Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Pakaian Tepung Terigu Kalonok bak Iklan Berjalan "kami anak dusun balai raba'a"

17 Juli 2012 | 17.7.12 WIB Last Updated 2012-07-16T17:49:33Z

"Edi …!" 
"Ya …!" 
"Ayo berangkat!" 
"Ya. Sebentar …!" teriakku dari dapur. 

Perutku sudah terisi penuh sepotong ubi jalar gurih yang manis dan secangkir air putih yang segar. Seperti hari-hari sebelumnya, bergerak aku perlahan meninggalkan dapur dan mempersiapkan diri berangkat ke sekolah. Yang dipersiapkan hanyalah menanggalkan kain sarung yang senantiasa meliliti tubuhku dari semalam yang berlaku sebagai selimut pengusir dingin. Itu saja persiapannya.  

"Baik-baik di jalan!" pesan nenekku. 
"Ya." 

Di dusun kecil yang terbentuk dari enam rumah tersebut semua orang tahu betapa aku adalah anak kesayangan nenek. Memang paling dekat aku pada nenek yang suka mengiringinya masuk hutan mengumpuli kayu bakar dan memetiki sayuran liar. Seringkali pula aku menemaninya menyiangi padi yang menghijau atau mengusiri burung-burung yang terbang melayang di atas bulir-bulir padi yang sudah menguning. Boleh jadi, dalam diriku nenek bahagia bisa menemukan banyak kemiripan dengan kakekku yang sudah kembali ke asalnya.  

Kutemui Cilik yang sudah menunggu di luar dan beberapa orang sobat seusia yang sudah nampang di depan rumah panggung masing-masing. Di dusun yang sunyi ini Tuhan cukup adil dengan menganugerahi kebersamaan yang pasti, yaitu setiap anak mengenakan pakaian yang mirip sesamanya yang digunakan waktu bermain, tidur, dan sekolah. Biasanya berwarna krem yang dibuat dari kantong tepung terigu, tapi lama-kelamaan berwarna hitam karena selalu dipakai selama 24 jam dan jarang dicuci. Tepung terigu tidak dijual di pasar dekat dusun kami, tapi kantong kosong yang dibawa dari kota oleh penggalas merupakan salah satu bisnis yang bagus manakala kain pembuat baju susah amat terjangkau oleh tangan-tangan orang dusun. 

Lantaran nama perusahaan tepung terigu tertera pada tiap kantong tersebut, kami yang mengenakan pakaian dari tepung terigu tersebut berlaku bagai iklan perusahaan yang berjalan. Tentu saja, tidak ada yang memedulikannya karena semuanya juga mengenakan pakaian yang sama. Hanya saja tulisan tersebut ada lurus, miring, dan terbalik di pakaian masing-masing. 
Seperti ayam-ayam, kami pun berkaki ayam menapaki Bumi menuju sekolah yang terletak sekitar sejam berjalan kaki sembari bercakap-cakap tanpa ujung pangkal yang pasti. 
"Mimpi aku semalam," laporku. 

"Mimpi apa?" tanya Ayen. 
"Dikejar harimau." 
"Mati kau diterkamnya?" 
"Setengah mati. Aku terengah-engah berlari pontang-panting menyelamatkan diri." 
"Terus?" 

"Terpeleset aku di pematang sawah, terjerembab, dan terpuruk dalam bancah yang liat." 
"Lantas?" 
"Harimau bikin loncatan terakhir ke arahku dengan mata melotot mengerikan, dengan cakar yang tajam terkembang, dan dengan taringnya yang runcing mengerikan, dan …" 
"Dan, diterkamnya kamu?" selidik Kalonok. 

"Tidak sampai. Sebab, aku terbangun," jelasku. 
"Nggak seru!" balas mereka hampir serempak. 

Jalan tanah di pagi hari masih menahan embun yang bakal menguap ke langit biru. Jadinya perlu sedikit bijaksana sewaktu menuruni perbukitan itu. Namun, tidak tebersit kekhawatiran sejumput pun dalam diri kami seandainya terpeleset di jalanan yang masih basah karena baju kumuh yang jarang dicuci tersebut selalu berlepotan berwarna tanah. Juga tak perlu khawatir akan tas, buku tulis, atau pensil terlempar berserakan karena peralatan mewah tersebut tidak pernah hadir semasa kami memamah bangku kelas 1 SD. Hampir semua murid tidak memiliki alat-alat tulis dan guru-guru pun kerbau pun memakluminya. 

Bersebab dusun kami kecil duduk mencangkung di lereng perbukitan, jalan yang membelahnya sudah berupa lerengan yang mesti ditapaki saban hari. Cukup rimbun tumbuhan yang menyemak di kiri kanan jalan dan nyanyian burung berhaleluya tanpa henti untuk dunia dan kami bisa terus dinikmati. Sudah hapal betul luar kepala kami akan deretan batu yang tergelar di sana sehingga akan memilih jalan sebelah mana yang aman dilalui agar kaki-kaki kecil kami yang telanjang tidak tergelincir atau digoresi oleh bebatuan yang tajam. Selepas melewati batas dusun, hanya sedikit rumah yang bertengger di jalan menurun yang terus menerjal itu. 

Semua rumah adalah rumah panggung yang tinggi agar binatang liar yang kecil maupun yang besar bisa lalu-lalang di bawah kolongnya tanpa perlu menyelinap masuk rumah atau menabrak rumah. Ini merupakan kearifan orang dusun yang mau hidup damai dan berkompromi dengan alam sekitarnya. Tentu saja, kolong rumah juga digunakan untuk menaruh hasil panen. Dinding-dinding rumah tersebut terbuat dari kayu, rajutan bambu, atau daun kelapa. Adalah pemandangan biasa pada pagi hari asap putih yang gemulai mengepul meliuk-liuk dari dapur tiap rumah terlihat jelas meninggi perlahan meninggalkan Bumi. Aroma ubi panggang atau rebus merambah mengambang memenuhi udara yang bening.  

