Sejak saya mulai menulis di Kompasiana 9 biulan lalu, concern
saya adalah pada tulisan berbau politik, hukum dan birokrasi serta
fenomena sosial. Yang paling saya hindari adalah tulisan yang berpotensi
memicu polemik agama. Sebab dalam pandangan saya, agama atau keyakinan
adalah hal paling sensitif yang dipilih seseorang untuk dijadikannya
sandaran dalam menjalani seluruh aspek kehidupannya. Karena saya tak
ingin agama yang saya yakini kebenarannya dihujat dan diperolok-olok
oleh pemeluk agama lain, maka terlebih dulu saya harus memastikan bahwa
saya tak pernah memperolok-olok, menghina, merendahkan apalagi menghujat
ajaran agama orang lain.
Bukan hanya menghindari menjadi pemicu konflik
antar agama, saya pun menghindari ikut berkomentar dalam tulisan-tulisan
berbau SARA atau yang memperdebatkan ajaran agama, apalagi sampai
menjelekkan agama yang diyakini orang lain. Meski terkadang saya sempat
membaca tulisan-tulisan seperti itu, saya hanya membacanya sekilas,
jarang sampai tuntas.
Bagi saya, apapun keburukan yang dikatakan orang lain tentang agama saya, tak akan mengubah keyakinan dan keimanan saya. Begitu pula apapun yang saya katakan tentang kejelekan agama orang lain, tak akan membuatnya berubah jadi simpati pada agama saya. Malah justru sebaliknya : hanya menimbulkan rasa permusuhan, sakit hati dan dendam ingin membalas memperolok-olok pula.
Ketika 3 hari yang lalu, usai sahur sambil menunggu
saat Subuh saya buka Kompasiana dan mendapati “kehebohan” yang
mendominasi tulisan di kolom Teraktual tentang tulisan dari seorang
Kompasianer yang menyebut dirinya “filsuf kampung”,
saya agak kaget. Kaget karena ternyata respon Kompasianer lain – yang
saya baca dari tulisan yang mengupas tulisan tersebut, baik yang kontra
maupun yang pro serta komentar-komentarnya – nyaris seragam :
keterlaluan! Tapi tak terlalu kaget karena “pelaku”nya adalah seorang
“filsuf kampung” yang selama ini menggembar-gemborkan issu
toleransi, kebebasan berpendapat/berekspresi serta menghormati
perbedaan, tapi dalam prakteknya justrru dialah yang selalu memulai
membesar-besarkan perbedaan dan mencari celah untuk menggosok-gosok
keberagaman itu menjadi sesuatu yang patut dipersoalkan.
Sejujurnya saya jarang membaca tulisannya.
Alasannya seperti yang saya sebut di awal tulisan ini : menghindari ikut
terlibat dalam diskusi yang berpotensi saling hina agama. Kalaupun saya
membaca tulisannya, tak tertarik untuk ikut berkomentar. Sampai suatu
kali dia menayangkan tulisan – saya ada pertemanan dengannya di
Kompasiana – yang muncul di dashboard saya. Dari judulnya, tulisan itu
menyoal fenomena kos-kosan khusus Muslimah. Sebagai mantan anak kost,
saya tertarik dengan tulisan itu dan langsung mengclick.
Ternyata, si penulis baru mengantar kerabatnya
mencari kos-kosan di Jogja dan mendapati beberapa rumah kost menempelkan
tulisan di secarik kertas “Menerima kos khusus Muslimah”. Penulisnya
sempat memfoto salah satunya. Kalau sekedar bercerita sih tak masalah.
Tapi si penulis menyebut ini fenomena baru, lalu dengan sangat
tendensius menghakimi hal itu sebagai suatu bentuk eksklusifitas
cerminan dari ketakutan berlebihan suatu kelompok tertentu terhadap
kelompok lain.
Dari tulisannya jelas siapa yang dituding, tentu
kelompok Muslim, pemeluk agama Islam, yang dianggap “takut” pada
kelompok lain, yang tentu saja maksudnya non Muslim.
