, mereka telah belajar banyak dan anggaran yang tersedia dari
pajak yang kita bayar bersama. Aparatur tidak memiliki alasan lagi untuk
tidak menyelesaikan sengkarut kesejahteraan anak negeri.
Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara
(APBN) dan Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD), yang katanya
prorakyat itu, harusnya sudah mampu untuk memberantaskan kemiskinan di
tengah masyarakat. Kenapa masih ada yang miskin? Di mana salahnya dan
kelirunya negeri ini dijalankan? Belum cukupkah subsidi, belum
teralokasikah anggaran? Tentu saja sulit memberi alasan yang tepat,
apabila kita tidak beranjak dari rasa kemanusiaan dalam hidup ini. Kita
terlalu lama berada di prosedural, hingga hangusnya substansi tujuan
negeri ini dididirikan. Menyedihkan.
Ada banyak kegiatan filantropi, aksi
kemanusiaan, baik secara individu, kelompok, tidaklah bisa diharapkan
mampu secara terus menerus membantu. Karena sifatnya tentulah tentatif.
Keharusan negara berada di depan untuk menyelesaikan masalah adalah
harapan dan amanat.
Di negeri orang-orang hebat, orang-orang
pintar ini, kemiskinan masih ada. Masih meraja. Sepanjang kita alpa
untuk mengasah nurani kemanusiaan kita, sepanjang itu pula mereka
terpuruk dalam kemiskinan, tidak dapat akses pendidikan dan kesehatan
yang layak. Sungguh zalim para pemimpin yang tidak mencium denyut nadi
masyarakat sendiri.
Terakhir, para pemimpin negeri ini,
kembalilah kepada pertanyaan paling manusiawi di sudut hati; bagaimana
cara memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan bangsa. Lalu
jalankan amanat itu secara saksama? Sebab, itulah amanat yang bisa jadi
laknat bagi diri. Bukankah pemimpin itu diminta pertanggungjawabannya
di akhirat kelak? Salam. (*)
Catatan H.Leonardy Harmainy, S.ip. MH, Dt. Bandaro Basa ( Calon DPD RI )