Jumat malam, 21 September 2012. PING! BB ku
berdenting beberapa kali. Saat kubuka, mataku nyaris tak percaya dengan
deretan kalimat yang tertulis pada message yang dikirim Meyrin,
sahabatku semasa kuliah. “Ira, Papa akan berangkat haji tanggal 20
Oktober nanti. Kepastiannya Papa berangkat baru kami terima kemarin. Ada
saran? Papa berangkat sendiri, maklum kami anak-anaknya cuma bisa
memberangkatkan saja.”
———————————————————————
Sudah lebih dari 20 tahun aku mengenal Meyrin. Kami
berkenalan saat pertama kali aku diterima di ITS dan saat itu persiapan
upacara pembukaan OPSPEK sekaligus Penataran P4 pola 100 jam. Maklum
masih jaman Orba. Meyrin yang anak asli Surabaya menyapaku dan mengajak
kenalan. Setelah perkuliahan berjalan normal, kami makin akrab. Aku yang
saat itu tinggal di asrama ITS, sering mengajak Meyrin mampir ke asrama
dan istirahat di kamarku sambil menunggu dijemput. Meyrin memang tak
boleh membawa mobil sendiri waktu itu. Ia juga tak boleh naik angkot.
Papa atau kakaknya akan menjemput, kalau urusan mereka sudah selesai.
Jaman itu belum ada HP, jadi Meyrin sudah janjian sejak pagi, nanti ia
akan kuliah sampai jam berapa dan jam berapa ia akan dijemput, siapa
yang akan menjemputnya. Karena Ruben, kakak Meyrin, masih kuliah atau
Papanya yang dosen masih mengajar, seringkali Meyrin harus menunggu lama
bahkan sampai sore baru dijemput. Itu sebabnya, kamarku selalu jadi
tempat menunggu bagi Meyrin.
Bukan hanya urusan menunggu jemputan, kami pun
bersahabat dalam semua urusan kuliah. Mengerjakan tugas sampai persiapan
ujian. Kami punya “gank” 5 orang cewek, sampai dosen kami menjuluki “5
sekawan”. Kamarku-lah jadi tempat nongkrong paling sering, terutama saat
menunggu dari jam kuliah satu ke jam kuliah berikutnya. Sesekali aku
juga ke rumah Meyrin, kalau kami janjian mengerjakan tugas di sana.
Mamanya Meyrin pandai masak, aku sering dikirimin makanan. Beliau tahu
anak kost jarang makan enak.
Semula kukira Meyrin etnis Cina, ternyata tidak.
Mamanya – Tante Jeannie – orang Manado, sedang Papanya – Om Husain –
orang Gorontalo. Papa dan Mama Meyrin beda agama. Om Husain berasal dari
keluarga Muslim yang taat, sedang Tante Jeannie penganut Katholik yang
kuat. Cintalah yang menyatukan mereka sehingga keduanya memutuskan
menikah meski beda agama. Pertengahan dekade ’60-an menikah di catatan
sipil untuk pasangan beda agama masih bisa. Tapi ternyata pernikahan
beda agama tak mudah dijalani, terutama karena keduanya sama-sama teguh
berpegang pada ajaran agamanya.
Di sela-sela menunggu dijemput, Meyrin kerap
bercerita tentang keluarganya. Keluarga besar dan kerabat Mamanya selalu
datang dan menemani Mamanya setiap kali menjelang melahirkan. Itu
sebabnya Meyrin dan kakak serta adiknya sudah dibaptis sejak di rumah
sakit dan mereka ikut agama Mama mereka. Sementara Papanya yang hanya 2
bersaudara – kebetulan Budenya Meyrin, kakak kandung Papanya, tinggal di
Malang – hanya setahun sekali bisa intens menemani Papanya. Saat itu
kalau bulan Ramadhan sekolah libur sebulan penuh. Jadi Budenya memboyong
anak-anaknya dari Malang beribur ke Surabaya, hanya untuk menemani Om
Husain menjalani ibadah Ramadhan. Meyrin bahkan masih bisa mengenang
masa kecilnya bersama sepupu-sepupunya bermain-main di Masjid Al Falah
di jalan Raya Darmo, dekat rumahnya.
