Anda yang tinggal jauh dari pelabuhan penyeberangan
Merak, mungkin setiap hari hanya mendengar reportasenya saja dari
tayangan berita di TV. Hampir di setiap acara berita atau running text sepekan terakhir ini selalu ada update
kondisi terkini antrian truk menuju Pelabuhan Merak. 1 – 2 hari
belakangan ini, kabarnya panjang antrian sudah mencapai 18 – 19 km.
Sebuah stasiun TV swasta bahkan melakukan pemantauan melalui udara.
Saya yang tinggal di kota Cilegon dan perusahaan
tempat kerja saya berlokasi di Jalan Raya Merak km 115, setidaknya ikut
merasakan kondisi itu. Kebetulan saya tinggal di komplek Palm Hills
Estate yang terletak sekitar 200 meter dari pintu keluar toll Cilegon
Barat dan dari jembatan yang berada persis di pintu gerbang masuk ke
komplek Palm Hills, saya bisa melihat antrian truk, tanki, container,
trailer yang seolah tak bergerak selama berhari-hari. Sebenarnya kondisi
seperti ini sudah berlangsung sekitar 1,5 tahun dan sudah menimbulkan
“korban” dicopotnya kepala ASDP Merak tahun lalu, karena dianggap gagal
mengatasi antrian ini.
Memang kondisi antri dan macet seperti tidak
berlangsung terus menerus sepanjang tahun. Terkadang sempat normal
selama beberapa minggu bahkan bulan. Tapi bila kondisi cuaca tak
bersahabat, angin kencang dan ombak tinggi sehingga Syahbandar tak
mengijinkan kapal berangkat, maka bisa dipastikan truk yang akan
menyeberang ke Lampung untuk berbagai tujuan di pulau Sumatra akan
menumpuk di pelabuhan sampai keluar dan akibatnya antrian panjang sampai
ke badan jalan toll. Antrian yang sudah terjadi hampir sebulan ini,
bukan karena faktor cuaca tapi karena minimnya kapal yang dioperasikan.
Kemacetan antrian itu kian parah dalam sepekan
terakhir kemarin. Kabarnya, sejak Serang Barat bahkan sudah disiagakan
jadi tempat penampungan truk yang menumpuk. Bahkan 4 – 5 hari ini, truk,
bis antar kota dan segala macam kendaraan ukuran besar yang bertujuan
ke Cilegon Barat dan tidak untuk menyeberang ke Merak, sudah dilarang
keluar melalui pintu toll Cilegon Barat. Kendaraan itu keluar di pintu
toll Cilegon Timur, lalu dialihkan lewat tengah kota, membelah keramaian
dan kepadatan lalu lintas kota Cilegon, menuju sentra-sentra industri
yang hampir semuanya berlokasi di Cilegon Barat sampai Merak. Bisa
dibayangkan betapa crowded-nya kondisi lalin di kota Cilegon.
Bahkan pada jam-jam sibuk – pagi dan sore sampai petang hari – jalanan
macet mirip di Jakarta saja : padat merayap!
Sebuah TV berita menayangkan running text
tentang kecaman seorang anggota DPR agar Menteri Perhubungan mundur jika
tak mampu mengatasi kemacetan di Merak. Petang ini, Metro TV menggelar
dialog dengan mengundang para pejabat di Kementrian Perhubungan, mulai
Menteri, Wamen sampai Dirjen, semuanya menyatakan berhalangan hadir.
Semoga saja ketidakhadiran mereka karena sedang sibuk memikirkan solusi
atas kemacetan panjang nyaris tak berujuang di Merak. Sebab, kemacetan
yang kian hari kian panjang akibat kurangnya jumlah kapal roro yang
dioperasikan dalam penyeberangan Merak – Bakauheni tak lagi bisa
diselesaikan hanya dengan pemikiran business as usual. Perlu adanya out of the box thinking.
Menambah jumlah kapal roro hanya 2 buah secara temporer, tak akan
berpengaruh banyak. Sebab jumlah kapal yang semula dioperasikan 30-an
buah kini hanya tinggal 22 – 24 saja.
Yang paling dirugikan adalah para sopir truk. Jika
para pelaku bisnis transportasi dan jasa logistik dan para konsumen yang
merasa dirugikan karena terlambatnya pengiriman barang dan jasa,
niscaya kerugian itu masih bisa dirupiahkan. Tapi bagi para sopir,
kerugian itu lahir, batin dan materiil. Betapa tidak : uang saku dan
uang makan mereka habis dijalan hanya untuk menutupi kebutuhan makan
mereka selama berhari-hari menginap di jalanan. Jangankan membawa uang
tersisa untuk keluarga di rumah, bahkan untuk membayar tiket toll pun
terkadang sudah ikut ludes. Itu baru soal uang, belum lagi soal
kebutuhan fisik lainnya : MCK, misalnya. Secara psikis, mereka yang
tersandera kemacetan tanpa tahu kapan akan berakhir, dilanda kejenuhan
luarbiasa, sehingga sedikit saja ada hal yang menyulut kemarahan mereka,
bisa berdampak besar.