Saya membaca sudah cukup banyak komentar yang
kontra dengan isi tulisan itu dan mencoba menjelaskan bahwa itu hal
biasa saja demi kenyamanan bersama penghuni kost terkait dengan
kebiasaan sehari-hari. Tak kurang banyak pula yang menyebut penulisnya “lebay”, mempersoalkan hal-hal yang tak perlu.
Sebagai orang yang pernah belasan tahun jadi anak kost – sejak masih
kuliah sampai kerja – dan merasakan berbagai ragam kos-kosan, saya
tergelitik untuk berkomentar.
Saya memulai komentar saya dengan mengatakan bahwa
klaim “ini fenomena baru” yang muncul belakangan, itu sama sekali tidak
benar! Sebab hal semacam itu sudah lazim saya temui sejak saya masih
mahasiswi, lebih dari 20 tahun lalu. Alasannya sederhana : demi kenyamanan bersama penghuni kost,
yang umumnya Muslimah berjilbab. Saya ceritakan bahwa ketika awal
berjilbab dulu saya pun pernah kost di tempat seperti itu.
Bukan karena
ketakutan, tapi sekedar supaya saya bisa bebas saat berada di dalam
rumah kost. Bukankah kami hanya berjilbab ketika keluar rumah saja?
Sedangkan di dalam rumah – di Surabaya yang panas – kami lebih suka
memakai daster batik belel yang “yukensi” atau pakai tank top dan celana
pendek, terutama jika sedang mencuci (maklum, kost jaman dulu, belum
ada laundry kiloan).
Nah, di rumah-rumah kost yang dikhususkan Muslimah,
biasanya berlaku aturan bahwa tamu pria hanya diperkenankan sampai di
teras rumah/ ruang tamu, tidak boleh masuk sampai ke depan/ koridor
kamar kost. Jadi sesama penghuni kost bisa bebas mengenakan baju rumah,
tak perlu khawatir mendadak ada temannya yang membawa masuk teman
prianya untuk mengerjakan tugas kampus.
Dengan komunitas yang homogen,
kami bisa menyisihkan satu kamar tersendiri untuk dijadikan musholla,
sehingga membiasakan diri untuk sholat berjamaah Subuh, Maghrib dan Isya
(Dhuhur dan Ashar biasanya sibuk dengan jadwal kuliah). Begitupun
ketika hari Senin dan Kamis, saat kebanyakan berpuasa sunnah, kami bisa
saling membangunkan untuk sahur, meski cuma dengan sepiring mie instant.
Penghuni lain tak perlu terganggu jika jam 3 dini hari terdengar
aktivitas di dapur.
Begitupun saat Ramadhan tiba, kami bisa taraweh
berjamaah tanpa harus pergi ke masjid. Jadi, itulah kenyamanan dan kebebasan yang dicari para penghuninya.
Meski mengkhususkan kost untuk Muslimah, tak semua
penghuninya berjilbab. Beberapa Ibu sengaja memasukkan putrinya – yang
baru pertama kali pisah dari orang tua – ke tempat kost khusus putri,
dengan alasan mereka merasa lebih tentram kalau putrinya tinggal di
lingkungan yang melarang tamu pria masuk, memberlakukan “jam malam”
maksimal sampai jam 9 malam, dll. Sebab mereka ragu melepas putrinya
tanpa pengawasan di kota besar. Fenomena ini sudah ada sejak lama, di berbagai daerah – terutama kota-kota pusat pendidikan – dan
di tengah masyarakat diterima dengan baik, tidak menimbulkan
kecurigaan, tak membikin gesekan sosial dan tak ada yang dirugikan.
Saya pun memberi contoh bahwa fenomena itu BUKAN hanya terjadi di tempat kost. Sejak maraknya kaum wanita mengenakan jilbab, bermunculan salon-salon khusus Muslimah. 19 tahun lalu ada teman saya yang jadi kapster
(pemotong rambut) di salon seperti itu. Apakah ini suatu bentuk
ketakutan?! Jelas tidak! Pengelola salon hanya ingin memberikan
kenyamanan bagi pelanggannya. Coba bayangkan, seorang wanita berjilbab
yang baru saja dikeramas dan sedang dipotong rambutnya, tiba-tiba harus
mengenakan jilbab karena di sebelahnya duduk pelanggan pria. Ribet
bukan?! Creambath belum selesai, sudah dihentikan, pakai jilbab lagi, menunggu pelanggan pria pulang, baru dilanjut. Tak nyaman kan?