Selepas menuruni lerengan yang berkelok-kelok ini, terbujur jalan datar yang agak lurus yang di kiri kanannya terdapat parit yang tidak begitu lebar sebagai pemasok air bagi sawah-sawah yang terhampar luas di sebelahnya. Beberapa penghuni rumah meramaikan halamannya dengan tanaman seledri, mentimun, terong, buncis, jagung, bawang merah, labu, tomat, serai, lengkuas, jahe, kunyit, dan sebagainya. 

Pula ada deretan pokok kelapa yang berbaris tak rapi yang terkadang ditingkahi oleh pohon mangga, rambutan, jambu, jeruk, nenas, belimbing, dan lain-lain. Tapi, pepohonan tersebut tidaklah seramai yang terdapat di jalan menurun karena dimonopoli oleh sawah ladang dengan rumah yang relatif banyak di kiri kanan jalannya. Dengan sendirinya keramaian nyanyian burung juga mereda. Krisis kepercayaan burung terhadap manusia yang kurang ajar ini memang tidak pernah menjadi lebih baik sehingga enggan mereka bertengger di tempat terbuka seperti di bubungan atap atau tumbuhan pagar di halaman depan rumah. 

"Kemarin kutemukan beberapa biji telur burung yang besar," ucap Cilik. 
"Di mana? 
"Di atas pohon jambu di belakang rumahku." 
"Lebih besar daripada dua biji yang selalu kau bawa-bawa itu?" 
"Tentu saja." 

"Kau biarkan sampai mereka menjadi besar?" 
"Tidak, kuangkut ke rumah." 
"Kau erami dan besarkan mereka?" 
"Tidak, kurebus dan santap bersama adikku." 

Seusai menelusuri jalan yang berkelok-kelok di dataran yang panjang ini, di ujungnya mengalir sungai yang cukup deras arusnya. Beberapa pohon yang besar dibaringkan dari pinggir ke pinggir dan di atasnya direbahkan lagi beberapa papan melintang agar aman dilalui orang, kuda, sapi, kerbau, dan harimau. Karena tidak terawat dengan baik yang menyebabkan sering adanya lobang menganga yang mau menelan siapa saja, anak-anak seusia kami perlu ekstra hati-hati benar melewatinya. Pedati yang merodai jembatan ini akan begitu saja menabrak bukit yang tinggi di depannya apabila berjalan lurus. Jadi, perlu pengemudi membelokkan pedatinya sesegera mungkin ke arah kiri. 

Belokan tajam tersebut terus menanjak menjauh ke atas menyisiri sungai yang jernih itu. Beberapa menit mendaki perbukitan, sebuah pasar yang dinamai "Pasa Rabaa" memperlihatkan wajahnya yang usang dengan deretan kedai yang hampir tidak ada yang berpintu, berjendela, atau berdinding. "Pasa" berarti "pasar" dan "rabaa" berarti "Rabu". Dinamakan begitu karena pasar ini hanya buka tiap hari Rabu saja dan hari-hari selebihnya hanya kelengangan pekat yang menyungkupinya. Beberapa ekor ayam, kucing, dan anjing duduk berleha-leha menghangatkan badan di tempat yang langsung disirami cahaya matahari. 

SD kami terletak di belakang pasar ini sehingga perlu menelusuri lorongnya yang tak beratap. Sesampai di belakang pasar, masih perlu mengayunkan langkah sekitar 20 meter lagi sebelum tiba di pagar halaman sekolah. Jarak yang tidak begitu jauh, tapi daerah ini tidak datar sehingga sekolah tersebut menempatkan dirinya jauh di bagian atas bukit lagi.  

Karena jalannya berupa lerengan tanah yang dilicini oleh embun pagi atau dikencingi bidadari dari pinggiran sorga di langit yang ketujuh sana, pekikan anak perempuan yang terpeleset dengan pakaian yang bertanah merupakan suatu hal yang mengasyikkan bagi anak laki-laki yang memandangnya. Anak laki-laki yang terlahir kurang beradab menganggap keterpelesetan tersebut sebagai hiburan yang menyenangkan hati. Kendati lebih cekatan bergerak di tempat yang licin, tidak dengan sendirinya tidak ada anak laki-laki yang terpeleset di lerengan tanah yang cukup terjal ini. Terpelesetnya anak laki-laki lebih membuat tensi anak laki-laki yang lain menjulang tinggi menciptakan keramaian yang gaduh tak terkendali. 

Seusai melewati pintu masuk halaman sekolah yang tak berpintu, terdapat lapangan luas untuk keperluan upacara dan sebagainya. Ada petakan bunga yang dijaga dengan baik oleh anak perempuan. Seringkali juga pada waktu mencecahkan kaki di lapangan ini, tak satu pun murid maupun guru yang memperlihatkan batang hidungnya karena kami tiba di sana manakala lonceng masuk sudah berdentang. Kendati pun terlambat, biasanya guru tidak menegur karena memahami betul keadaan kami yang bermukim jauh di dusun lain. 

Di sekolah ini kami belajar, bertengkar, berkejar-kejaran, saling menggoda, dan sebagainya. Suatu tempat latihan yang bagus untuk menempa diri menjadi salah satu anggota masyarakat dunia yang sesungguhnya.

catatan edizal the indonesian freedom writers
×
Berita Terbaru Update