Debat pasangan cagub & cawagub DKI Jakarta di Metro TV semalam (16 September 2012 pk.07.05-21.00) yang disebut sebagai “Final Round” ternyata menyisakan perasaan ketidak-sukaan teman-2 Tionghoa terhadap gaya Nachrowi (Nara)-cawagub dari Foke sewaktu menyapa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok-cawagub Jokowi. Dengan sapaan “Haiya…Ahok…!” sebenarnya bisa mengandung 2 arti,sebagai canda atau melecehkan.
Memang seringkali dalam pentas komedi,seorang komedian Indonesia dalam melakonkan orang Tionghoa selalu menggunakan kata-2 “Haiya….!” untuk mengidentikkan dirinya seperti etnis Tionghoa zaman dulu,cadel dan kurang fasih berbahasa daerah atau bahasa Indonesia.
Kalau itu dibawakan dalam suasana bercanda,orang akan tertawa karena kelucuan gaya sang komedian.
Namun,dalam acara debat kemarin malam,acara itu bisa menjadi suatu pelecehan terhadap kaum Tionghoa karena disampaikan dalam acara formal & bukan acara Komedi. Apalagi “nada” Nara dalam menyampaikan kalimat tersebut memang bermaksud “mengejek” ….bukan untuk sebuah keakraban. Terlebih saat jawaban-2 Ahok belum selesai,terus saja Nara menyerobot dengan kalimat-kalimat yang melecehkan,tidak terlihat intelektualitas seorang pemimpin. Akibatnya jawaban Ahok atas pertanyaan Nara kurang bisa didengar dengan baik oleh pemirsa.
Basuki alias Ahok adalah generasi etnis Tionghoa yang sudah tidak lagi menggunakan kata “haiya…” dalam membuka sebuah percakapan dengan orang lain. Generasi ini sudah mengenyam pendidikan Indonesia dan dapat berbahasa Indonesia dengan baik. Memang zaman dulu sewaktu etnis Tionghoa bermigrasi dari daratan Tiongkok ke Indonesia atau negara-2 lain,banyak yang belum bisa berbahasa tempat dimana mereka menetap,akibatnya gaya bahaya mereka cadel dan kurang baik. Tetapi itu zaman dulu…! Sekarang,generasi muda etnis Tionghoa sangat fasih berbahasa sesuai dengan “negara baru” mereka.
Jadi,sudah sangat tidak relevan bila sapaan itu kemudian dilontarkan pada generasi muda etnis Tionghoa,sebab mereka tidak identik dengan kakek-nenek mereka dalam berbahasa dan bergaul maupun dalam berbangsa dan bernegara. Justru ada kecenderungan untuk melecehkan bila diucapkan dengan tidak pada tempatnya. Ini persis seperti kata “Cina” yang sering dilontarkan oleh kaum pribumi kepada etnis Tionghoa,bila diucapkan dengan baik dan pada tempatnya,maka kata “Cina” akan masuk dalam konteks pembicaraan,tetapi bila diucapkan tidak pada tempatnya maka tujuannya adalah penghinaan dan pelecehan etnis Tionghoa.
Bagaimanapun pemirsa dan calon pemilih sudah melihat langsung acara tersebut,apakah Foke-Nara terlihat Rasis atau tidak semuanya dikembalikan penilaiannya kepada para calon pemilih yang merasa “berbeda” dengan Foke-Nara dan pendukungnya. Yang jelas,DKI Jakarta bukan kampung orang Betawi saja,tetapi “kampung besar” masyarakat Indonesia,bukan milik satu-dua golongan saja,akan tetapi semua Golongan ada di Jakarta….! Demikian pula dengan keyakinan yang dimiliki oleh masyarakat Jakarta,semuanya sangat beragam….!
Canda atau pelecehan? Biarkan publik yang menilai….!
catatan mania telo freedom writers kompasianer