Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Akhirnya Pak Husain Diberangkatkan Haji oleh Anak-anaknya yang Katholik

18 Oktober 2012 | 18.10.12 WIB Last Updated 2012-10-18T11:27:31Z
13505366137482638

Lautan jutaan manusia berthawaf, tiada pernah henti, 24 jam dlam sehari, sepanjang tahun, searah pergerakan rotasi atom


Jumat malam, 21 September 2012. PING! BB ku berdenting beberapa kali. Saat kubuka, mataku nyaris tak percaya dengan deretan kalimat yang tertulis pada message yang dikirim Meyrin, sahabatku semasa kuliah. “Ira, Papa akan berangkat haji tanggal 20 Oktober nanti. Kepastiannya Papa berangkat baru kami terima kemarin. Ada saran? Papa berangkat sendiri, maklum kami anak-anaknya cuma bisa memberangkatkan saja.”
———————————————————————
Sudah lebih dari 20 tahun aku mengenal Meyrin. Kami berkenalan saat pertama kali aku diterima di ITS dan saat itu persiapan upacara pembukaan OPSPEK sekaligus Penataran P4 pola 100 jam. Maklum masih jaman Orba. Meyrin yang anak asli Surabaya menyapaku dan mengajak kenalan. Setelah perkuliahan berjalan normal, kami makin akrab. Aku yang saat itu tinggal di asrama ITS, sering mengajak Meyrin mampir ke asrama dan istirahat di kamarku sambil menunggu dijemput. Meyrin memang tak boleh membawa mobil sendiri waktu itu. Ia juga tak boleh naik angkot. 

Papa atau kakaknya akan menjemput, kalau urusan mereka sudah selesai. Jaman itu belum ada HP, jadi Meyrin sudah janjian sejak pagi, nanti ia akan kuliah sampai jam berapa dan jam berapa ia akan dijemput, siapa yang akan menjemputnya. Karena Ruben, kakak Meyrin, masih kuliah atau Papanya yang dosen masih mengajar, seringkali Meyrin harus menunggu lama bahkan sampai sore baru dijemput. Itu sebabnya, kamarku selalu jadi tempat menunggu bagi Meyrin.

Bukan hanya urusan menunggu jemputan, kami pun bersahabat dalam semua urusan kuliah. Mengerjakan tugas sampai persiapan ujian. Kami punya “gank” 5 orang cewek, sampai dosen kami menjuluki “5 sekawan”. Kamarku-lah jadi tempat nongkrong paling sering, terutama saat menunggu dari jam kuliah satu ke jam kuliah berikutnya. Sesekali aku juga ke rumah Meyrin, kalau kami janjian mengerjakan tugas di sana. Mamanya Meyrin pandai masak, aku sering dikirimin makanan. Beliau tahu anak kost jarang makan enak.

Semula kukira Meyrin etnis Cina, ternyata tidak. Mamanya – Tante Jeannie – orang Manado, sedang Papanya – Om Husain – orang Gorontalo. Papa dan Mama Meyrin beda agama. Om Husain berasal dari keluarga Muslim yang taat, sedang Tante Jeannie penganut Katholik yang kuat. Cintalah yang menyatukan mereka sehingga keduanya memutuskan menikah meski beda agama. Pertengahan dekade ’60-an menikah di catatan sipil untuk pasangan beda agama masih bisa. Tapi ternyata pernikahan beda agama tak mudah dijalani, terutama karena keduanya sama-sama teguh berpegang pada ajaran agamanya.

Di sela-sela menunggu dijemput, Meyrin kerap bercerita tentang keluarganya. Keluarga besar dan kerabat Mamanya selalu datang dan menemani Mamanya setiap kali menjelang melahirkan. Itu sebabnya Meyrin dan kakak serta adiknya sudah dibaptis sejak di rumah sakit dan mereka ikut agama Mama mereka. Sementara Papanya yang hanya 2 bersaudara – kebetulan Budenya Meyrin, kakak kandung Papanya, tinggal di Malang – hanya setahun sekali bisa intens menemani Papanya. Saat itu kalau bulan Ramadhan sekolah libur sebulan penuh. Jadi Budenya memboyong anak-anaknya dari Malang beribur ke Surabaya, hanya untuk menemani Om Husain menjalani ibadah Ramadhan. Meyrin bahkan masih bisa mengenang masa kecilnya bersama sepupu-sepupunya bermain-main di Masjid Al Falah di jalan Raya Darmo, dekat rumahnya.

