Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Marty Natalegawa dan Kucing Si Abu

24 Juli 2012 | 24.7.12 WIB Last Updated 2012-07-23T18:18:53Z



Ketika masih menjabat Juru Bicara Deplu, penampilan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Kerajaan Inggris Raya merangkap Irlandia Utara Marty Natalegawa, jauh dari citra seorang birokrat. Tampan, cerdas, energik dan trendy. Dan saya termasuk yang agak “terkejut” ketika membaca boks yang melengkapi wawancara Marty dengan Kompas 11 Desember 2005. Ternyata alumnus London School of Economic and Political Science, menghabiskan sebagian besar waktunya di mancanegara—bahkan SMA nya pun di London—dan beristerikan perempuan Thailand Sranya  Bamrungphong, mengawali nama anak laki-lakinya dengan “Raden Mohammad”.


Mengawali nama anak laki-laki dengan "Muhammad", adalah salah satu
bentuk yang sangat umum bagi seorang muslim menunjukkan kecintaan mereka
kepada Junjungannya. Termasuk saya. Salah satu bentuk lain ialah dengan
menyayangi kucing. Adalah Harold Crouch, ahli Indonesia kondang asal
Australia yang juga seorang penganut Islam, seperti dikutip Majalah
TEMPO, pernah “mengeluhkan” kesukaan ummat Islam terhadap kucing. Dan
Pak Crouch, tentu saja tidak salah ketika mengatakan bahwa hal ini
berhubungan dengan kecintaan mereka terhadap Sang Nabi, yang memang
dikenal sebagai penyayang dan pelindung binatang, terutama kucing.






Sebagaimana dikemukakan Prof Schimmel dalam bukunya “And Muhammad Is His
Messenger” (1985), Nabi yang mulia itu pernah menggunting lengan bajunya
karena tidak tega membangunkan seekor kucing yang ketika Nabi tidur,
ikut tidur di lengan baju beliau.


Tetapi saya percaya bahwa Pak Crouch tidak berkata begitu, jika dia
mempunyai kucing seperti si Aboe.


Si Aboe adalah seekor kucing kampung jantan berumur setengah tahunan
yang sangat tampan dengan bulu bersih berkilat bewarna hitam ke
abu-abuan, yang pada suatu hari datang begitu saja ke rumah kami. Sesuai
dengan warna bulunya, oleh anak-anak saya kucing itu diberi nama si
Aboe. Kehadirannya di rumah kami saya ketahui ketika pulang bertugas
dari luar kota. Saya yang sejak kecil penyayang kucing, langsung jatuh
cinta pada pandangan pertama kepada si Aboe.


Tetapi seperti biasa, masalah timbul karena Kur sang ratu rumah tangga
saya tidak suka, bahkan “alergi” terhadap kucing. Tetapi seperti yang
terjadi sebelumnya, doi akhirnya tidak bisa apa-apa. Selain Iben anak
tertua, empat dari lima anak dan keempat cucu kami, mewarisi sifat
penyayang berat saya kepada kucing. Akhirnya disepakati si Aboe boleh
menjadi anggota keluarga kami dengan tiga syarat: pertama tidak suka
nyolong ikan, kedua tidak beol di dalam rumah dan ketiga tidak mencakar
jok sofa atau memecah pot kembang milik Kur. Kalau salah satu ketiga
syarat tersebut dilanggar, maka si Aboe akan bernasib seperti
kucing-kucing kami terdahulu: “diekstradisi”!