Di penghujung bulan Mei lalu sempat terjadi
kerusuhan akibat amuk ratusan sopit truk dan kenek. Pasalnya : mereka
yang sudah antri berhari-hari marah karena ada sejumlah truk yang bisa
langsung masuk ke dermaga tanpa harus antri, karena melalui jalur khusus
yang disediakan oleh oknum petugas ASDP, tentu saja dengan menyetorkan
sejumlah uang tak resmi dengan besaran tertentu, alias pungli. Perlakuan
istimewa dan pungli inilah yang memicu ledakan kemarahan para sopir dan
kenek yang akhirnya merusak 8 gate pintu masuk ke dermaga,
menghancurkan kantor PT. ASDP, sebuah mobil derek dibakar, dll.
Meski tak membenarkan aksi anarkhis itu, tapi saya
bisa berempati pada emosi mereka. Saya yang setiap hari melihat sendiri
antrian itu, miris melihat para sopir dan kenek itumenghabiskan
hari-harinya. Sekurang 2x dalam sehari – saat berangkat dan pulang
kantor – saya melewati jembatan Palm Hills yang melintang di atas jalan
toll Cilegon Barat. Belum lagi saat jogging pagi hari. Kalau weekend,
sehari bisa 4 – 6 kali saya melintasinya. Para sopir itu hanya bisa
duduk bersimpuh atau tiduran di jalanan, jika bosan duduk di dalam truk
mereka. Karena itu jalan toll, bukan rest area, maka tak tersedia toilet, musholla dan kantin.
Hari Kamis pagi 3 hari lalu, saya mengajak ponakan
kecil saya yang berlibur di Cilegon, untuk memotret kemacetan itu. Si
kecil Hana, umur 7 tahun, sempat berteriak menunjuk “ada orang yang kencing disitu!” teriaknya. Saya
memberinya pengertian bahwa para sopir terpaksa melakukannya karena tak
ada toilet. Kalau sekedar buang air seni, mungkin mereka bisa
melakukannya seenaknya di dinding tepi jalan toll. Tapi bagaimana untuk
buang air besar? Bukankah pengeluaran kotoran itu kebutuhan manusiawi
yang tiap hari harus dilakukan manusia normal yang sehat?
Jumat siang, karena ada keperluan saya pulang
sebentar saat jam istirahat sholat Jumat. Saya lihat para sopir itu
tetap dengan aktivitasnya lesehan di jalan toll. Jangankan sholat Jumat,
sholat 5 waktu saja tak ada tempat. Setiap meter jalan toll telah
dipenuhi truk dan kotor penuh sampah dan najis. Penjaja makanan dan
minuman dadakan yang memanfaatkan antrian untuk mengais rejeki nomplok,
tak pernah peduli kemana kertas pembungkus makanan atau gelas plastik
sisa kopi dibuang. Jalan toll itu sudah berubah menjadi toilet, tempat
sampah dan sekaligus tempat istirahat.
Warga sekitar memang memanfaatkan kondisi seperti
itu untuk berdagang. Sayangnya, tak semuanya berjualan dengan jujur,
Menurut Bang Amin – tukang sayur langganan Ibu saya yang juga terbiasa
berjualan makanan sehabis menjajakan sayuran – terkadang para pedagang
makanan dadakan itu membohongi para sopir dengan mengatakan nasi bungkus
yang dijualnya berlauk rendang, makanya dijual dengan harga 10 – 12
ribu rupiah. Setelah dibuka, ternyata hanya ikan laut secuil. Padahal
uang para sopir itu sudah menipis. Katanya, tak jarang mereka terpaksa
menjual HP-nya dengan harga seadanya, hanya demi membeli makanan dan
minuman.
Kebetulan saya pernah bekerja di perusahaan jasa
logistik, jadi saya tahu kurang lebih seperti apa perhitungan uang jalan
operasional (UJO) yang diterima para sopir. Umumnya mereka sudah
dibekali dengan uang makan yang cukup untuk durasi perjalanan normal.
