Di sela-sela ikut mendampingi Badan Pengawas
Pemilu (BAWASLU) mengadakan pelatihan pengawasan Pemilu bagi media
massa, di Balikpapan, Kaltim, saat ini, pikiran saya sangat terganggu ihwal berita diperkosanya TKW oleh tiga polisi Malaysia.
Kejadian itu mengingatkan saya akan kesempatan di Abu Dhabi pada 2010. Di suatu siang seorang wanita
berkulit putih, asal Jawa Barat, mengadu ke Kedutaan kita. Saya
perhatikan wajahnya yang polos, usianya saya duga di bawah umur. Ia
mengaku diperkosa anak majikannya. Yakin akan kepolosan anak itu, saya bertanya dengan nada tinggi: burung anak majikanmu itu ditarokkan di mana?
“Di belakang Pak.”
Wanita muda itu menjawab polos.
Apakah terjadi penetrasi?
Wallahuawam.
Hendak dilaporkan ke polisi, posisi Kedutaan kita terpojok. Wanita itu masuk melalui Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) ilegal. Dia di bawah umur.
Di mulut wanita itu hanya ada satu kata: pulang, pulang dan pulang.
Disela waktu saya verifikasi citra wanita kita di
Emirat Arab itu. Mohon maaf dengan kejam saya tuliskan begini kongklusi
saya: Negara kita adalah negara babu yang gampang digauli.
Untuk kesekian kali saya tuliskan ihwal
saya bertanya ke langit Abu Dhabi: Ya Tuhan, apakah negara saya begitu
hina dan kerenya? Perjalanan waktu mengantarkan langkah saya secara
nyata dan tak terduga. Sepulang dari Abu Dhabi kaki saya melangkah ke
Pengadilan Pajak, Depkeu. Saya menemukan di sana pada 2005 saja,
indikasi penggelapan pajak melalui transfer pricing, mencapai Rp 1.300
triliun. Jika saja 10% angka itu bisa dibuktikan hakim pajak yang jika benar
bekerja, devisa yang hanya setahun Rp 67 triliun diperoleh negara dari
TKI/TKW, sudah bisa ditutup. Itu artinya, bagaimana dengan devisa negara
hilang jika TKW dihentikan?
Juga jika mereka dilarang ke luar negeri lapangan kerja lokal di mana? Masih dari angka penggelapan pajak yang bisa diselamatkan, dana itu pasti bisa digunakan membuka lapangan kerja.
Sayangnya pengadilan pajak diisi oleh mereka yang
terindikasi berkolusi dengan penyamun negeri ini. Pemimpin negara yang
langgamnya bak orang-orangan sawah memimpin, berakibat pengiriman
manusia, terutama wanita-wanita mulia anak bangsa itu, seakan kita
anggap biasa saja. Bahkan karena terbiasanya TKW diperkosa, dilecehkan,
disiksa, ibarat di sebuah
ruang tertutup ada salah seorang kentut, awalnya bau lama-lama orang di
ruangan itu menganggap biasa, tak lagi mencium bau. Sama dengan
biasanya penghinaan peradaban manusia dengan adanya joki 3 in one di
pagi dan petang hari di Jakarta.
Dalam kerangka pikir demikian, tidak berlebihan
saya menuliskan bahwa trias politika kita saat ini dikelola oleh
manusia-manusia yang telah kehilangan sisi keinsanannya.
Saya sedikit
terhibur ada manusia di ranah kekuasaan seperti Jokowi yang pernah saya
doakan agar memuliakan keinsanan, dan dalam kebijakannya mulai
menunjukkan aksi nyata. Saya
juga masih punya satu dua teman “manusia”, salah satunya Komarudin
Watubun, yang tetap membiarkan Toyota Camry-nya masih berplastik sebagai
pejabat DPR Papua, yang bersih, jernih, tegas dan berusaha berbuat nyata bagi peradaban.
Agaknya harapan memang tinggal bisa kita gantungkan
ke satu dua kawan “manusia” saja. Mengingat kini ranah trias politika
kita dominan terindikasi sudah diisi drakula.