Dengan menyediakan layanan khusus Muslimah,
pelanggan berjilbab bisa nyaman merawat rambutnya di situ, karena semua
kapsternya wanita. Tak ada kapster pria atau banci. Begitupun klinik
perawatan khusus Muslimah, yang memberikan layanan facial, massage, lulur, spa
hanya kepada kaum wanita. Pelanggan bisa bebas menikmati layanan apapun
tanpa khawatir ada pelanggan pria masuk. Saya pernah mengalami facial
dan massage di sebuah salon umum.
Ketika saya sedang di-treatment, tiba-tiba bed
di samping saya ditempati pelanggan pria. Sungguh tak nyaman, saya jadi
salting dan ingin segera selesai. Tak mungkin saya meyalahkan pemilik
salon atau tamunya kan? Maka alternatifnya adalah : saya memilih salon
dan klinik perawatan khusus Muslimah yang hanya menerima pelanggan
wanita. Sama sekali BUKAN karena KETAKUTAN pada pemeluk agama lain. Hanya semata demi kenyamanan saja.
Nah, kembali ke tulisan si filsuf kampung tadi, ternyata dia menghapus komentar saya.
Saya heran sekali, bagaimana mungkin seorang yang menggembar-gemborkan
kebebasan berpendapat dan berekspresi, katanya menyeru agar kita
menghormati perbedaan, ternyata sama sekali tak bisa menghargai pendapat yang berbeda dengannya!
Saya tahu, komentar saya yang argumentatif dan komprehensif, disertai
contoh fakta riil dari pengalaman dan pengamatan saya, kalau dibaca
orang lain bisa jadi akan banyak yang setuju dan itu akan mementahkan statement dia yang dilatari kecurigaan tanpa dasar dan argumen.
Tulisannya akan langsung terbantah. Rupanya si filsuf kampung tak siap
berargumen dengan orang yang beda pendapat dengannya, tanpa memaksakan
praduga dan sangkaannya itu benar! Makanya, jalan paling mudah : hapus
komentar!
Saya sangat menyayangkan seorang yang mengaku
filsuf ternyata berpikiran sempit dan dangkal. Menelurkan prasangka
tanpa mencoba mencari tahu apa alasannya. Mencela tanpa mau mencoba
memahami/berempati.
Padahal, kalau mau jujur, bukankah kos-kosan yang
didasarkan pada homogenitas etnis, suku atau agama itu BUKAN baru saja terjadi dan TIDAK hanya terjadi pada kos-kosan Muslimah saja.
Tak jauh dari tempat kost saya dulu, ada sebuah rumah besar yang disewa
dan dijadikan kontrakan khusus sekelompok pemuda asal Papua. Warga
sekitar menyebutnya “mess Irian”. Mereka terkadang minum-minuman keras
bersama-sama, membakar babi dan berpesta. Tentu warga mendiamkannya,
sebab toh itu terjadi di komunitas mereka dan tak mengusik warga
sekitar. Lalu apakah mess Papua ini akan kami sebut bentuk ketakutan
pada suku lain?! Tentu tidak!
Dulu, saya sempat 3 tahun tinggal di asrama ITS.
Ada banyak kawan saya asal Bali tinggal di sana, baik asrama putri
maupun putra. Kalau waktu makan tiba dan lauknya daging sapi, mereka
menolak memakannya, karena dalam keyakinan mereka daging sapi tak boleh
dikonsumsi. Tentu kami menghargai, seperti umat Islam tak boleh
mengkonsumsi daging babi. Sayangnya, kantin asrama tak mungkin mengganti
menu, mahasiswa Bali hanya mendapat kompensasi sebutir telur untuk
diceplok atau didadar.
Biasanya, setelah kenal lingkungan setempat,
banyak diantara mahasiswa Bali itu yang kemudian patungan 5–8 orang
untuk mengontrak rumah. Di kawasan Mulyosari – Sutorejo saat itu, banyak
rumah kontrakan yang dihuni khusus mahasiswa asal Bali. Mereka kemudian
mencari PRT/tukang masak, tentu saja menunya khusus tanpa daging sapi.