Waktu terus berlalu, sampai akhirnya kakak Papanya
pindah ke Bandung mengikuti suaminya. Om Husain kini harus menjalani
puasanya sendirian. Seiring berjalannya waktu, kata Meyrin, tak
selamanya hidup bertoleransi dalam satu keluarga itu mudah. Kadang,
Mamanya bisa sangat sensitif karena hal-hal kecil. Semisal pajangan
dinding berbentuk salib dan Jesus yang dipasang di dekat anak tangga
ruang makan tiba-tiba tak ada di tempat, Mamanya langsung mengira pasti
Papanya yang memindahkan. Untung saja si Reynold, adik Meyrin, mengaku
kalau ia yang memindahkan ke kamar pribadinya. Begitulah kronika hidup
bertoleransi dalam satu keluarga inti.
Ketika Meyrin bersaudara tumbuh dewasa, mereka
mulai berpikir tentang Papanya. Di satu sisi mereka kasihan melihat
Papanya yang seolah sendiri dalam keluarga. Setiap tahun mereka
merayakan pesta natal dan paskah, bersama dengan keluarga besar dan
kerabat Mamanya, hanya Papanya saja yang tak ikutan. Sedangkan tiap Idul
Fitri dan Idul Adha, Om Husain malah tak pernah merayakannya. Seolah
dia bekerja mencari nafkah hanya untuk istri dan anak-anaknya. Om Husain
memang sangat memanjakan dan memenuhi semua keinginan istri dan ketiga
anaknya, terutama Meyrin, putri satu-satunya yang paling disayang.
Pernah Meyrin curhat padaku, tentang obrolannya
dengan kak dan adiknya. Bagaimana kelak kalau saatnya mereka menikah,
apakah Papanya tidak akan menghadiri pemberkatan nikah mereka, sebab
Papanya memang tak mau masuk ke gereja. Menurut Meyrin, banyak kerabat
dan keluarga besar Mamanya yang menyarankan agar Meyrin – sebagai orang
terdekat Papanya – mengajak Papanya agar berpindah agama saja. Tapi
Meyrin menolak melakukannya. “Aku mau Papa memilih apa yang diyakininya,
Ira. Kalau Papa memang mau pindah agama, itu karena Papa memang
terpanggil. Sebaliknya, kalau Papa mau tetap memeluk agama Islam, aku
ingin ya Papa menjalani dengan sungguh-sungguh”, katanya padaku.
Waktu berlalu, 3 bulan setelah lulus sarjana,
Meyrin bertunangan dengan pria pilihan Mamanya. 6 bulan kemudian mereka
menikah. Papanya memang hanya menghadiri resepsi pernikahannya di sebuah
rumah makan. Terakhir kali aku bertemu Om Husain dan Tante Jeannie
adalah ketika menjenguk Meyrin usai melahirkan anak pertamanya. Seiring
dengan pilihan tempat kerja yang berbeda, kami 5 bersahabat saling
terpisah. Apalagi dulu belum ada HP, jadi komunikasi tak bisa intens.
Sejak kami memiliki akun facebook, kami kembali
terhubung. Ternyata Mamanya Meyrin mengidap pemyakit kanker rahim. Om
Husain dengan setia merawat dan menemani istrinya, sampai sekitar 2,5
tahun lalu Tante Jeannie meninggal dunia setelah hampir 14 tahun
berjuang melawan kanker. Setahun terakhir Meyrin sampai berhenti bekerja
demi merawat Mamanya.
Sepeninggal istrinya, Om Husain menolak untuk
tinggal bersama salah satu dari ketiga anaknya. Beliau tetap ingin
tinggal di rumah yang sudah ditinggalinya selama puluhan tahun bersama
mendiang istrinya. Di masa tuanya, rupanya Om Husain makin menekuni
ajaran agamanya. Meski kemana-mana sendiri, Om Husain aktif ke masjid.
Tahun lalu, tepat saat usianya 75 tahun. Om Husain
memilih mengadakan tasyakuran atas usianya di sebuah panti asuhan Islam.
Saat itulah Meyrin 3 bersaudara memberikan kado istimewa bagi Papanya.