Sedangkan UJO sudah mencakup uang solar/BBM, uang tiket toll dan
penyeberangan serta uang resmi lainnya, plus uang cadangan untuk
keperluan tak terduga. Jika perjalanan lancar dan arus lalin normal,
para sopir itu bisa membawa kelebihan uang makan dan UJO, bahkan berbagi
dengan kenek. Umumnya para sopir itu bekerja dengan sistem borongan.
Jadi mereka mendapat komisi jika ada muatan yang mereka angkut. Dengan
begitu, mereka tak punya “gaji pokok” yang isa tetap diterima.
Dalam kasus kemacetan antrian menuju Merak, bukan
hanya uang makan yang habis, UJO pun ludes. Pernah ditayangkan di TV,
bagaimana mereka terpaksa “membayar” tiket masuk toll dengan KTP atau
SIM mereka, ketika berhasilkeluar dari antrian. Untung saja petugas
pintu toll pengertian, sehingga membiarkan mereka lewat meski tanpa
membayar. Jika anda menjadi mereka : jam kerja terbuang sisa-sia
berhari-hari hanya untuk antri, badan lelah, psikis jenuh, ancaman
teguran dari pelanggan, uang saku habis dan pulang ke rumah tanpa bisa
memberikan uang pada anak-istri, tidakkah anda marah pada keadaan? Itu
sebabnya saya tidak bisa menyalahkan para sopir ketika mereka mengamuk
akibat hal-hal kecil yang memicu kemarahan mereka.
Saat bersama keponakan memotret antrian truk, mata
si kecil langsung tertuju pada sebuah truk yang berisi sapi. Saya hitung
ada 12 ekor sapi yang berdiri berdesakan di atas bak truk tanpa penutup
terpal yang memadai. Truk itu hanya diberi selembar banner bekas yang
lebarnya tak sampai semeter. Tentu banner itu tak mampu menutupi
sapi-sapi malang itu dari panas terik dan hujan. Kebetulan Kamis dan
Jumat siang di Cilegon turun hujan. Saya lihat hanya ada 3 karung
palstik ukuran kecil berisi rumput yang sudah mulai mengering. Hana
kecil berteriak-teriak penuh rasa kasihan melihat sapi-sapi itu tampak
kurus dan rumputnya tinggal sedikit. Kalau sopir masih bisa melemaskan
kaki dengan turun ke badan jalan toll, sapi-sapi itu hanya bisa berdiri
berdesakan entah sampai kapan. Bisa jadi, sapi-sapi itu lebih stress
ketimbang manusia.
Ponakan saya juga sempat berteriak kaget waktu ia
melihat ada anak kecil di kepala salah satu truk. Dan benar saja, saya
melihat ada kepala 2 orang gadis cilik menyembul dari kepala truk yang
dimaksud. Mereka saling bercanda. Mungkin anak-anak itu keluarga sopir
yang nebeng hendak menyeberang ke Lampung, entahlah. Yang jelas, saya
makin miris melihat ada anak di bawah umur yang harus ikut tersiksa
karena antrian itu.
Tampaknya, sudah saatnya merealisasikan Jembatan
Selat Sunda, yang ide awalnya sudah ada sejak jaman Presiden Soekarno.
Prof. Ir. Sedyatmo pada tahun ’65 sudah ditugaskan untuk membuat
rancangannya. Gambar rancangan itu sudah sampai di meja Presiden
Soeharto pada tahun 1986 dan diberi nama Jembatan Trinusa Bimasakti.
Jembatan selebar 60 meter dengan panjang 29 km itu akan membentang
melalui 3 pulau.
Direncanakan jembatan itu mampu menyeberangkan 18
ribu kendaraan dan 131 orang setiap hari. Terdiri dari 3 jalur : jalur
kendaraan bermotor termasuk motor roda dua, jalur pejalan kaki dan di
tengahnya ada jalur KA double track. Kalau saja jembatan ini terealisir,
tentu akan hebat sekali. Dananya pun pasti tak main-main. Semoga saja
bisa segera terwujud dan bebas dari aroma korupsi. Sebab, tak
terbayangkan bahaya yang mengancam jika sebuah jembatan yang membentang
Selat Sunda dananya dikorupsi.
Apapun solusinya, semoga saja pihak yang berwenang
dan bertanggungjawab mencari solusi atas permasalahan macetnya
penyeberangan Merak – Bakauheni, bisa segera mampu mencari jalan keluar
yang komprehensif dan tuntas agar derita para sopir tak berkepanjangan.
Sebab, tahun lalu pejabat terkait sudah sesumbar : jika tahun depan
masih macet lagi, potong leher saya! Kini, tahun berganti tapi kemacetan
justru kian panjang. Jadi, leher siapa yang bakal dipotong? Ah.., itu
sih sama saja dengan janji siap digantung di Monas.