Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Iwan Piliang Vs Farhat Abbas Dan UU ITE Pasal 27 Ayat 3

24 September 2012 | 24.9.12 WIB Last Updated 2012-09-24T13:15:32Z


PADA Jumat malam, 22 September 2012 melalui media sosial Farhat Abbas, pengacara, secara tak terduga mengatakan di timeline-nya, di twitter, mohon ampun, bukan saja maaf.
Saya menyebutnya maaf.

Ia mengatakan memohon ampun pada Tuhan.

Kata maaf itu iya sampaikan atas penyesalannya membawa Sarah Azhari bersaudara ke Mahkamah Konstitusi, di saat saya menjadi salah satu legal standing, penggugat Undang-Undang Transaksi Elektronika pasal 27 ayat 3 ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2009 lalu, dihapuskan.
Agar kekuatan gugatan saya beralih, opini memang harus dibangun. Tentulah opini yang ingin digiring tergugat dalam hal ini pemerintah. Media merespon Sarah, bahwa pasal itu harus dipertahankan, termasuk dilarikan berita ke urusan ponografi, siapa yang bertanggung jawab. Maka pelaku pencemaran mesti dihukum berat, sesuai pasal itu: 6 tahun, denda Rp 1 miliar.

Saya sangat menghargai Farhat dan segenap penyesalannya. Terbayang body language-nya di teve, subyektif saya, terkesan arogan, angkuh. Namun tadi malam itu, membuat saya luluh. Sangat saya hargai sikapnya; menyesal. Karenanya saya katakan dengan ketulusan hati tidak apa-apa, tidak ada yang salah. Kendati pun saya kala itu merasa sendiri dan ”terzalimi” tetap jabat erat untuk Farhat saya ulurkan dengan kejernihan hati.

Jika saja Anda rajin mengikuti tulisan saya di blog, UU ITE pasal 27 ayat 3 itu memang cuma ada di Indonesia di ranah tranksaksi elektronika. UU sejenis di negeri lain, ya, murni untuk kepastian bagi transaksi lektronika. Saya sangat yakin itu. Mengingat ketika masih di RUU-kan, saya masih pengurus di Kadin Indonesia, sebagai Ketua Pokja Konten dan Aplikasi di bawah Kompartemen Telko. Anindya Bakrie, tentu masih ingat itu. Kami mendorong UU ITE itu ada demi kepastian hukum online, digital signature dan seterusnya. Lain tidak.

Entah mengapa, kemudian bala-bala dibawa-bawa. Bala yang saya maksud itu ya pasal 27 ayat 3.
Berkaca ke sejarah, di era kerajaan silam, kata selalu berbalas kata dengan kata. Kata tak berbalas mata buta. Di era penjajahan, Belanda memasukkan pidana untuk pencemaran nama baik, maka dalam KUHP kita ada pasal 310, 311 tentang pencemaran nama baik, penjara 6 bulan. Namun pidana ini pembuktiannya, niat. Jauh lebih ringan dibanding UU ITE pasal 27 ayat 3 yang sangat berat. Hukuman 6 tahun, jelas begitu tersangka Anda ditahan. Lebih tak masuk akal, dibanding era kerajaan silam lebih moderat, sementara kini mobility on the race, sangat represif. Itulah hebatnya penyusun RUU hingga jadi UU, tentu tangan pemerintah dan DPR. Siapa lagi?!

Maka korban pun jatuh. Prita Mulyasari. Saya masih ingat di saat memverifikasi kasus pembunuhan David Hartanto Wijaya di sebuah hotel backpack kecil airmata saya jatuh membaca berita Prita. Ia langsung dimasukkan ke penjara di Tangerang, tanpa mendapatkan ijin untuk sekadar pamit ke anaknya yang masih ia susui. Darah mendidih.

Maka ketika pulang ke Jakarta, setelah 20 hari kemudian, saya menerobos masuk penjara Tangerang, dan atas laku itu pula lantas berita terhadap Prita baru meruyak. Dan gerakan dukungan berlanjut, termasuk basa-basi Capres memberi uang, tak terkecuali kala itu Anas Urbaningrum, saya temeni ke rumah Prita memberi bantuan Rp 100 juta. Lalu bergerak koin Prita. Pagelaran music Prita. Seingat saya Prita mendapatkan lebih Rp 1 miliar. Kini PK penggugat Prita di MK sudah pula ditolak. Alhamdulillah.