Waktu terus berlalu, sampai akhirnya kakak Papanya pindah ke Bandung mengikuti suaminya. Om Husain kini harus menjalani puasanya sendirian. Seiring berjalannya waktu, kata Meyrin, tak selamanya hidup bertoleransi dalam satu keluarga itu mudah. Kadang, Mamanya bisa sangat sensitif karena hal-hal kecil. Semisal pajangan dinding berbentuk salib dan Jesus yang dipasang di dekat anak tangga ruang makan tiba-tiba tak ada di tempat, Mamanya langsung mengira pasti Papanya yang memindahkan. Untung saja si Reynold, adik Meyrin, mengaku kalau ia yang memindahkan ke kamar pribadinya. Begitulah kronika hidup bertoleransi dalam satu keluarga inti.
Ketika Meyrin bersaudara tumbuh dewasa, mereka mulai berpikir tentang Papanya. Di satu sisi mereka kasihan melihat Papanya yang seolah sendiri dalam keluarga. Setiap tahun mereka merayakan pesta natal dan paskah, bersama dengan keluarga besar dan kerabat Mamanya, hanya Papanya saja yang tak ikutan. Sedangkan tiap Idul Fitri dan Idul Adha, Om Husain malah tak pernah merayakannya. Seolah dia bekerja mencari nafkah hanya untuk istri dan anak-anaknya. Om Husain memang sangat memanjakan dan memenuhi semua keinginan istri dan ketiga anaknya, terutama Meyrin, putri satu-satunya yang paling disayang.


Pernah Meyrin curhat padaku, tentang obrolannya dengan kak dan adiknya. Bagaimana kelak kalau saatnya mereka menikah, apakah Papanya tidak akan menghadiri pemberkatan nikah mereka, sebab Papanya memang tak mau masuk ke gereja. Menurut Meyrin, banyak kerabat dan keluarga besar Mamanya yang menyarankan agar Meyrin – sebagai orang terdekat Papanya – mengajak Papanya agar berpindah agama saja. Tapi Meyrin menolak melakukannya. “Aku mau Papa memilih apa yang diyakininya, Ira. Kalau Papa memang mau pindah agama, itu karena Papa memang terpanggil. Sebaliknya, kalau Papa mau tetap memeluk agama Islam, aku ingin ya Papa menjalani dengan sungguh-sungguh”, katanya padaku.

Waktu berlalu, 3 bulan setelah lulus sarjana, Meyrin bertunangan dengan pria pilihan Mamanya. 6 bulan kemudian mereka menikah. Papanya memang hanya menghadiri resepsi pernikahannya di sebuah rumah makan. Terakhir kali aku bertemu Om Husain dan Tante Jeannie adalah ketika menjenguk Meyrin usai melahirkan anak pertamanya. Seiring dengan pilihan tempat kerja yang berbeda, kami 5 bersahabat saling terpisah. Apalagi dulu belum ada HP, jadi komunikasi tak bisa intens.

Sejak kami memiliki akun facebook, kami kembali terhubung. Ternyata Mamanya Meyrin mengidap pemyakit kanker rahim. Om Husain dengan setia merawat dan menemani istrinya, sampai sekitar 2,5 tahun lalu Tante Jeannie meninggal dunia setelah hampir 14 tahun berjuang melawan kanker. Setahun terakhir Meyrin sampai berhenti bekerja demi merawat Mamanya.

Sepeninggal istrinya, Om Husain menolak untuk tinggal bersama salah satu dari ketiga anaknya. Beliau tetap ingin tinggal di rumah yang sudah ditinggalinya selama puluhan tahun bersama mendiang istrinya. Di masa tuanya, rupanya Om Husain makin menekuni ajaran agamanya. Meski kemana-mana sendiri, Om Husain aktif ke masjid.