Mereka tahu, Papanya sangat ingin pergi ke tanah suci menunaikan rukun
Islam yang ke-5. Sejak dulu keinginann itu tak pernah terlaksana, tapi
tak kunjung padam oleh usia rentanya. Karena itu, 3 anaknya menghadiahi
Papanya ongkos naik haji. Semula anak-anak menghendaki Papanya berangkat
lewat jalur Haji Plus saja, agar tak perlu mengantri lama. Maklum, di
Surabaya waiting list haji sudah mencapai 10 tahunan. Tapi Om
Husain menolak, beliau tetap ingin lewat jalur ONH biasa, supaya bisa
lebih lama tinggal di tanah suci dan menikmati ibadahnya. Rupanya beliau
ingin berlama-lama mencecap nikmatnya jadi tamu Allah.
Akhirnya, lewat salah satu kerabat Om Husain
diupayakan agar bisa berangkat tahun ini, 2012. Seperti kita tahu, ada
keistimewaan bagi calon jamaah haji yang usianya sudah sangat udzur
untuk didahulukan, mengisi kursi kosong yang pendaftarnya tak jadi
berangkat karena gagal melunasi ONH, meninggal dunia, sakit atau hamil.
Atas kehendak Allah jua, akhirnya 20 September 2012 lalu baru ada
kepastian Om Husain bisa berangkat. Semula ada sedikit kekhawatiran
Meyrin karena kondisi fisik Papanya tahun lalu sempat jatuh di Masjid
Agung Surabaya, sampai tangannya patah dan sebulan sebelumnya kakinya
terkilir sampai jalannya pincang. Kucoba membesarkan hati Meyrin, bahwa
jika panggilan menjadi tamu Allah itu sudah sampai, maka Allah –lah yang
akan mengatur dan memudahkan semuanya, asal ikhlas. Apalagi semangat Om
Husain sangat besar.
Sehari setelah Meyrin mengabariku tentang rencana
keberangkatan Papanya, seorang sahabat di Surabay mengabari bahwa ia dan
suaminya juga akan berangkat, di tanggal yang sama dengan Om Husain.
Langsung saja kutelepon sahabatku itu, yang suaminya seorang dokter
spesialis. Kuharap bisa menitipkan Om Husain. Ternyata, selain beda
KBIH, prosedur keberangkatan sahabatku ini berbeda, ia tak perlu masuk
asrama haji dan langsung ke Jakarta. Jadi tak bisa ketemu Om Husain.
Tapi jalan Allah sungguh indah pada waktunya. 2
minggu sebelum keberangkatan, ketika mengikuti manasik di KBIH, 2 orang
pasutri mendekati dan menyapa Om Husain. Mereka tertarik dengan logat
bicara Om Husain yang khas Gorontalo. Ngobrol sana sini, baru tahu kalau
mereka ternyata kerabat jauh. Jadilah hari Minggu yang lalu Meyrin
sekeluarga bertandang ke rumah pasutri “saudara jauh ketemu gede” itu
untuk menitipkan Papanya. Benar-benar luar biasa “tangan” Allah
mengaturnya, kedua pasutri itu insya Allah akan bisa intens menemani Om
Husain, karena mereka se-kloter, se-KBIH, penginapannya pun mestinya
jadi satu.
Kemarin, Om Husain mulai masuk Asrama Haji
Sukolilo, Surabaya. Sejak hari Senin aku ikut memantau kesiapannya
melalui komunikasi BBM dengan Meyrin. Semalam kulihat foto profil di BB
Meyrin bergambar foto Om Husain diapit 7 cucunya, status yang tertulis
disitu “Take care beloved Papa, GBU”. Aku terharu… Hari ini
beliau berangkat menuju tanah suci. Berkat keteguhan hatinya, akhirnya
di usianya yang ke 76 tahun, Allah mengundangnya juga menjadi tamu yang
dimuliakanNYA di baitullah, rumah Allah. Selamat jalan Om Husain, semoga
Allah menjaga dan memudahkan semua urusan disana. Semoga ibadah hajinya
mabrur dan tiba kembali dengan selamat di tanah air.
Untuk Meyrin, Kak Ruben dan Reynold, saya kagum
dengan kalian yang bisa menghargai pilihan Papa kalian untuk tetap teguh
berpegang pada agamanya. Pilihan untuk memberikan kado ulang tahun
berupa ongkos naik haji sungguh pilihan bijak. Keluarga kalian menjadi
contoh keluarga yang berhasil bertoleransi selama puluhan tahun.
catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer