Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Tak Ada Kebohongan yang Sempurna

6 Juli 2012 | 6.7.12 WIB Last Updated 2012-07-06T08:24:55Z
1329532927879406794


Sekitar 11 – 12 tahun lalu, Perusahaan tempat saya bekerja di Surabaya sempat menyewa Mario Teguh sebagai konsultan. Salah satu dari rangkaian pelatihan dan workshp yang saya ikuti dari Mario Teguh diantaranya mengajarkan betapa pentingnya bahasa non verbal dalam berkomunikasi. Ternyata, pemilihan kata, susunan kalimat dan pemahaman bahasa hanya memegang peranan 10% saja dalam menciptakan pemahaman dalam berkomunikasi. Yang 90% sisanya justru makna dari komunikasi didapat dari aspek non verbal.

Yang 20% dapat dibaca dari mimik muka/raut wajah dan yang pegang porsi terbesar, 70% adalah pemahaman yang didapat dari bahasa tubuh/body language. Benar juga, bukankah dengan orang bisu/tuli kita tetap bisa berkomunikasi dengan bahasa isyarat? Terkadang kita berada di lingkungan yang tidak kita pahami bahasanya, tapi kita bisa berkomunikasi dengan bahasa “Tarzan” yang mengandalkan mimik muka dan gerakan tubuh. Ketika pertama kali tinggal di Jepang dulu, saya belum bisa berbahasa Jepang dan orang Jepang tak mahir berbahasa Inggris. Tapi toh social life saya normal-normal saja dengan mengandalkan bahasa non verbal.

Tips terpenting dari Mario Teguh yang saya pegang sampai sekarang adalah mendeteksi kebohongan seseorang. Jika kita bertanya pada seseorang lalu orang itu tidak menjawab secara spontan dan bola matanya bergerak ke kanan, itu tandanya dia sedang mengarang jawaban. Patut diduga jawaban yang akan keluar adalah dusta. Sebab yang bekerja adalah otak kanan, yang “kreatif” mengarang. Sedang jika bola matanya bergerak ke kiri, kemungkinan dia sedang mengingat –ingat. Bisa jadi karena pertanyaannya menyangkut hal yang dia sudah lupa. Meski mungkin saja jawabannya salah, itu semata karena kelemahan daya ingat, bukan karena memang diniatkan untuk berbohong. Ini karena yang bekerja otak kiri.

Tips itu terkadang saya gunakan saat mewawancarai pelamar atau ketika terpaksa menginvestigasi karyawan yang bermasalah. Maklum, sebagai orang HRD saya sering harus bertemu dengan banyak orang dengan karakter yang macam-macam. Tapi trik ini tak selalu bisa diandalkan, terutama jika yang ditanya memakai kacamata atau menunduk atau memalingkan muka.

1329533012865147352
Ada satu kasus, dimana polisi tanpa sengaja tahu siapa pelaku pembunuhan, hanya karena pelaku gagal mengajak “tubuhnya” berkompromi ketika ia berdusta. Kejadiannya tahun 1988, sudah hampir 24 tahun yang lalu. Mereka yang tinggal di Surabaya ketika itu mungkin masih ingat pembunuhan atas satu keluarga Letkol. Mar. P (maaf saya pakai initial saja) yang dilakukan oleh keluarga ibu Sumiarsih, yang baru dihukum mati sekitar 3 tahun lalu setelah grasinya ditolak Presiden.

Ceritanya begini : suatu siang sebuah mobil patroli jalan toll menemukan sebuah bangkai sebuah mobil (kalau tak salah Suzuki Jimny/Katana) di dalam jurang di tepi jalan toll, dalam keadaan terbakar. Api sudah padam, tapi tak seluruh body mobil hangus. Ketika berhasil diangkat, seisi mobil sudah meninggal, mungkin ada 6 orang, saya lupa. Tapi polisi menciun ada kejanggalan, sebab mencium bau minyak tanah yang sangat menyengat. Selain itu, dari kondisi mayat-mayat, diperkirakan sudah meninggal sebelum mobil masuk ke jurang.

Demi kepentingan penyelidikan, polisi mengumumkan ini sebagai sebuah kecelakaan murni. Wartawan pun memberitakan begitu. Karena semua keluarga Letkol. Mar. P tewas, maka kerabatnya lah yang menyelenggarakan pengurusan jenazah dan pemakaman. Kerabat ini tak lain adalah orang kepercayaan Letkol. Mar. P yang dipercaya menangani bisnisnya (mengelola rumah bordil di kawasan lokalisasi di Surabya), yaitu ibu Sumiarsih dan pak Prayit. Semua berlangsung wajar, keluarga bu Sumiarsih tampak berduka. Saat usai pemakaman, polisi mengobrol bersama pak Prayit.
Entah sengaja entah tidak, seorang polisi yang hendak merokok meminta api dari pak Prayit. Polisi menyelipkan rokok di bibirnya dan pak Prayit menyalakan pemantik api. Disinilah polisi melihat ada yang aneh. Api itu bergoyang keras, rupanhya jemari pak Prayit bergetar keras. Polisi mulai curiga dengan bahasa tubuh Pak Prayit ini. Sejak itu polisi berusaha memfokuskan penyelidikan pada aktivitas dan alibi keluarga ini pada hari diperkirakan terjadinya pembunuhan.

Benar saja, kemudian terungkap bahwa atas prakarsa ibu Sumiarsih yang terlilit hutang dan rasa dendam pada Letkol. Mar. P karena kalau menagih hutang selalu kasar dan menghina, maka ibu Sumiarsih mengajak suami, anak, menantu dan keponakannya untuk bersama-sama membunuh keluarga Letkol. Mar. P. Hanya putrinya saja yang tak diajak serta, sementara suami putrinya, seorang polisi muda berinsial A, yang baru saja menikah dengan putri bu Sumiarsih, ikut diajak serta. Karena tak berani menentang ibu mertuanya yang galak, polisi A pun terpaksa menurut.

Pembunuhan dilakukan dengan menggunakan alu. Modusnya mereka sekeluarga pura-pura bertamu pada suatu pagi, lalu saat lengah alu dipukulkan ke kepala target. Demikianlah satu demi satu anggota keluarga Letkol. Mar.P dihabisi. Pembantunya dipukul saat pulang dari pasar. Anak dan keponakannya dipukul saat pulang sekolah. Demikian rapi dan terorganisirnya pembunuhan itu, sampai-sampai tak menyisakan bercak darah dan barang bukti sebuah pun.
Kalau saja tangan Pak Prayit tak gemetaran saat menyalakan api untuk rokok pak polisi, mungkin polisi akan kesulitan melacak pelakunya. Tapi seperti kata Agatha Christie : “tak ada kejahatan yang sempurna”. Selalu ada jejak tersisa, karena itu Monsiur Poirot selalu bisa menemukan pelaku kejahatannya.

13295330821761624219
Alibi bisa dikarang dengan cermat, barang bukti bisa dimusnahkan, tapi kegelisahan jiwa tercermin dalam body language. Mungkin inilah cara Tuhan menyalakan alarm nurani kita. Karena manusia diciptakan sebagai makhluk paling sempurna, ia diberi akal dan pikiran. Akal pikiran kadang menyimpang dan membuahkan dusta, maka Tuhan melengkapinya dengan hati nurani. Hati nurani jadi tak tenang ketika akal dan pikiran berkomplot mengarang dusta.

Kendati demikian, kepekaan “alarm” nurani tentu ada batasnya. Jika sudah biasa berbohong, mungkin saja bahasa tubuh yang gelisah atau gerakan bola mata ke kiri, tak lagi tampak. Bahkan kadang lie detector pun tak mampu mendeteksi perubahan detak jantung dan gelombang otak ketika seorang pembohong tulen diperiksa.

Kata Mario Teguh, sebenarnya Tuhan telah menyediakan genta besar yang loncengnya berbunyi setiap kali kita melangkah keluar dari jalur yang telah digariskanNYA. Hanya saja terkadang kita mengabaikan bunyi lonceng itu dan terus saja melangkah makin jauh keluar dari jalur. Seperti juga alarm HP, suara lonceng itu semula lemah lalu makin lama makin keras. Kalau kita terus saja mengabaikannya, lama-lama lonceng genta itu putus dan tak lagi berbunyi. Bahkan ketika langkah kaki kita telah melenceng jauh dari jalur yang benar dan sudah di tubir jurang.
Otak kita setiap hari memproses pengalaman yang kita alami. Memori akan makin kuat jika seluruh indera kita mengalaminya. 

Misalnya memori tentang makanan yang lezat akan terus terbayang kelezatannya ketika mata kita sudah melihat tampilan sajian yang menggiurkan, telinga mendengar decapan mulut yang merasakan keenakan makanan itu, hidung mencium aroma lezat, lidah merasakan citarasanya. Niscaya kenangan lezatnya makanan ini akan lebih terekam kuat di otak ketimbang hanya melihat gambarnya atau mendengar cerita orang yang pernah memakannya.
Itu sebabnya, siswa lebih mudah menangkap pelajaran yang diikuti dengan praktek, ketimbang hanya diterangkan di depan kelas oleh guru, apalagi sekedar membaca di buku. Jamaah pengajian juga lebih merekam pesan seorang ustadz yang mampu membawakan ceramah dengan gesture yang menarik, ketimbang yang hanya berdiri tegak di balik podium.

Nah, ketika berbohong, sebenarnya otak sedang dipaksa untuk memutar suatu rekaman yang tak pernah ada. Peristiwa sebenarnya yang direkam di memori otak adalah apa yang dilihat mata, apa yang didengar telinga dan apa yang dirasakan oleh tubuh dan perasaan saat itu. Misalnya kenangan peristiwa yang menyenangkan, menyedihkan, menyakitkan, menakutkan, dll. Tentu saja otak akan bekerja ekstra keras untuk menciptakan sesuatu yang bertentangan dengan rekaman yang ada. Dan karena rekaman itu hanya rekaan semata, maka tak heran jika sekali waktu otak lupa merekam kebohongan yang pernah disampaikan, apalagi jika menyangkut hal-hal yang detil. Sebab rekaman yang lebih kuat adalah rekaman tentang pengalaman sebenarnya.

Jika berbohong sendiri saja sudah sulit menjaga konsistensinya, apalagi jika kebohongan itu dilakukan “berjamaah”. Sebab daya tahan tiap orang untuk bertahan pada kebohongan tidaklah sama. Dan jika salah satu dari kelompok itu gagal mempertahankan kebohongan, maka anggota kelompok yang lain harus secara spontan mengarang skenario baru untuk menutupi segmen yangtelah terbongkar itu. Dan ini tidaklah mudah untuk mengkoordinasikan skenario baru kepada seluruh anggota kelompok secara spontan. Sebab kebohongan memang tidak bisa spontan.

Ada cerita humor di BBM : 4 mahasiswa bangun kesiangan gara-gara bergadang nonton bola semalaman. Padahal pagi ini ada ujian. Akhirnya mereka sepakat mengarang cerita kepada sang dosen agar diijinkan ikut ujian susulan besok paginya. Mereka beralasan angkot yang dinaiki pecah ban dan membantu sopir angkotnya ganti ban dulu. Dosennya mengabulkan permintaan mereka. Besoknya mereka boleh ujian dengan syarat duduk di ruangan terpisah. Soalnya cuma 2, yang pertama bobot nilainya 10%, sangat gampang, semua bisa mengerjakan. Soal kedua bobot nilainya 90%, pertanyaannya : Coba jelaskan posisi roda angkot sebelah mana yang pecah ban? Nah lho!

13295331681372847129


Itu sebabnya jaringan mafioso memberlakukan aturan ketat : siapa yang tertangkap pantang buka mulut. Jika terpaksa harus mengorbankan diri, korbankan dirimu sendiri. Jangan teman dan organisasi mafia ikut jadi korban. Biasanya mereka yang terpaksa jadi “martir” untuk komplotannya, maka para mafioso lainnya akan take care pada keluarga yang ditinggalkan. Tapi jika anggota yang tertangkap sampai buka mulut, resikonya dihabisi sampai ke keluarganya. Itulah code of conduct tak tertulis para mafioso.

Jadi, kalau hari-hari belakangan ini masyarakat Indonesia disuguhi kebohongan berjamaah dari sekelompok Mafioso politik, maka bersabarlah, karena tak ada kejahatan yang sempurna, tak ada kebohongan yang sempurna. Makin lebar jaringan Mafioso itu, makin luas span of control dari pimpinan mafia, maka akan makin rentan pula untuk out of control. Kita hanya perlu sedikit bersabar untuk menunggu kebenaran terkuak. Sebab, anda bisa membohongi seseorang selamanya, atau anda bisa membohongi banyak orang pada satu ketika. Tapi anda tak akan mungkin membohongi banyak orang selamanya. Selamat bersabar!

catatan ira oemar freedom writers kompasianer
×
Berita Terbaru Update