Dan bagi saya UU ITE pasal 27 ayat 3 itu tetap musibah.
Musibah yang dibayai pembuatannya dari belulang anak bangsa. Dan pemerintah tetap bergeming enggan mengakui apalagi memiliki kerendahan hati menganggapnya keteledoran. Bahkan ketika gugatan saya ditolak MK, terbayang sosok Mahfud MD yang humanis, seakan bertaring.

Dari verifikasi saya, kata pemerintah itu juga terlalu jamak untuk ditudingkan. Saya secara spesifik menggugah hati sosok seperti Cahyana Ahmadjayadi, kala itu Dirjen Telematika di Kominfo. Kini ia salah satu komisaris di Bank Mandiri. Di saat era dialah, UU itu disahkan dan dia pula yang mempertahnkan di MK. Dugaan saya Farhat ke MK bawa Sarah Azhari, juga karena sosok ini.
Dari draft awal RUU ITE yang disusun oleh Universitas Indonesia dulu, tak ada pasal 27 ayat 3 berbunyi seperti saat ini. Namun draft yang kemudian menohok, datang dari beberapa oknum di Universitas Pajajaran. Dan Cahyana, memang dari Universitas Pajajaran, Bandung. Plus pula saat itu staf ahli Sofjan Djalil, Menkominfo saat itu, berasal pula dari Unpad. Jadi bila saya kemudian berkesimpulan uknom genk Unpad membuat rusuh, tidak berlebihan. Dan salah satu oknum itu kini menjabat komisi hukum setingkat Dirjen pula. Namun tentulah mereka menolak disebutkan perusuh, mereka mengaku pakar hukum, berlogika hukum, doktor hukum.

Nasi sudah menjadi bubur. Ngilu badan hingga ke bulalang hati. Perkembangan bangsa bukan kian maju, malah seakan memundurkan peradaban, hanya karena logika pikir beberapa manusia terkesan oportunis. Akan hal pengakuan Farhat Abbas tadi malam itu, saya melihat sebagai titik balik yang amat baik.

Apakah sosok seperti Cahyana Ahamadjajadi dan anggota DPR yang mensahkan RUU dulu mau seperti Farhat?

Ketika pertanyaan itu saya lontarkan tengah malam sebelum tidur, saya kok menjadi norak-pekak. Sentimentil kali. Terbayang di sebuah café di Cikini. Saat itu suami Prita Mulyasari yang membuka laptop Apple-nya. Saya sampaikan tolonglah dibantu Sumiati, TKW yang disiksa hingga bibirnya digunting majikan di Arab Saudi, saat itu saya menggalang uang bantuan di facebook, baru terkumpul mendekati Rp 5 juta. Saya katakan kasihlah sedikit uang sumbangan publik itu. Saya hanya dapat anggukan. Sama gratis dan sakitnya dada ketika Farhat bawa-bawa Sarah Azhari dan berkonperensi pers di lobby MK. Saya menuruni tangga MK menuju angkutan umum; sendiri, sunyi, sepi.

Terbayang pula kala itu saya mencari saksi ahli, menemui mereka satu dua. Ada yang meminta Rp 25 juta fee. Padahal ketika berangkat ke MK saja hari itu, saya menghitung koin untuk naik busway dalam arti riil. Dan gugatan itu untuk kepentingan publik, kepentingan kematangan hukum, kepentingan ranah keadilan, sisi kemanusiaan.

Entahlah, mengapa kini, terkadang demi peradaban lebih baik, demi memuliakan keinsanan, kita berada dalam sunyi, seorang sendiri. Sama dengan senyap dulu ketika Prita 20 hari awal ditahan, tak ada media menjamahnya.

Sama dengan tak berartinya oleh media massa bahwa berita Prita bebas total adalah kemuliaan.
Media dan konten media sosial juga lebih heboh ihwal Jokowi menang Gubernur DKI. Heboh pula orang-orang di sisi dekat Jokowi kini. Saya pun menjadi alpa, bahwa saya pernah berdoa disaksikan ribuan warga Jakarta tanpa disengaja untuk Jokowi dengan dua premis: jadikan sahabat kami Jokowi Gubernur DKI yang hanya didahulukan selangkah oleh warga; jadikan ia memuliakan keinsanan menempatkan sisi intangible asset di atas kebendaan. Aamiin.

catatan Iwan Piliang
×
Berita Terbaru Update