logo KPK Kejaksaan dan Polri sumber image pelitaonline.com
KPK adalah bayi yang lahir di tengah keputusasaan
bangsa Indonesia menghadapi fenomena korupsi yang makin menggurita dan
mencengkeram semua lini kehidupan. Pelakunya mulai dari eksekutif,
legislatif sampai yudikatif.
Pengusaha swasta berkantong tebal yang
punya kepentingan memuluskan usahanya berkelindan dengan penguasa yang
punya kewenangan meloloskan perijinan. Mereka yang terjerat kasus hukum,
asal punya segepok uang bisa membeli putusan dan memainkan hukum dengan
aparat penegak hukum. Maka, lengkap sudah runtuhnya ketidakpercayaan
masyarakat pada institusi penegak hukum yang ada.
Maka dibuatlah terobosan baru dengan membentuk
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diberi kewenangan lebih besar
untuk menangani pemberantasan korupsi, sebab kejahatan yang akan
diberantas juga bukanlah kejahatan biasa, melainkan extra ordinary crime
alias kejahatan luar biasa! Dalam Undang-Undang tentang KPK – UU no. 30
th. 2002 – jelas disebutkan konsideran ini secara tersurat pada klausul
“Menimbang” pada pembukaan Undang-Undang tersebut. Disitu disebutkan :
a. bahwa dalam rangka
mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
pemberantasan
tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat
dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana
korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan
berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional
b. bahwa lembaga
pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi
secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi
Nah, lembaga yang dimaksud adalah Kepolisian dan
Kejaksaan. Diakui atau tidak, tingkat kepercayaan masyarakat pada kedua
lembaga itu memang sudah di titik nadir, dengan banyaknya praktik suap
yang melilit oknum-oknum dari kedua instansi tersebut. Bahkan sampai ada
istilah “markus” segala, alias makelar kasus, sebab kondisi seperti ini sudah lazim terjadi sehari-hari.
Tentu kita semua belum lupa meruaknya kasus ini
ketika Anggodo Widjojo dianggap menjadi markus bagi perkara saudaranya
Anggoro yang buron ke Singapura. Dalam sidang yang digelar MK, publik
dibuat tercengang bagaimana seorang Anggodo bisa dengan leluasa menelpon
petinggi di Kepolisian dan Kejaksaan, bebas memanggil namanya seolah
teman akrab, bahkan memberikan kata sandi “Truno 3” yang diduga
dialamatkan kepada Kabareskrim Polri saat itu (Susno Duadji) yang
disinyalir Truno 3 mengacu pada Mabes Polri yang berkantor di jalan
Trunojoyo, sedangkan posisi Kabareskrim dianggap posisi nomor 3 setelah
Kapolri dan Wakapolri.
Seandainya Polri dan Kejaksaan sudah dianggap
bersih dari oknum-oknum yang “bermain-main” dengan hukum, serta dianggap
mampu menindak tegas perkara korupsi, tentunya KPK tak perlu ada. Tapi
justru fakta itulah yang melatarbelakangi lahirnya KPK. Setelah
kelahirannya, KPK mulai menunjukkan prestasinya menyeret para koruptor
ke meja hijau. Karena KPK tak mengenal istilah SP3, maka KPK akan
melakukan penetapan tersangka korupsi jika telah mengantongi bukti
permulaan yang cukup. Tak pelak lagi, sepak terjang KPK yang menangkapi
pelaku korupsi tentu membuat gerah para pelaku korupsi dan koleganya.
Banyak koruptor yang ditangkap KPK berasal dari
anggota DPR, DPRD, Gubernur, Bupati, Walikota dan Jaksa. Ada Jaksa Urip
Tri Gunawan yang tertangkap tangan dengan sekardus uang usai keluar dari
rumah Ayin. Lalu ada Jaksa Dwi dan Cyrrus Sinaga, serta beberapa Jaksa
lainnya. Ada pula Hakim yang tertangkap tangan menerima suap dari
kurator.
Semua pejabat itu berhasil ditangani KPK relatif tanpa ada perlawanan sistematis dari institusi asalnya.
Kejaksaan tidak melakukan perlawanan berarti ketika Jaksa Urip
ditangkap KPK, begitupun ketika menyusul jaksa-jaksa lainnya dalam kasus
berbeda.
Lalu bagaimana dengan instansi penegak hukum lainnya, yaitu Kepolisian? Selama ini Kepolisian relatif masih lolos dari tangan KPK.
Semua tuduhan korupsi yang dialamatkan kepada Polisi, ditangani sendiri
oleh Polri. Akibatnya, nyaris semuanya berlalu tanpa keputusan hukum
yang jelas. Ketika majalah Tempo menguak sejumlah rekening gendut para Jendral Polri tahun 2010, Polri melakukan penyelidikan internal, hasilnya : semua rekening itu dinyatakan tak bermasalah! Perolehannya sah, hasil dari berbisnis atau hibah dari keluarganya. Tak satupun dari rekening itu yang dianggap mencurigakan.
Begitupun ketika ada kabar PT. Freeport menggelontorkan dana sejumlah Rp. 14 juta USD kepada Polri yang dikucurkan setiap 4 bulan sekali untuk dana pengamanan Freeport, yang mana hanya 7,55% saja yang disalurkan kepada 635 personil yang bertugas di lapangan dan diganti setiap 4 bulan sekali,
Polri juga tak melakukan tindakan apapun untuk melakukan transparansi atas penggunaan dana dari Freeport
tersebut. Padahal, seperti diakui Staf Ahli Kapolri – Kastorius Sinaga –
dalam acara dialog di Metro TV, setiap personil hanya mendapatkan Rp.
