Damaskus, 29 April 2011
Akhirnya pesawatku landing juga, setelah menempuh waktu sekitar 3 jam dari Doha, Qatar.
Jam kulit warna cokelat di tanganku menunjukkan waktu saat itu, jam 4
sore. Mungkin waktunya kurang lebih sama dengan waktu lokal.
Dari balik jendela pesawat, kulihat udara
Damaskus cukup gersang dan panas. Sama dengan panasnya Doha. Namun yang
tak kalah panas adalah suhu politik negara ini yang banyak diberitakan
oleh kantor berita tempatku bekerja, Al Jazeera. Aku
tahu, kantor perwakilan Al Jazeera di Damaskus setiap hari didemo oleh
masa pro pemerintah, namun hal itu tak membuatku gentar. Bukan kali ini
saja aku dikirim ke daerah kerusuhan oleh kantor pusat tempat dimana aku
bekerja.
Beberapa hari lalu, atasanku memintaku untuk
secepatnya berangkat ke Damaskus meliput berita. Cal Pery dan Roula
Amin, jurnalis kami yang ada disana sudah tak bisa lagi meliput segala
bentuk kegiatan yang berhubungan dengan kondisi politik Suriah, entah
apa alasannya, atasanku tak menjelaskan dengan lengkap. Mungkin mereka
sudah lari ke Lebanon, ke tempat yang lebih aman.
Visa dan tiket sudah di tangan. Berbekal kemampuanku berbahasa Arab, karena memang aku keturunan Iran, aku nekat memasuki wilayah rawan ini, walau kudengar berita bahwa wartawan dilarang memasuki wilayah ini.
TING!
Tanda peringatan untuk memasang safety belt
pesawat sudah mati. Pesawat sudah mendarat sempurna.
Alhamdulillah…sampai juga di negeri Bashar Al Assad ini. Apa yang akan
kuhadapi nanti, semuanya kupasrahkan padaNya, Sang Pemilik Kehidupan.
Tak banyak antrian di bagian imigrasi. Tak banyak orang yang memasuki negara ini, kalau tidak punya kepentingan mendesak.
Tiba giliranku. Semua dokumen penting,
paspor, visa dan surat penugasan sudah aku serahkan. Petugas membaca
semua dokumen dengan seksama. Tiba-tiba kulihat wajahnya berkerut serius
saat melihat surat tugasku, dan sejenak kemudian pandangannya beralih
menatapku tajam. Lalu dia meraih telepon yag ada disampingnya,
menghubungi kawannya.
Perasaanku mulai tak enak. Gelisah, deg-degan, lelah, semua jadi satu.
Tak lama kemudian datanglah 2 orang petugas imigrasi lain mendekati.
“Ayo, ikut kami ke kantor,” kata salah seorang dari mereka dengan nada memerintah.
“Ada apa, bukankah semua dokumenku lengkap.” jawabku.
“Pokoknya kamu ikut kami.”
“Baik.” sahutku dengan suara gemetar, berusaha menenangkan diri sendiri. Hatiku begitu cemas.
Kemudian aku mengikuti 2 orang petugas itu
dengan langkah gontai. Semua rasa capaiku semakin berlipat-lipat. Aku
berusaha menghubungi rekan kantorku, namun ternyata tak ada sinyal.
Kelihatannya sinyal HP diacak. Mungkin karena suasana sedang genting dan
rawan, mereka mengacak sinyal HP. Berarti benar rumor yang kudengar
selama ini. Jaringan internet dipadamkan, sinyal HP sering down. Oh…aku langsung lemas.
“Silakan duduk..” kata petugas yang tadi mengiringiku, setibanya kami di ruangan imigrasi.
“Berikan semua alat-alat elektronikmu, HP, kamera, laptopmu…” lanjutnya.
“Kenapa? Apa ada yang salah? Bukankah saya sudah menyerahkan surat tugas?” tanyaku dengan was-was.
“Pokoknya serahkan semua alat eletronik dan alat komunikasimu. Kami akan periksa semuanya!” jawabnya dengan nada tinggi.
