Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Marhaban Ya Ramadhan dan Kopiah Haji

17 Juli 2012 | 17.7.12 WIB Last Updated 2012-07-17T16:46:12Z


Puasa Ramadhan sudah datang (lagi). Lengkap dengan hiruk pikuk berjuta pengeras suara, teriakan-teriakan “sahuuuuur !” sedikit lewat tengah malam, azan maghrib beragam gaya, tarawih yang gegap gempita dan ceramah yang amat sangat perlu rupanya diperdengarkan ke seantero penjuru angin lewat pengeras suara. Tadarrus Al Qur’an yang bukan tidak jarang terdengar sumbang karena dibawakan oleh orang yang kurang paham tajwid. Begitupula dengan penampilan para selebs yang bermetamorphose secara instant menjadi juru dakwah layar kaca lengkap dengan busana berjilbab yang aduhai. Semuanya sudah sesuai benar dengan praduga jauh menjelang Ramadhan tiba. Suatu taferil yang setiap tahun berulang. Tak ada yang berubah. Dari tahun ke tahun itu itu juga yang kita lihat, dengar dan saksikan. Balihoo “Marhaban Ya Ramadhan” (mengapa bukan “Selamat Datang Wahai Ramadhan” ?) dimana-mana dan seperangkat slogan lain yang lazim diperagakan setahun sekali. Sementara akhlak umat tetap saja buruk malah cenderung bertambah buruk
Sering hati ini bertanya “Sesuaikah itu dengan petunjuk Rasulullah ?”. Orang beribadah dengan sendirinya ingin bertemu dengan Tuhan. Ingin berdua-dua dengan Tuhan. Ingin melepaskan rindunya kepada Tuhan. Ingin berbicara dengan Tuhan. Ingin berkeluh kesah pada Tuhan. Ingin mengadukan nasibnya kepada Tuhan. Ingin mohon pertolongan Tuhan. Ingin mencari kedamaian. Ingin berserah diri secara total kepada Tuhan. Ingin mencari yang namanya Islam. Keberserahan diri. Kedamaian hakiki. Haruskah itu dijemput dengan serba massif, serba ramai, serba hiruk ? Pekakkah Tuhan sehingga harus disapa dengan berteriak ?
Mungkin kita lupa bahwa kita sedang berhadapan dengan gejala tradisi. Tepatnya : agama yang dibungkus dalam balutan tradisi. Baik tradisi negeri asal Islam (Arab) maupun tradisi lokal. Sehingga kadang-kadang sulit memilah mana yang sekedar “bentuk” dan mana yang benar-benar “substansi”. Mana yang sekedar penampilan, dan mana yang inti. Pertama-tama tentu kita sadar bahwa bahasa yang digunakan dalam ritual agama (Islam) adalah bahasa Arab. 
Bukankah Nabi Muhammad orang Arab ? Seandainya Islam diturunkan di Indonesia tentulah pula bahasa Al Qur’an adalah bahasa Indonesia. Dan Al Qur’an bukan lagi Al Qur’an namanya. Mungkin sekali namanya “Bacaan”. Dan mungkin istilah “nabi” menjadi “pengabar”. Mungkin “rasul” menjadi “utusan”. Karena bukankah bahasa hanya alat komunikasi ? Bukankah bahasa hanya sekedar medium perantara ?
Tapi justru oleh karena itu maka, apabila ditinjau dari fungsi bahasa, mungkin kedudukan bahasa Arab sebagai bahasa “agama” (Islam) sangat perlu dipertanyakan : perlukah kita meminjam bahasa bangsa lain untuk berbakti kepada Tuhan ? Apakah Tuhan hanya paham bahasa Arab saja ? Bukankah Tuhan “Maha Mengetahui” ? Apa perlunya bahasa dalam beragama ? Begitu Maha Mengetahuinya Tuhan, sehingga apa yang tersirat dalam kalbu – tanpa perlu diucapkan – Dia pun maha tahu ?
Setiap kali membaca “Ihdinas shirotol mustaqim…” maka kita bermohon Ditunjuki jalan yang lurus oleh Tuhan. Otomatis ? Ya, karena sudah terbiasa salat. Walaupun tidak paham bahasa Arab. Tapi bayangkan kita sedang bertemu ayat yang didalamnya ada“Wa idza adzaqnan nasa rohmatan min ba’di dhorro’….” (QS 10/21) misalnya, bukankah (sebahagian terbesar) kita harus membuka terjemah (paling tidak) atau tafsir sekaligus, sekedar untuk mengerti bahwa ungkapan itu berarti “Dan apabila kami merasakan kepada manusia suatu rahmat sesudah (datangnya) bahaya….”. 
Jadi kita tidak dapat merasakan secara instant arti maupun makna dari apa yang kita baca. Arti maupun makna baru dapat kita rasakan setelah melalui proses penterjemahan atau penafsiran. Bukankah itu ketinggalan namanya ? Jadi, perlukah kita setiapkali meminjam bahasa lain untuk sampai ke pemahaman ? Untuk beragama ?
Bayangkan seorang yang bahasa ibunya adalah bahasa Inggris : mana yang lebih “sreg” dia baca, yaitu yang dia baca dengan sepenuh hatinya, dengan sepenuh sukmanya : “Al haqqu min robbika fala takunanna minal mumtarin” (QS 3/60) atau “(This is) the truth from your Lord, so be not of those who doubt” ?