1.250.000,00 saja perbulan. Artinya hanya sekitar 1 juta USD saja dana Freeport yang sampai kepada prajurit polisi yang benar-benar berkeringat dan mempertaruhkan nyawanya menjaga keamanan Freeport. Selebihnya – sekitar 13 juta USD atau 92,45% – entah mengalir kemana tak pernah dijelaskan. .
Dan semua itu dalam pandangan Polri hanya dianggap sebagai pelanggaran etika dan tak pernah ada upaya untuk menyidik apakah tak ada indikasi korupsi.
Maka, tidaklah heran ketika majalah Tempo kembali
memuat berita tentang Simsalabim Simulator SIM, yang mencium kuat aroma
korupsi dan suap dalam pengadaan simulator kemudi, lalu KPK bersegera
menyelidiki dan menyidik kasus ini, pihak Polri seperti kebakaran
jenggot. Zona aman yang selama ini mereka nikmati terusik. Alhasil,
penggeledahan barang bukti pun dicoba dihentikan. Dengan alasan KPK
mengambil juga barang tak menurut Polisi tak ada kaitannya dengan kasus
itu.
Alasan lainnya : barang bukti itu akan digunakan Polri untuk
kepnetingan penyidikan kasus yang sama. Padahal faktanya :
semua dokumen dan barang bukti tetap berada di kantor Korlantas Polri! Tidak satupun yang diambil/ dibawa ke kantor Bareskrim, jika benar Polri telah menyidik kasus itu dan menggunakan dokumen itu sebagai barang bukti.
Apakah ini tidak aneh?! Barang
bukti tetap dibiarkan tergeletak di kantor dimana para terduga pelaku
berkantor. Bukankah ini rentan sekali untuk dilakukan penghilangan/
manipulasi barang bukti?
Itulah bukti resistensi Polri terhadap upaya
pembersihan instansinya dari dugaan tipikor. Jika benar Polri mau
mereformasi dirinya, ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa mereka
benar-benar ingin bersih-bersih, tentunya Polri akan bersikap seperti
Kejaksaan : membiarkan oknum aparatnya yang diduga terlibat untuk
diperiksa KPK. Bukan seperti sekarang, mendadak pada hari dikeluarkannya
Surat Perintah Penyidikan, langsung ditetapkan 5 tersangka dan hanya
dalam tempo sehari setelah itu semuanya di tahan Polri, lalu keluar
statemen bahwa Polri tak akan menyerahkan tahanannya kepada KPK.
Berbagai argumen hukum dilontarkan. Adu kuat dasar
hukum untuk menjatuhkan lawan, pakar hukum diundang untuk mencari
pembenaran. Masyarakat diberi tontonan membingungkan. Padahal, apapun
adu pendapat yang disuguhkan, suara publik yang diutarakan melalui
twitter yang ditayangkan sebuah stasiun TV, boleh dibilang 90%-nya
menyarankan agar Polri legowo menyerahkan kasus ini agar disidik KPK.
Yang lebih tegas lagi menyatakan mereka tak percaya jika kasus yang
melibatkan Jendral berbintang 1 dan 2 ini disidik internal Polri, sebab
akan muncul conflict of interest dan kemungkinan melindungi
pelaku karena bukan tidak mungkin pelaku bukanlah tunggal namun
berjamaah, pejabat jajaran di atasnya atau koleganya bisa saja ikut
kecipratan.
Tak perlu diragukan lagi bagaimana solidaritas di tubuh
Polri. Bahkan ketika terjadi gesekan horisontal antara oknum polisi di
level bawah dengan prajurit TNI, solidaritas membabi buta Polisi ini
sampai menimbulkan bentrok yang memalukan/
Di sebuah stasiun TV semalam, pengacara Irjen Pol.
Djoko Susilo berang karena KPK dianggap mengurusi harta kekayaan orang.
Maklum, harta kekayaan dan asset kliennya kini jadi pembicaraan publik,
karena diduga memiliki sejumlah rumah mewah yang nilainya milyaran, tak
sesuai dengan harta kekayaan yang dilaporkan. Inilah indikasi betapa
mereka sama sekali tak ingin dicurigai. Padahal, korupsi itu katanya
ibarat makan cabe : tak bisa diketahui dari mana pedasnya, hanya bisa
dirasakan. Jadi wajar jika ada kecurigaan pada aparat negara yang
gajinya sudah tertentu, tapi ternyata memiliki sejumlah asset mewah yang
nilainya dirasa tak wajar dibandingkan dengan gajinya. Bukankah
kecurigaan atas rekening gendut itu juga sama logikanya?
KPK memang tak perlu mengurusi harta kekayaan
pejabat negara. KPK memang tak perlu mau tahu bisnis keluarga para
penyelenggara negara. Bahkan KPK tak perlu ada! Tapi semua itu tentu
dengan syarat, seandainya semua pejabat negara di republik ini jujur,
bersih, tak mau menerima apa yang bukan haknya, kekayaannya wajar hanya
didapat dari gaji yang menjadi haknya.
Tak perlu dibuat lembaga
pemberantas korupsi, kalau saja tak ada oknum jaksa dan polisi yang
nakal. Masalahnya, sudahkan para pejabat negara ini jujur dan bersih?
Sudahkah Jaksa dan Polisi bersih? Kalau belum, tak salah jika KPK tetap
diperlukan keberadaannya dan dikuatkan, bukan dilemahkan!
catatan Ira Oemar Freeom Writers Kompasianer