Tahun lalu, tepat saat usianya 75 tahun. Om Husain memilih mengadakan tasyakuran atas usianya di sebuah panti asuhan Islam. Saat itulah Meyrin 3 bersaudara memberikan kado istimewa bagi Papanya. Mereka tahu, Papanya sangat ingin pergi ke tanah suci menunaikan rukun Islam yang ke-5. Sejak dulu keinginann itu tak pernah terlaksana, tapi tak kunjung padam oleh usia rentanya. Karena itu, 3 anaknya menghadiahi Papanya ongkos naik haji. Semula anak-anak menghendaki Papanya berangkat lewat jalur Haji Plus saja, agar tak perlu mengantri lama. Maklum, di Surabaya waiting list haji sudah mencapai 10 tahunan. Tapi Om Husain menolak, beliau tetap ingin lewat jalur ONH biasa, supaya bisa lebih lama tinggal di tanah suci dan menikmati ibadahnya. Rupanya beliau ingin berlama-lama mencecap nikmatnya jadi tamu Allah.

Akhirnya, lewat salah satu kerabat Om Husain diupayakan agar bisa berangkat tahun ini, 2012. Seperti kita tahu, ada keistimewaan bagi calon jamaah haji yang usianya sudah sangat udzur untuk didahulukan, mengisi kursi kosong yang pendaftarnya tak jadi berangkat karena gagal melunasi ONH, meninggal dunia, sakit atau hamil. Atas kehendak Allah jua, akhirnya 20 September 2012 lalu baru ada kepastian Om Husain bisa berangkat. Semula ada sedikit kekhawatiran Meyrin karena kondisi fisik Papanya tahun lalu sempat jatuh di Masjid Agung Surabaya, sampai tangannya patah dan sebulan sebelumnya kakinya terkilir sampai jalannya pincang. Kucoba membesarkan hati Meyrin, bahwa jika panggilan menjadi tamu Allah itu sudah sampai, maka Allah –lah yang akan mengatur dan memudahkan semuanya, asal ikhlas. Apalagi semangat Om Husain sangat besar.

Sehari setelah Meyrin mengabariku tentang rencana keberangkatan Papanya, seorang sahabat di Surabay mengabari bahwa ia dan suaminya juga akan berangkat, di tanggal yang sama dengan Om Husain. Langsung saja kutelepon sahabatku itu, yang suaminya seorang dokter spesialis. Kuharap bisa menitipkan Om Husain. Ternyata, selain beda KBIH, prosedur keberangkatan sahabatku ini berbeda, ia tak perlu masuk asrama haji dan langsung ke Jakarta. Jadi tak bisa ketemu Om Husain.

Tapi jalan Allah sungguh indah pada waktunya. 2 minggu sebelum keberangkatan, ketika mengikuti manasik di KBIH, 2 orang pasutri mendekati dan menyapa Om Husain. Mereka tertarik dengan logat bicara Om Husain yang khas Gorontalo. Ngobrol sana sini, baru tahu kalau mereka ternyata kerabat jauh. Jadilah hari Minggu yang lalu Meyrin sekeluarga bertandang ke rumah pasutri “saudara jauh ketemu gede” itu untuk menitipkan Papanya. Benar-benar luar biasa “tangan” Allah mengaturnya, kedua pasutri itu insya Allah akan bisa intens menemani Om Husain, karena mereka se-kloter, se-KBIH, penginapannya pun mestinya jadi satu.

Kemarin, Om Husain mulai masuk Asrama Haji Sukolilo, Surabaya. Sejak hari Senin aku ikut memantau kesiapannya melalui komunikasi BBM dengan Meyrin. Semalam kulihat foto profil di BB Meyrin bergambar foto Om Husain diapit 7 cucunya, status yang tertulis disitu “Take care beloved Papa, GBU”. Aku terharu… Hari ini beliau berangkat menuju tanah suci. Berkat keteguhan hatinya, akhirnya di usianya yang ke 76 tahun, Allah mengundangnya juga menjadi tamu yang dimuliakanNYA di baitullah, rumah Allah. Selamat jalan Om Husain, semoga Allah menjaga dan memudahkan semua urusan disana. Semoga ibadah hajinya mabrur dan tiba kembali dengan selamat di tanah air.

Untuk Meyrin, Kak Ruben dan Reynold, saya kagum dengan kalian yang bisa menghargai pilihan Papa kalian untuk tetap teguh berpegang pada agamanya. Pilihan untuk memberikan kado ulang tahun berupa ongkos naik haji sungguh pilihan bijak. Keluarga kalian menjadi contoh keluarga yang berhasil bertoleransi selama puluhan tahun.

catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer
×
Berita Terbaru Update