Kamis pagi, 6Maret 2013, saya menghubungi Komarudin Watubun. Ia salah satu Ketua Organisasi dan Hubungan Pemerintahan di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Sosok kelahiran 1968 ini,juga Wakil Ketua DPR Papua.Dari beberapa kali berdiskusi dengannya,harapan menggerakkan perubahan kembali berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, berkepribadian di bidang budaya, Trisakti Bung Karno, meninggi.
Masih di ingatan saya bagaimana tegasnya Komarmenandatangani
berkas Jokowi ketika hendak dibawa mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum
Daerah (KPUD) DKI. Komar meneken pencalonan Jokowi ketikaCagub DKI tempo hari.Maka pagi Kamiskemarin itu, saya “provokasi” Komar.
Kapan
PDIP berani mengatakan kepada publik begini: Saudara-saudara sebangsa
setanah air, menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 sudah diambang
pintu, kami tegaskan akan melakukan alih generasi kepemimpinan dengan
kader muda terbaikdi rentangusia kelahiran tahun 60-an. Merekalayak memimpin Indonesia baru; Indonesiaberdaulat
di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkeribadian di
bidang budaya. Oleh karena itu, kepada segenap warga bangsa, kami
mengharapkan agar di sisa Pemilukada di berbagai daerah hingga 2014,
menangkanlahkader-kader terbaik kami. Peralihan generasi pemimpin keniscayaan.
Kalimat itu tentu akan afdol diucapkan oleh Megawati Soekarno Putri. Saya mengistilahkan sebagai pidato booster perubahan.
Dasar saran booster itu,latar
bahwa hingga kini rating Jokowi, Gubernur DKI, dari berbagai riset,
menunjukkan angka di atas 20, sebagai calon presiden unggulan.Tanpa menyebutkan nama Jokowi, yang kelahiran 1961, sebagai Capres, pidato itu telah mengarahkan sasar.Publik paham. Masyarakat pun dibanggkitkan harapan barunya: kembali ke premis berbangsa bernegara jernih dari Bung Karno.
Sayang hal itu jadi wacana saya saja.Kalimat seharusnya menjadi power untuk bisa memenangkan Pilkada di Sumut,berlanjut nanti di Jateng, Bali, Maluku, setelah kalah di Jabar.Dan hingga detikpemilihan di Sumut, harapan tinggal harapan. Di siang hari Kamis kemarin itu, kita mendengar kekalahan lagi PDIP di Sumut.
Di
Jabar, ada Rieke Dyah Pitaloka dan Teten Masduki. Dari awal saya
menyimak Rike-Teten, tidak memiliki kelebihan signifikan bagaikan
Jokowi. Ibarat di dunia film, Rieke-Teten sebagai bahan, ia tidak
sekaliber film 35 mm. Mereka hanyalah kelas filmformat
digital. Tak ada ingatan tajam publik lagi terhadap Oneng. Tak ada
kata-kata Rieke buah bibir publik. Tak ada kegembiraan bersalaman tangan
wargabergairah bak menemui Jokowi.Terhadap
Teten juga demikian. Walaupun sosoknya aktif di gerakan anti korupsi,
tetapi, anggapan miring terhadap berbagai gerakan lembaga swadaya
masyarakat kini, membuat Teten saya anggap tidak mendongkrak Rieke.
Lalu pidato booster perubahanitu tak kunjung ada. Padahal saran mem-booster tadi, saya anggap pasword menuju kemenangan.
Pada kasus Sumut. Effendi Simbolon-Jumiran Abdi.Simbolon seusia saya. Kami sama-sama alumni SMA3 Jakarta. Persinggungandekat
saya, ketika secara kebetulan berkesempatan menemani Jokowi ke KPUD DKI
tempo hari. Simbolon yang anggota Komisi VII DPR RI, selama ini
terkesan “merak”. Iake mana-mana
di Jakarta dikawal foreder. Sedangkan Jumiran, tidak saya kenal. Namun
putra Jumiran, Aulia Andri, mantan wartawan detik.com, sudah sejak lama
berkomunikasi dengannya. Auliakini menjadi dosen di Medan. Saya paham bagaimana Jumiran ayah Aulia dekat dengan mereka keturunan Jawa di Sumut.
Untuk mereka berdua, saya menempatkan sama dengan Rieke dan Teten.Mereka berduasejatinya membutuhkan booster pidato perubahan Megawati sebagaimana saran kepada Komar. Lalu Kamis siang kita punmendengar Simbolon-Jumiran kalah.
Dugaan kekalahan berikutnya akan dialami PDIP, Jawa Tengah.Ganjar Pranowo saya anggap juga tak memiliki greget untuk dipilih, selain sebagai lelaki sosok tinggi dan wajah cakapnya disukaikalangan
ibu-ibu muda. Belum ada sikap keberpihakan Ganjar signifikan di Jateng.
Sementara yang dihadapi lawan incumbent Bibit Waluyo.
Bukan rahasia di banyak Pilkada, sejatinya hanya tiga tiket saja.Yakni; Curang, Aparat, dan Uang.Ganjar akan kesulitan menghadapi incumbent. Juga calon lain yang lebih memiliki basis di daerah.Lagi-lagi, Jateng membutuhkan booster pidato komitmen PDIP Pusat sebagaimana saran kepada Komarudin.
Sebaliknya, yang dilakukan oleh PDIP Pusat terhadap calon-calon mereka di daerah selama inimenurunkan
Jokowi berkampanye.
Warga akhirnya hanya mendapatkan marwah gairah
berfoto dengan Jokowi. Bukan ruh kemuliaan calon-calon mereka di daerah
itu. Sang calonPDIP tidak adasesignifikan Jokowi pamornya. Maka kuat dugaan saya, di Jateng kelak, jika tak ada pidato booster perubahan itu, maka PDIP akan mengalami kekalahan lagi.
Bali
agaknya juga akan mengalami nasib sama. Kendati sosok yang dimajukan
Puspayoga, dari kalangan intelektual dan budayawan, namun lawan
lagi-lagi incumbent, Mangku Pastika. Walaupun PDIPmemiliki
basis kuat di Bali, dan Megawati adalah Bali, tidak menjamin Puspayoga
mulus merebut Bali-1. Dan kalau pula Jokowi nanti ikut berkampnye ke
Bali, akhirnya hanyalah melakukan repetisimenggergaji angin, men-down-grade pamor Jokowi saja.
Singkatnya bila paparan sayatersebut kian terbukti, maka PDIP telah kufur nikmat.PDIP tidak memanfaatkan aset sebagai mana mestinya, yaknitampil
pionir menyampikan kepada publik peralihan generasi pemimpin. Toh
mereka punya Jokowi. Dan keinginan publik alih generasi itu sebuah
fakta nyata yang sulit ditawar kini.
Sulit menjawab mengapa booster pidato
perubahan itu tak kunjung mereka lakukan? Dugaan saya di dalam PDIP
sendiri banyak oknum penjilat di sekeliling Megawati dan Taufik Kiemas.
Sosok-sosok independen dan kredibel seperti Komarudin, bukan pula
berasal dari jawa. Komar pria kelahiran Kei, Tual, Maluku Tenggara,dibesarkan di Ranah Papua.
Kalau sudah begitu, maka hampalah harapanbagi perubahan Indonesia baru. Padahal semula saya dan banyak orang berharap banyak ke PDIP.
Iwan Piliang, Capres Re-Install Indonesia; memuliakan ketulusan, menempatkan keinsanan di atas kebendaan.