Dengan berat hati, aku serahkan semua alat
elektronik dan alat komunikasiku. Keringat dingin mulai membasahi dahi.
Semoga tak terjadi apa-apa setelah ini.
“Kamu tunggu disini, semuanya akan kami proses.”kata petugas lainnya.
Kemudian mereka masuk ke ruangan lain. Aku
menunggu dengan rasa waswas di ruangan itu. Sendirian. Hanya berteman
tiktok-tiktok, suara jam dinding yang menambah rasa gelisahku.
Sudah 2 jam lebih aku menunggu di ruangan ini dengan perasaan tak karuan.
Tak lama kemudian….
“Kamu ikut kami!!” kata salah seorang dari
mereka, kala memasuki ruangan dimana aku menunggu. Aku kaget, hingga
terlonjak dari bangku.
“Ada apa..?”jawabku tak kalah keras.
“Pokoknya ikut kami…kamu ternyata mata-mata..!!” teriak yang lain.
“Aku bukan mata-mata, aku jurnalis Al Jazeera yang mendapat tugas resmi dari kantor pusat di Doha…!!”jawabku lantang.
Mereka tak peduli. Diseretnya aku memasuki lorong panjang yang ada di belakang ruangan itu.
“Lepaskan !!” teriakku. Aku berusaha
berontak, melepaskan diri dari cengkeraman laki-laki yang menyeret kedua
tanganku dengan kasar.
Mereka tak peduli. Di belakang ruangan, sudah ada mobil van menunggu dengan beberapa tentara bersenjata lengkap!
Oh, Tuhan…apa yang terjadi?
Aku makin berontak. Mereka makin kencang
memegang tanganku, kemudian mendorong tubuhku memasuki van itu. Tanganku
diikat, mulutku dibekap, mataku ditutup.
Mau dibawa kemana aku ini..?
Aku tak berani berontak ataupun meronta-ronta. Aku tak mau terkena pukulan popor senjata itu. Aku harus berusaha melepaskan diri dari mereka dengan cara cerdas.
Sekitar satu jam lamanya aku menempuh
perjalanan dalam mobil yang pengap tanpa AC, di tengah hawa musim panas
padang pasir yang menyengat.
Sampailah kami di sebuah barak. Aku tak tahu
ada dimana tempat ini. Sesampainya di barak ini, kain yang menutup mata
dan mulutku dilepas. Ikatan tanganku juga dilepas. Mereka tak bicara
sepatah katapun. Hanya memandangku dengan tatapan seram dan menakutkan.
“Yala…”kata salah dari mereka sambil mendorong tubuhku memasuki lorong panjang.
Sampailah aku ke dalam sebuah sel sempit. Hanya ada sebuah lubang angin kecil di atas sana.
“Hei…ada apa ini, kenapa aku harus
dipenjara?’ tanyaku pada petugas yang tadi mendorongku. Namun dia hanya
menatapku tajam, kemudian menghempas pintu sel. JDEERRR!!
“Ahhhh..kenapa jadi begini? Bagaimana reaksi kawan-kawanku nanti? Pasti Al Jazeera akan mencari-cariku…”keluhku dalam hati.
Kubalikkan badan, hendak mencari tahu ada dimana aku saat ini.
Ternyata aku tak sendirian. Di pojokan
ruangan, ada seorang gadis berumur sekitar 25 tahun, bermata sembab dan
bengkak. Mungkin karena menangis berhari-hari. Dia duduk meringkuk,
menatapku takut-takut.
Namanya Layla. Sudah 8 hari dia ada di sel ini. Pekerjaannya sehari-hari menjaga sebuah toko pakaian yang ada di kawasan Hamra.
Saat itu dia sedang berjalan kaki dalam
perjalanan pulang sehabis bekerja. Tiba-tiba di sebuah jalan nan sepi,
ada mobil van mendekatinya. Sekelompok lelaki menyeretnya paksa memasuki
mobil itu, kemudian menjebloskannya ke sel ini. Dia dituduh ikut
meramaikan demo anti pemerintah beberapa hari lalu di daerah Kafr Suseh.