Kita tahu bahwa keragaman adalah hukum Tuhan. Adalah sunnatullah. Dengan demikian maka beragamnya bangsa, bahasa, warna kulit – dan agama – juga merupakan sunnatullah, bukan ? Jadi apa perlunya bahasa Arab diunggulkan diatas bahasa-bahasa lainnya ? Apabila itu memang menjadi kehendak Tuhan, maka bukankah karena itu Tuhan bersikap preferential ? Bersikap pilih kasih ? Melebihkan martabat segala yang berbau Arab diatas yang lainnya ? Logiskah itu ? Sehingga mewujudlah orang Arab itu sebagai Ubermensch yang kedudukannya lebih tinggi dari bangsa lain ?
Hari-hari ini suasana memang terasa lebih “religius”. Betapa tidak. Dimana-mana terdengar orang melantunkan ayat-ayat suci Al Qur’an. Dari masjid, surau, musollla dan rumah-rumah penduduk. Kerap saya tertegun sendiri memikirkan fenomena ini : pahamkah mereka yang sedang “bersenandung” itu akan apa yang sedang dibacanya ? Mungkin sekali tidak. (Coba saja pikir : berapa banyak kursus bahasa Arab ketimbang kursus bahasa Inggris ? Hampir seratus persen dari mereka yang paham bahasa Arab mendapatkan ilmu ini dari lingkungan pesantren. 
Suatu lingkungan yang khusus. Nah berapa persen manusia Indonesia yang pernah mengenyam kehidupan nyantri di pesantren ?) Dan si pembaca Al Qur’an itu sendiri tetap saja terus membaca (walau tidak paham sedikit pun) seolah-olah terbius oleh lagu yang dibawakannya. Dan biasanya sesekali dibalas oleh para penyimak dengan bergumam “Allah….”. Mungkin juga disinilah terletak salah satu keunggulan Al Qur’an : tanpa dipahami pun dia tetap enak dibaca (= dilagukan) dan juga didengarkan. Tapi, betulkah mereka sedang “beragama” kalau begitu ?
Bukankah Al Qur’an itu sarat dengan pesan sakral ? Yang diperlukan manusia untuk menjalani kehidupan dengan baik ? Dan bahwa untuk itu Al Qur’an perlu dipahami isinya ? Bukan dilagukan ? Perlu dihayati, dan bukan hanya untuk dicium dan diletakkan ditempat yang terhormat ? Tanpa sedikit pun tahu apa pesan-pesan intinya ? Bukankah yang lebih diperlukan adalah pembudayaan membaca tafsir Al Qur’an dan bukan huruf-huruf Arab yang hanya diketahui cara “membunyikannya” yang kosong dari arti dan makna kalau dibaca sambil dilagukan, karena tidak paham bahasanya ?
Fenomena lain yang juga asyik untuk disimak adalah pengambil-alihan unsur-unsur kultur Arab lainnya nyaris secara paripurna kemudian memberinya label agama. Sekedar contoh saja : bukankah orang yang sudah menunaikan ibadah haji senang sekali memakai “kopiah haji” ? Padahal kopiah haji samasekali tidak relevan kengan kehajian seseorang. 
Begitupula dengan sorban, gamis atau jubah, yang sesungguhnya tidak ada sangkut pautnya dengan martabat taqwa seseorang, tapi orang sangat gemar memakai busana ini karena nuansa “religius”nya. Padahal sorban 100% adalah elemen kultur Arab yang fungsi awalnya adalah untuk melindungi muka dari terpaan badai gurun pasir. Alangkah menggelikan apabila busana yang fungsinya terkait dengan perangai khas gurun pasir digunakan di Indonesia sebagai icon agama, sedangkan di Indonesia jelas tidak ada gurun pasirnya samasekali apalagi badai pasir. 
Perlukah sorban, gamis dan jubah dalam mendekatkan diri kepada Tuhan ? Begitupula dengan orkes gambus plus irama “padang pasirnya”, yang sudah lama didaulat sebagai icon Islam. Sering digunakan dahulu sebagai musik latar belakang acara dakwah. (Alhamdulillah sekarang sudah mulai terlihat bergeser kearah musik-musik lain).
Demikianlah kita lihat betapa arabisasi Islam berlangsung di kawasan Nusantara ini. Sedemikian rupa sehingga Islam pun dikenal sebagai agama padang pasir. Padahal Islam kental sekali ke-universalannya. Arabisasi sudah berhasil mengerdilkan Islam, sehingga perilaku kriminal oknum-oknum Arab langsung saja berimbas kepada Islam, seolah-olah islam itu milik Arab. Dan akhirnya melekatlah stigma terorisme secara menyeluruh kepada apa pun yang berbau islam. Dan kita sebagai komunitas Islam merasa dipojokkan dengan sikap Barat yang menyalahkan Islam terutama sekali pasca peristiwa 9/11. Padahal bukankah kita yang memicu sebabnya dengan menggadaikan keagungan Islam karena mau tampil sok Arab ?
Padahal esensi agama samasekali tidak memerlukan bahasa atau pun unsur budaya lainnya. Yang diperlukan adalah kemauan untuk kembali kepada fitrah. Kembali pada hati nurani. Kembali pada yang tidak pernah berbohong. Yang selalu jujur. Hati nurani yang Dianugerahkannya kepada pribadi kita masing-masing. Ikutilah hati nuranimu, maka engkau akan selamat. Bohongi hati nuranimu, insyaallah engkau akan sesat.
catatan Arifin Abubakar the indonesian freedom writers

×
Berita Terbaru Update