Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

DIBALIK TIRAI EMAS WAJAH KOTA

21 Oktober 2012 | 21.10.12 WIB Last Updated 2012-10-21T00:26:54Z
WIDIYA TRISNA
PENDIDIKAN SOSIOLOGI ANTROPOLOGI
FIS UNP 2011
 
Arrgghhhh, sekejap memang terasa sangat letih, aura senang dan aura betis yang ingin berhenti berjalan membaur jadi satu hingga akhirnya aku menemukan halte untuk naik bus kota kembali ke kos. Berpuluh peluh mencucur di jengat ku, memang jalan dari dalam aula gubernur tak jauh untuk halte yang didepan ini.
 
Dua puluh menit setelahnya aku sudah tergopoh duduk di kursi bus. Berjuta bau rasa terbang kemana dia suka, mata ku melayang sesukanya hingga terhenti  pada satu titik. Titik dimana tingginya sekitar satu meter lebih , berkulit kelam dengan gaya repper, kumuh dan kusam. Hanya lucu saja ternyata identifikasi dan dampak kemiskinan di kota dalam materi sosiologi perkotaan  ada tampak didepan mataku sendiri, tidak hanya seperti yang kulihat di tv atau ku browsing di internet ataupun seperti yang dijelaskan oleh dosen mata kuliah sosiologi perkotaan.
 
“ongkosnyo ni” seraya menggerakkan segumpal tangan yang berisi recehan
“ooooo..” 
 
Aku terperanjak, bergegas mencari uang dua ribuan  untuk bayar ongkos bus ini, aku masih tergagap gagap berproses dalam bis. Rempong saja rasanya. Knek bus berlalu saat uang dua ribuan ku serahkan. Imajinasi kuterbang merangkai kata kata yang kira kira bunyinya seperti ini “laki laki  yang menjadi knek bus ku takarkan berumur sekitar 10 tahun, seharusnya dia bersekolah bukannya menjadi knek bus ples dengan mengidentifikasi gaya repper”.

Selintas aku ingin bertanya padanya, kenapa anda tidak bersekolah ? dimana orang tua anda ? kenapa bergaya repper ? apakah menurut anda repper dan punk itu baik ? anda di suruh oleh orang tua berprofesi sebagai knek bus  ? apakah  orang tua anda tau ? aku ingin mengatakan gaya yang di tiru itu sunnguh tak sedap dipandang mata. Karena berbeda sangat dengan budaya lokal kita orang minang dan styles anak yang seusia dengannya.
Tapi pertanyaan dan perkataan  itu aku simpan di balik hati, takut dia tersinggung.

Fenomena kemiskinan dikota berawal dari urbanisasi penduduk yang melangit, mereka menganggap dikota bnayak tersedia lapangan pekerjaan padahal pada nyata nya itu tidak. Kelanjutan dari urbanisasi berdampak pada sektor pekerjaan, faktanya terjadi ketimpangan antara jumlah pencari kerja dengan ketersediaan lapangan kerja alias terbentuklah penggangguran. Siklus selanjutnya berjalan menuju tingkat kriminalitas yang tinggi, timbulnya permukiman kumuh, rendahnya tingkat pendidikan, dimana anak seumuran sekolah tidak sekolah karena keterbatasan biaya.
 
 
Mestipun sekolah tidak bayar tapi buku dan atribut segala macamnya mengeluarkan banyak biaya.  Sejauh ini program pemerintah dalam pemberantasan kemiskinan dan peningkatan mutu pendidikan memang sudah jalan, kendatipun demikian panah yang ditancapkan pemerintah belum tepat sasaran. Miris sekali rasanya anak seusia laki laki knek bus ini yang seharusnya mencicipi masa sekolah lebur hanya karena  keterbasan biaya.
 
Hal yang kupikirkan terputus saat knek bus ini memukul bagian besi bis dengan bongkahan logam, tink tink tink kira kira seperti itulah bunyinya. Akupun turun. Untuk sampai di kos aku harus melanjutkan perjalanan dengan angkot labor. 40 menit perjalanan akhirnya aku menginjak kaki di kedai sebelah kos yang jualan sambal.
 
“masih ada sambal nya  ni ?”
“ada diak, tengok lah ?”
“ayam bakar se lah ni”
“kuliah ? kok sore kali pulangnya  wdya ?
“enggak ni, ini abis ikut acara di khatib. Panek
“duduk la dulu”
“lai banyak samba yang abis sahari ko ni ?”
“haaaa lumayan la ya, tapi indak lo do”
“ancak lo jawaban uni ko ma, lumayan tapi indak”
“hahhaaa tu baa juo lai” jawab uni sambil membungkus sambal yang saya pesan.
 
Suasana kian akrab dengan uni eci penjual sambal di sebelah kosku, lebih tepatnya langganan kos kami. Biasanya suasana takkan seakrab ini. Tapi enyahlah. Kalau uni eci tidak berjualan maka hari itu kami harus perai makan nasi dan mengganti dengan makanan cadangan ala anak kos. 
 
“uda ma ni ?” kulayangkan pertanyaan sambil memangsa sepotong pepaya [waaaahh segarnya]
“lai di belakang, dak jo ado lapangan krajo lai. Tapaso jo nolongan uni masak ”  curhat uni padaku.
 
 “saba se lah dulu ni, bsuak ado tu ma”
“basaba tu iyo jo, tapi sampai bilo ? anak uni duo urang, skolah kaduonyo, ma lah katakurehan dek uni. Amuahnyo baranti nan baduo tu skolah lai.

“eeehh manga lo sampai ka baranti. Bak kecek gaek ambo razaki anak skolah tu ado ado se nyo        tu. Bara sadonyo ni ?
“9 rb sadonyo ya”
“mksih ni”
 
Tepat pukul 17: 14 aku beranjak meninggalkan tataran palanta tempat uni eci berjualan.
 
 
 
Perbandingan yang  terlalu signifikan dengan fenomena fenomena dampak kemiskinan dikota. Antara uni eci dengan anak kecil yang saya temukan di bus sebagai seorang knek. Keluarga uni eci yang melakukan migrasi sementara ke kota Padang dan berprofesi sebagai pedagang sambal, suaminya seorang penganguran yang hanya membantu bantu dimana penghasilan digunakan untuk menyekolahkan anaknya di kampong. Sedangkan anak laki laki tadi rela menjadi knek bis dengan melewatkan masa sekolah,  sungguh malang, apakah orng tuanya tidak tau atau malah menyuruh hal demikian , entah lah.
 
Menurut saya, Fenomena dampak kemiskinan yang ada di kota padang  ini hanya bisa dituntaskan apabila program program dari pemerintah berjalan mencapai titik target disertai dengan peran serta masyarakat yang peduli negeri. Melibatkan  mahasiswa sebagai agent of change , agent of leader, dan agent of control.demi terbukanya jalan untuk perubhan dan  kemajuan negri.
[ Yakin, usaha,  sampai !]
×
Berita Terbaru Update