“Aku khawatir pada orangtuaku, mereka pasti
kebingungan mencariku. Sudah berhari-hari tak pulang ke rumah.”katanya
di sela-sela isak tangisnya.
Malam hari, aku tak bisa tidur. Di luar sel
ini, aku mendengar banyak kaki-kaki seperti berlarian. Ada suara seperti
tubuh yang diseret paksa.
Tak lama kemudian, aku mendengar ada suara pukulan…bak buk bak buk…
Suara tangisan dan teriakan laki-laki….
“Wallahi…wallahiiiiiiii….,” teriak laki-laki itu, di sela-sela jerit tangisnya.
“Laaaaa…laa…..,” teriak yang lain.
Teriakan itu terus kudengar sepanjang malam. Disertai bunyi pukulan bak buk bak buk….jeritan kesakitan….tangisan penderitaan.
Kututup rapat-rapat kedua telingaku. Tak tahan aku mendengar jeritan itu.
Begitu terus suara-suara itu berulang-ulang setiap malam.
Tuhanku…apa yang terjadi dengan negara
ini. Begitu mengerikannya hidup di negara ini. Semua yang berbeda
pendapat, pasti kehilangan nyawanya. Semua orang saling mencurigai. Tiap
orang saling memata-matai.
Tak mungkin dunia luar tahu apa yang terjadi.
Semua wartawan asing dilarang masuk. Wartawan dalam negeri pasti hanya
mewartakan berita-berita yang menguntungkan pemerintah saja.
Pagi-pagi, saat matahari mulai terlihat, aku
memberanikan diri mengintip keluar melalui lubang angin kecil itu.
Semuanya padang pasir, tak terlihat apapun, kecuali barak-barak, kawat
berduri dimana-mana dan hamparan pasir nan luas menyilaukan. Entah
sampai kapan aku ada disini. Sudah tak tahan rasanya setiap malam
mendengar jeritan dan tangisan mereka yang dituduh anti pemerintah.
Untunglah di negara ini, mereka anti memukul perempuan.
Suatu pagi, entah hari keberapa, mereka
membebaskanku. Mereka tak mencari keterangan apa-apa dariku. Entah
kenapa. Mungkin mereka hanya mencurigaiku sebagai mata-mata karena
pekerjaanku sebagai wartawan dan pasporku yang kebetulan paspor Amerika.
Namun ternyata, mereka tidak menerbangkanku ke Doha. Mereka menyuruhku menaiki pesawat yang menuju Teheran.
Semua alat elektronikku dikembalikan. Namun tetap tak bisa mengadakan komunikasi. Jaringan internet masih dipadamkan.
Tak apalah, yang penting mereka tak
memperlakukan diriku dengan kasar dan tak menahanku lebih lama lagi.
Bisa kubayangkan kehebohan yang terjadi di kantorku karena hilangnya
diriku dalam beberapa hari.
Begitu pesawat lepas landas menuju Teheran,
hatiku lega sekaligus sedih. Bagaimana nasib Layla, kawan satu selku.
Semoga dia juga segera bebas. Semoga tak ada lagi rakyat yang jadi
korban. Sudah cukup kepiluan terjadi di Suriah, jangan memakan lebih
banyak korban lagi.
Qatar, 22 Mei 2011
Betapa lega, sudah kembali ke apartemenku
ini. Benar dugaanku. Berita hilangnya aku di Suriah tanpa kabar berita,
ternyata membuat heboh kantor pusat Al Jazeera di Doha. Berita hilangnya
diriku ditayangkan setiap hari. Kawan-kawanku semua begitu
mengkhawatirkan aku. Mereka tahu persis perlakuan penjara di Timur
Tengah terhadap para tawanannya. Sangat biadab.
Pagi ini, aku menikmati sarapanku sambil
menonton berita di TV. Suriah masih kacau. Wartawan asing tetap dilarang
masuk. Semua berita dilaporkan melalui kantor berita di Lebanon. Banyak
penggerebekan dimana-mana. Banyak rakyat yang ditangkapi.
Korban sudah mencapai 1000 orang. Keadaan tenang namun mencekam
Tiba-tiba aku teringat Layla.
catatan ibu tyas freedom writers kopasianer