Bismillahirrahmanirrahiem….
Terbangunlah umat Islam, mereka tak
sudi, Rasulullah kembali disinisi, dihardik dan dihinadinakan.
Tersinggunglah umat ini, Junjungannya direndahkan, Bagindanya
dileceh-lecehkan dengan tayangan visualisasi sebuah film. Bergejolaklah
aroma dehumanisasi, panggung permusuhan terhiasi gaya sudut-menyudutkan,
gendang bunuh-bunuhan seakan tertabuh di depan kornea mata.
Pekik protes meringkik sudah, raungan
demonstrasi membahana, gelora fanatisme dihidupkan. Berenergi,
berpacuan. Umat Islam -saya, Anda, kami dan mereka- didera rasa nista
sehebat-hebatnya. Tiada kuterima perlakuan ini, kutakrela diknock-out dengan cara yang tak humanis ini.
* * *
Untaian kata demi kata di atas, terlahir
murni dari ruang batinku. Kupuaskan ‘bernyanyi pilu’ atas penghinaan
Rasul-ku, Nabiku, Junjungan-ku. Lantas, kuberjalan pelan-pelan, duduk
tafakkur sembari menabur tanya: ‘Pantaskah kuemosi sedahsyat ini?”.
Tiada jawab atas tanyaku. Berlaksa hening mengapung, bersambangan dan
menggelayut.
Lantas lagi, kutelisik diriku dengan
luapan kesadaran: “Siapakah Rasulullah?”. Tanya yang telah lama
terjawab. Dialah seorang nabi, Pembawa salah satu ‘Agama Langit’
bersandar pada eloknya tuturan Kalam Ilahi. Di sana tertera jelas dan
seterang-terangnya: Sholatlah engkau..!, Puasalah engkau..!, Zakatlah
engkau..!, Muamalah engkau..!.
Segala ini adalah instruksi, high recommended,
wajib-mesti-harus…! Jangan lecehkan perintah Allah yang telah susah
payah diikrarkan Muhammad. Bolehkah kuberkata, siapa yang tak
menjalankan ‘wasiat-wasiat’ Al-Furqan, sesungguhnya ia sedang menantang
Allah, melecehkan perjuangan Rasul..?. Lalu, bagaimana dengan aku, aku
yang kerap lalaikan sholat, aku yang kerap alpa bersedekah, aku yang
mengharamkan yang halal, menghalalkan yang haram?. Bukankah aku ini
telah melecehkan Sang Nabi?.
Kutiada perlu memandang nun jauh di luar
sana atas sekelompok manusia yang memburuk-burukkan Rasulullah.
Kuberkaca dalam diriku, sesungguhnya aku telah ‘menghina’ Rasulku dengan
membiarkan perintah-perintahNya berlalu begitu saja, tanpa kuindahkan,
tanpa kupenuhi. Bahkan kutelantarkan Kitab Suciku, tertimbun debu,
jarang tertengok-tengok, apatah lagi mewujudkannya dalam laku, nafas dan
hidupku^^^
catatan Muhammad Armand freedom writers kompasianer