Saya tahu Kur tidak main-main dengan ancamannya itu, misalnya seperti
yang terjadi pada salah satu kucing yang dulu pernah kami pelihara.
Suatu ketika kucing tersebut sakit mencret. Meila, anak keempat kami
yang ketika itu masih bersekolah di SMP, yang sekarang sudah menjadi
gadis dewasa dan telah bekerja, merawat kucing itu dengan telaten,
termasuk membuang dan membersihkan bekas beolnya sampai kucing itu sehat
kembali. Walaupun terlihat agak mangkel, Kur masih bisa “mentolerir” hal
itu. Kur “naik pitam” ketika pada suatu malam Meila berhujan-hujan
sendirian keluar rumah cukup jauh mencari kucing itu yang sejak siang
tidak pulang-pulang, dan setelah berhasil menemukannya membawanya kucing
itu pulang. Besoknya tanpa dapat ditawar-tawar lagi Kur menyuruh Iben
membawa kucing itu ke Pasar Kemiri, Depok, dan melepaskannya di sana.


Si Aboe memang kucing manis, tidak “beol” di rumah, dan tidak mencakar
jok sofa, kecuali sekali-sekali, dan kalau ketahuan serta dihardik Kur,
ia buru-buru lari ngumpet ke kolong meja atau kolong lemari. Aboe juga
tidak suka mencuri ikan. Bahkan Aboe makannya rada susah, terutama bila
ikan cue’ yang dibeli Kur khusus buat si Aboe bila ia berbelanja ke
pasar Agung sudah habis. Biasanya saya dan anak-anak merelakan sebagian
rendang daging, kalio ayam, dendeng atau tongkol belado, atau
belado-belado lainnya dari piring kami untuk Aboe. Caranya, pertama
rendang, ayam atau dendeng tersebut digelimangi dulu ke nasi agar bumbu
pedasnya bersih. Setelah itu daging atau ayam tersebut harus
disuir-suir. Kalau tidak Aboe ogah menyentuhnya. Melihat ini Kur
biasanya hanya geleng-geleng kepala.


Si Aboe memang kucing manis. Seperti kucing-kucing rumah lainnya, si
Aboe sering lari ke sana ke sini, jingrak-jingkrakkan, terkam sana,
terkam sini, guling-gulingan sendirian dan kalau sudah capek, lalu
merebahkan badan dan menegakkan kepalanya dengan gagahnya sembari
mengibas-ngibasnya ekornya yang pendek itu bak seekor macan Benggala.
Kalau kita mencoba mengelus punggung atau perutnya, maka tangan kita
akan “dicakar” atau “digigitnya”, tentu saja dicakar dan digigit
bohong-bohongan.


Tetapi tangan saya juga pernah digigit benaran oleh si Aboe sehingga
berdarah, yaitu ketika saya mencoba mengusap-usap punggungnya pada saat
Aboe yang mulai puber sedang berpacaran. “Syukurin,” ujar Kur sembari
mengoleskan obat antiseptik betadin ke atas luka saya iatu.


Caranya tidur manja sekali. Kaki depan dan kaki belakangnya
dijulurkannya sedmikian rupa sehingga membentuk garis lurus dengan
badannya.


Ira, bungsu kami yang merasa pemilik sah si Aboe, ingin kucing itu tidur
dengannya. Tetapi karena sering diunyal-unyal dan diciumi, si Aboe kabur
pada kesempatan pertama, dan biasanya tidur di samping Sonny anak ketiga
kami yang ketika itu belum menikah dan lebih sering tidur di tikar di
depan TV ketimbang di kamarnya sendiri. Biasanya sebelum tidur, Sonny
melipat handuknya dan menggelar di sebelahnya. Seperti sudah tahu bahwa
handuk itu disediakan untuknya, si Aboe hampir selalu tidur di samping
Sony di atas handuk tersebut sampai pagi.


Si Aboe takut kepada Kur. Mendengar Kur bersuara, bahkan tertawa agak
keras saja kadang-kadang sudah membuat Aboe lari terbirit-birit. Tetapi
dasar kucing, kalau sedang lari-larian, sesekali secara tidak sengaja
dia suka menabrak kaki Kur yang sedang berdiri atau sedang berjalan.
“Nah, ini mama yang nggak suka sama si Aboe…….Kalau mama jatuh
gimana”, ujar Kur yang memang tidak tahan kalau dikaget-kagetin,
seakan-akan mau “jatuh”. “Kamu jangan macam-macam boe”, jawab saya
sekenanya dan belagak marah sama si Aboe. Sementara yang saya “omelin”
sudah menyuruk entah di mana.


Namun bukan itu yang membikin situasi gawat. Si Aboe memang tidak suka
mencuri ikan, tidak berak sembarangan, tidak mecahin perbaotan atau
mencakar-cakar jok sofa, kecuali sekali-sekali. Tetapi, alaamaakk, si
Aboe ternyata suka kencing di rumah. Saya melihat sendiri si Aboe masuk
ke keranjang plastik berisi pakaian yang baru saja selesai disetrika,
lalu mengangkat kakinya, byurrrr. Menyaksikan hal itu saya lalu
melakukan “politik burung onta”: memalingkan pandangan saya dari apa
yang saya lihat itu. Kemudian saya mendengar dari Meila bahwa Si Aboe
juga pernah mengencingin korden di ruang tamu, yang untuk mencucinya
tentu saja harus di kirim ke laundry.


Akhirnya vonis pun jatuh: Si Aboe tidak boleh lagi tidur di rumah di
malam hari. Jadi sebelum tidur si Aboe harus dikeluarkan dan baru boleh
masuk lagi menjelang subuh. Pernah Ira mencoba menyembunyikan si Aboe di
bawah selimutnya, tetapi ketahuan oleh Kur karena si Aboe tidak bisa
diam karena merasa sumpek. Seperti tahu diri, si Aboe nurut saja ditaruh
di luar, dan menjelang subuh baru mengeong-ngeong di depan pintu dengan
suaranya yang khas. Biasanya Kur sendiri yang membukakan pintu agar si
Aboe bisa masuk kembali ke rumah.


Keadaan itu berlangsung beberapa lama, sampai pada suatu Sabtu pagi,
ketika saya sedang membuat catatan pengeluaran saya untuk dilaporkan ke
kantor setelah kembali dari sebuah perjalan dinas ke Sulawesi Selatan,
saya kaget dan hampir tidak percaya ketika mendengar Ira yang begitu
melihat si Aboe terbujur kaku di depan rumah sembari menangis mengatakan
bahwa Si Aboe mati. Saya tidak berani keluar untuk melihat binatang
kesayangan saya tersebut terkapar tidak bernyawa. Seorang tetangga
mengatakan kayaknya si Aboe memakan dengan tidak sengaja umpan beracun
untuk membunuh tikus, karena ada busa di mulutnya. Mungkin saja ketika
merasa pusing, si Aboe berusaha untuk pulang, tetapi sebelum sampai di
pintu dan mengeong-ngeong seperti biasa untuk minta dibukakan pintu,
sudah ambruk duluan di halaman. Kur yang juga terlihat ikut sedih
berkata lirih: “Mama heran, kok si Aboe tadi pagi tidak mengeong-ngeong
minta dibukakan pintu seperti biasa”


Sonny, yang merasa sangat kehilangan memberikan penghormatan terakhir
dengan mengubur si Aboe di garasi di depan rumah kami.


Kurang lebih dua bulan setelah itu, saya dan Kur berangkat ke Tanah Suci
untuk menunaikan Ibadah Haji. Dalam tidur saya di malam hari
sekembalinya ke pemondokan kami di Makkah sepulang melaksanakan
pelemparan jamarat di Mina, saya mengalami tiga mimpi yang sangat
menyenangkan. Salah satu di antaranya, yang terakhir, saya melihat si
Aboe, yang tampak lebih besar dan agak transparan berjalan mendekati
saya sambil mengibas-ngibaskan ekornya.


“Ngapain kamu Boe..?” ujar saya sambil tertawa.


Ketika terjaga dan menyadari bahwa apa yang saya alami itu hanya sebuah
mimpi belaka, saya lalu mendesis lirih:


“Duh Aboe…..”


catatan Darwin Bahar the indonesian freedom writers
×
Berita Terbaru Update