Bukankah ini lebih enak? Begitu pula saat tiba hari raya Nyepi, mereka
bisa bersama-sama menjalankan ritual ajaran agamanya.
Bahkan karena
rumah itu dihuni pemeluk agama yang sama, mereka bisa meletakkan tempat
menaruh sesaji dan peribadatan di beranda rumahnya. Saya menghargai
upaya mereka untuk “eksklusif” demi kenyamanan bersama, terutama untuk
menjalankan ajaran agamanya. Tak pernah sedetikpun terbersit prasangka
bahwa mereka eksklusif karena anti/takut pada etnis/suku/ pemeluk agama
lain. Malah lebih enak begitu bukan?
Ada juga di Surabaya, mess khusus warga asal
Kalimantan. Di beberapa PTS ternama di Surabaya, ada kos-kosan yang
khusus bagi etnis keturunan China.
Semua itu berjalan dengan baik, tak
pernah jadi persoalan di masyarakat dan tak perlu dicurigai. Saya rasa
di kota-kota lain pun sering kita jumpai kos-kosan/mess/asrama khusus
warga daerah tertentu. Sesungguhnya, di akar rumput hal-hal
demikian tak pernah jadi masalah. Hanya ulah orang-orang “kurang
kerjaan” yang justru meniup-niupkan issu SARA, untuk mencurigai fenomena
semacam itu dan men-cap nya sebagai suatu bentuk ekslusifisme berdasar
ketakutan dan rasa antipati terhadap kelompok lain. Sebenarnya,
yang otaknya diliputi pikiran SARA dan anti perbedaan itu siapa?
Pemilik/pengelola kos, mess, salon, klinik yang khusus itu, atau orang
yang mencurigai berlebihan?!
Sangat aneh bagi saya, kenapa sang filsuf kampung
tak juga mempersoalkan kelompok-kelompok preman asal suku/etnis tertentu
yang marak di Jakarta? Bukankah ada kelompok John Key, lalu kelompok
yang disewa untuk membunuh Nasruddin Zulkarnain – yang katanya direkrut
Kompol Williardy Wizard – dalam persidangan kasus Antasari. Kenapa sang
filsuf hanya memilih menyoal dan membesar-besarkan fenomena kost khusus
Muslimah yang dalam prakteknya di masyarakat tak menimbulkan keonaran
dan tak ada yang dirugikan?!
Jawabnya : karena sang filsuf memang menulis dan mengangkat issu dari kacamata “anti”. Pikirannya sudah diliputi kecurigaan, prasangka dan tuduhan. Karenanya, ia
tendensius selalu menyerang segala hal yang berkaitan dengan Islam.
Tapi ia abaikan fenomena serupa yang terjadi pada etnis/suku/agama lain.
Jika seorang yang mengaku filsuf ternyata
berwawasan sempit, berpikiran picik, anti pada komentar berbeda,
tendensius membesar-besarkan hal yang tak perlu, maka tak heran kalau
kemudian ia kena batunya. Jujur, saya bersyukur akunnya dibanned Admin.
Blog keroyokan macam Kompasiana tak layak dijadikan sarana kampanye
membesar-besarkan issu SARA yang sebenarnya tak ada masalah di
masyarakat. Semoga, jangan ada lagi penulis-penulis yang sengaja
memancing kekisruhan sesama Kompasianer, sengaja menghina, merendahkan,
mengolok-olok ajaran agama orang lain, sehingga akibatnya ia sendiri
kini dihina dan diolok-olok sebagai filsuf kampungan.
Cukup sampai
disini saja “TOPENG” itu dikenakan. Bertopengkan pluralisme, padahal
sejatinya justru dialah yang menginjak-injak perbedaan. Mengajak
menghargai keberagaman, padahal sejatinya menghembuskan aroma permusuhan
dari celah yang tak pernah diributkan. Inilah sebenarnya yang layak
disebut : provokator intelektual. Lewat pemikirannya ia menebarkan issu SARA. Semoga kita tak terjebak pada penulis-penulis semacam ini.
Catatan Ira Oemar freedom writers kompasianer