Warga Kota Lama, Dulu Bernama Batavia
Apa yang kita alami dengan Jakarta belakangan ini adalah kesumpekan. Betul, Jakarta memiliki segalanya. Mayoritas kelas elite Indonesia bertempat tinggal atau beraktivitas di Jakarta. Bagai lubang hitam supernova, Jakarta menyedot apapun dan siapapun. Laksana tata-surya di galaksi Bima Sakti, Jakarta adalah matahari yang dikelilingi oleh daerah-daerah lain sebagai “planet” ikutan.
Saking sumpeknya Jakarta, siapapun kini yang berada di dalam area ini akan berhitung berkali-kali sebelum memutuskan untuk bepergian. Kenapa? Jalanan macet. Trilyunan uang terbuang percuma di jalanan. Bukan hanya itu, beragam jenis penyakit muncul dari jalanan, akibat warga Jakarta menghirup bermacam-macam zat-zat kimiawi yang tak dibutuhkan tubuh. Racun menjalari setiap ruang udara.
Coba pengalaman ini, bepergianlah ke daerah-daerah yang bersih udara selama seminggu. Entah Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi atau Papua. Ketika pramugari memberikan pengumuman bahwa pesawat akan mendarat di Bandara Soekarno Hatta, rongga udara di pesawat langsung berubah. Terhirup bau asap atau polusi yang memasuki pesawat dari lobang-lobang angin.
Atau duduklah di tepian pantai di utara Jakarta. Pandanglah matahari yang hendak tenggelam. Warnanya akan berbeda, dibandingkan dengan memandang matahari di daerah lain. Kenapa? Asap menyelimuti udara, sehingga warna mataharipun berubah. Yang lebih mengenaskan adalah sepasang kekasih di waktu malam. Susah sekali mengucapkan kata-kata sambil memandang langit. Kenapa? Bulan dan bintang jarang kelihatan. Lagi, dan lagi, tertutup oleh polusi udara.
Tak mau memandang dari pinggir pantai atau mendongakkan kepala ke langit di waktu malam, telusuri sungai-sungai yang mengaliri dan membelah Jakarta. Bagi warga yang sudah terbiasa, air sungai adalah sumber dari aktivitas, mulai dari mencuci, mandi, buang air, bahkan mungkin juga area permainan siram-siraman. Tetapi bagi yang tak terbiasa, atau lebih sering memandang sungai-sungai bening di daerah, maka sungai-sungai di Jakarta adalah pusat dari segala jenis sampah, mulai industri, perusahaan, rumah tangga sampai perseorangan.
Apa mimpi kita soal ini? Kenyamanan dalam hidup. Kita menghabiskan banyak waktu di kota ini, baik secara fisik, intelektual, mental, sampai detik demi detik dalam hidup, sampai kematian menjemput. Saya kira, isu lingkungan sangatlah baik didiskusikan, syukur-syukur didesakkan sebagai bagian dari kearifan bersama (common wisdom). Baik, kita capek memaki (menghujat) para penyelenggara negara, baik pusat atau daerah. Tapi bisakah kita sebagai warga kota ini mengalihkan energi negatif itu dengan mencoba untuk, minimal, berpikir positif saja?
Kehidupan sudah berjalan begitu keras. Pusat pemerintahan di dekat Jalan Harmoni seakan tak bisa lagi menampung segala macam persoalan bangsa dan negara ini. Istana Negara yang dulu dihuni oleh para Gubernur Jenderal zaman Hindia Belanda, kini diisi oleh presiden dan keluarganya, sesuai janjinya. Dapatkah warga kota ini berakrab-akrab dengan para elite yang juga manusia biasa itu, dengan melakukan kerja-kerja positif?
Sentuhan kemanusiaan kita akan mengubah kota ini. Dari hanya sekadar pikiran positif, menjadi mimpi yang bisa diwujudkan. Dalam bidang apa? Mari kita diskusikan bersama-sama.
catatan Indra J Piliang