Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Natsuko Berlaki Minang

17 Juli 2012 | 17.7.12 WIB Last Updated 2012-07-16T17:28:34Z

Sang surya mempersembahkan lembaran baru bagi tiap makhluk yang diberkahinya dengan lembut sinar paginya yang mungkin tidak akan pernah dinikmati oleh penghuni neraka. Burung-burung yang riang berkicauan membangunkan kami dan matahari. Korden yang tebal mampu menahan sinar mentari menerobos masuk kamar kami di lantai tujuh dan hanya temaram warna yang bening mengambang dalam ruang yang teduh. Sementara itu makhluk yang mestinya berbaring di sisiku lenyap entah ke mana. 

Mengaum aku menguakkan mulut sebesar mungkin melontarkan sisa tidur yang masih menggayuti diri.

"Ohayo!", terdengar suara gadis dari kamar mandi.
"Ohayo!" balasku.

Perempuan acapnya bangun lebih cepat daripada laki-laki dan semasa itu entah apa yang diperbuatnya, entah apa yang bermain di benaknya, entah apa filosofi hidup yang bikin mereka mau menyerahkan dirinya kepada laki-laki yang tidak tahu diri. Susah sekali menyelami lubuk hati seorang perempuan. Bagaimanapun juga, ramah senyumnya menaruh secangkir teh hangat di depan mata adalah awal sarapan pagi yang menyentuh hati.

Melamum lama aku mengisi waktu dengan merangkai serpihan-serpihan rencana yang direntangkan kemarin, tapi belum juga keluar gadis itu dari kamar mandi, sementara kerongkongan menuntut minta dibasahi. Barangkali masih sibuk dia mematut-matut diri di depan cermin. Dengan malas aku bangkit dari tempat tidur menuju sudut tempat teh + kopi digelarkan dan memanaskan air sisa semalam. 

Perlahan korden aku sibakkan yang mempertontonkan kehijauan daratan yang lagi merangkak menuju puncak gunung yang semampai di kejauhan dan memperlihatkan kebiruan laut yang gemulai menyentuh lengkungan horizon yang panjang.

Di atas permukaan laut ini kita berlayar dalam keteduhan ombak yang bermelodi tenang dan terkadang harus berjuang mati-matian dilamun ombak yang garang, seperti roda pedati yang ganti-berganti turun naik ulang-berulang. Kita adalah molekul air yang menguap menuju langit, membuyar dalam awan-kemawan, menyatu dalam air hujan, tumpah ke Bumi, menelusuri jeram dan sungai menuju lautan yang bersiap diri menuju langit lagi dan begitu seterusnya.

"Oh!"
Sebentuk bayangan membuyarkan lamunanku yang lagi sendiri di balkon yang sunyi. Aku lemparkan senyuman ke dalam kamar. Sebuah meja dan dua kursi menemaniku di balkon yang lapang. Dua cangkir teh tanpa gula sudah kuhidangkan di atas meja balkon sebelum Natsuko keluar dari kamar mandi menampakkan seulas senyum segarnya.

"Minumlah tehnya!" tawarku.
"Ya. Cerah nian hari ini, ya?"
"Ya."
"Pemandangan ini ingatkan aku akan Kaledonia Baru."
"Ya."

Rambut sebahu yang digeraikannya menyentuh angin yang menerbangkan aromanya ke mana-mana. Segelintir baunya tak bakalan terbawa angin ke balkon sebelah yang dibatasi dengan dinding yang menutupi mata demi privasi yang terjaga. Lantaran tak terdengar bisikan apa pun dari balkon sebelah, diniscayai kamar di samping kosong atau sepasang manusia di sana masih berpelukan lembut dalam asuhan mimpi .

Koran pagi adalah salah satu servis khusus yang dialokasikan bagi penghuni bangunan Ocean Club. Aku disibukkan asyik membalik-balik koran berbahasa Inggris yang menerakan nyanyian indah dan kekumalan hidup yang diciptakan oleh manusia dan "tangan-tangan" di Filipina dan di negara lain. Sebagian mereka mengisi catatan hariannya dengan tinta emas yang gemerlapan dan sebagian lagi mengisi catatan hariannya dengan tinta air mata yang memilukan.

"Ada berita yang menarik?"
"Ah, tidak. Biasa saja," jawabku sembari meletakkan koran itu dan menyertai Natsuko melepaskan pandangan ke kejauhan sana.


catatan edizal the indonesian freedom writers
×
Berita Terbaru Update