image kompas.com
Pertama kali sepanjang sejarah kepolisian RI :
seorang Jendral Polisi aktif berbintang dua – masih menjabat sebagai
Gubernur Akpol pula – ditetapkan jadi TERSANGKA! Heboh! Sudah pasti itu.
Polri membela diri? Ooh.., itu juga tak perlu ditanyakan lagi. Bahkan
bukan hanya membela diri, upaya menghalang-halangi penggeledahan pun
dilakukan oleh sejumlah personil Bareskrim yang dipimpin oleh setidaknya
2 orang perwira Polri berpangkat Kombes. Petugas KPK tertahan sampai 24 jam.
Tugas mereka yang berat, apalagi di bulan Ramadhan, kian bertambah
rumit karena institusi yang disidik melakukan perlawanan dengan menyuruh
mereka menghentikan penggeledahan dan melarang barang bukti dibawa KPK.
Ironis memang! Penegak hukum melakukan
penggeledahan, tapi dilarang membawa hasilnya. Beginilah jika yang
dihadapi adalah institusi penegak hukum juga yang selama ini terbiasa
menggeledah dan tahu betul apa konsekwensinya jika barang bukti sudah
ditangan penyidik. Inilah titik kulminasi terendah pelecehan terhadap
upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian RI yang seharusnya
menjunjung tinggi penegakan hukum. Bahkan upaya ini dilakukan secara terorganisir.
Inilah puncak perang dingin cicak melawan buaya, yang pernah meletup
pada paruh kedua tahun 2009 ketika KPK jilid II, pasca kriminalisasi
terhadap Antasari Azhar dan KPK mengalami kekosongan Ketua.
Irjen Pol. Djoko Susilo, mantan Kakorlantas, ditetapkan sebagai tersangka. DS pernah menerima Bintang Bhayangkara Pratama dari Presiden RI. Bintang pernghargaan itu diberikan kepada Perwira Tinggi yang dianggap berprestasi dan terbaik di lingkungan Korps Bhayangkara.
Dialah yang merintis TMC yang dilengkapi CCTV dan layanan SMS semasa
masih menjabat Dirlantas Polda Metro Jaya. Ketika dipromosikan menjadi
Dirlantas Polri, Djoko merilis NTMC (National Traffic Management Centre)
dan mulai merintis penempatan Polwan-polwan goodlooking yang bertugas
di lapangan mengatur lalin. (sumber dari harian Radar Banten edisi 1
Agustus 2012). Sungguh ironis jika yang terbaik ternyata justru yang
pertama dijadikan tersangka.
Pagi tadi, TV One mengundang pihak majalah Tempo
yang pertama mengangkat kasus ini ke media. Menurut Tempo, seminggu
pasca pemberitaan kasus suap dan penggelemBangan nilai pengadaan alat
simulator uji SIM itu diangkat oleh Tempo, pihak Polri sudah melakukan
hak jawab dengan menyatakan bahwa mereka telah selesai melakukan
penyidikan dan sama sekali tak didapati indikasi adanya
korupsi/suap/manipulasi harga. Itu terjadi pada bulan Aprillalu. Jadi
sangat aneh jika sekarang Polri melarang KPK membawa barang bukti dengan
alasan mereka sedang melakukan penyidikan atas kasus yang sama.
Majalah Tempo juga membeberkan keterangan dari
Sukotjo S. Bambang yang sudah jadi terpidana dalam kasus pengadaan alat
simulator uji SIM, bahwa ada selisih lebih dari seratusan milyar antara
harga sebenarnya dari barang tersebut dengan nilai kontrak yang dibuat
dengan Polri. Menurutnya, untuk simulator kendaraan roda dua, harganya
hanya sekitar 30-an juta, menggelemBang menjadi lebih dari 70-an juta.
Kenaikannya 200%. Sedang untuk simulator mobil, harganya hanya 80-an
juta tapi dibandrol sampai lebih dari 200-an juta, hingga kenaikannya
300%. Jika dikalikan total dengan jumlah seluruh mesin simulator yang
dipesan se-Indonesia, tak heran jika selisih harganya bisa menjadi
seratusan milyar rupiah.
Nah, jika Polri serius ingin membersihkan tubuh
institusinya dari pelaku korupsi, suap dan manipulasi, tentu dengan
senang hati mereka akan mengijinkan KPK bekerja sebaik-baiknya. Bila
perlu di-support dengan informasi yang mungkin luput dari pengamatan
KPK. Jika benar Polri telah melakukan penyidikan sampai melibatkan 33
saksi dan sama sekali tak ditemukan indikasi korupsi atau suap dan
mark-up, lalu kenapa harus risau saat KPK menggeledah dokumen? Bukankah
ini saatnya Polri membuktikan dirinya bersih? Ayo, silakan, periksa
saja, siapa takuut?! Kami bersih kok! Justru kengototan Bareskrim agar
petugas KPK menghentikan penggeledahan, menahan petugas KPK, lalu
melunak dengan membolehkan mereka pulang tapi tetap melarang barbuk
dibawa, itu makin menimbulkan kecurigaan bahwa Polri panik!
Merekalah pemilik tafsir kebenaran atas hukum
selama ini. Merekalah yang bisa semena-mena menggeledah rumah orang,
maka tak heran jika kini mereka menolak digeledah. Mereka tahu betul apa
konsekwensi dari penggeledahan itu. So…, Pak Polisi, beri kami satu
saja alasan kenapa kami masih perlu percaya pada institusi anda. Satu
saja alasan supaya kami tak memandang rendah pada polisi yang bertugas
jadi polantas, supaya kami tak meremehkan tugas mulia mengatur lalu
lintas sebagai pekerjaan menjebak pemakai jalan. Supaya kami kami respek
bahwa mengurus SIM memang harus sesuai dengan prosedur, sebab uang yang
kami bayar benar-benar masuk ke kas negara. Semoga Polisi sadar, mereka
juga warga negara yang harus menjadi contoh ketaatan akan hukum.
Catatan Ira Oemar Freedom writers Kompasianer