Kemarin pagi, karena ada urusan mendadak,
saya harus ke Klaten. Selesai urusan saya, sore menuju Jogja dan
menginap disana. Malamnya, karena capek, saya melewatkan waktu hanya
berdiam di kamar hotel. Karena saluran TV yang ada tak terlalu bagus
kualitas gambarnya, saya hanya punya satu pilihan untuk menonton TV One,
tayangan acara ILC, Indonesia Lawyers Club.
Saya benar-benar muak melihat tayangan
semalam. Episode yang membahas kemungkinan nasib Anas pasca
ditetapkannya Angie sebagai tersangka itu bertabur “bintang”. Dari
Partai Demokrat ada Ruhut Sitompul, Denny Kailimang, Amir Sjamsudin,
Soetan Bathoegana dan Patra Zen (pengacara Anas). Dari tim pengacara
Nazaruddin hadir Elza Syarif, Hotman Parin, Rufinus dan Juniver Girsang.
Ada pula 2 anggota Komisi III DPR, Akbar Faisal (Hanura) dan Ahmad Yani
(PPP).
Perdebatan semalam sungguh luar biasa
ngawurnya. Etika berpendapat di depan umum dan kesantunan sama sekali
tak diindahkan. Pertengkaran “musuh bebuyutan” Ruhut vs Hotman Paris
dipertontonkan pada khalayak, meski kemudian Karni Ilyas meminta
keduanya bersalaman. Tapi olok-olok dan saling memaki bersahutan sudah
sempat didengar jutaan pemirsa.
Begitupun para politisi Demokrat dalam
menjawab pernyataan-pernyataan dari kubu pengacara Nazar. Kesannya adu
ngotot dan saling bersilat lidah semata. Tak kurang memuakkannya Soetan
Bathoegana, ketika Karni Ilyas yang mengingatkan kebohongan Soetan soal
pernyataannya bahwa berat badan Nazar turun 18 kg. Kita tentu belum lupa
bagaimana bersemangatnya Bathoegana menyampaikan jumpa pers bohong itu.
Memang, semalam Bung Karni salah ucap, dia
mengatakan “turun 12 kg”. Soetan marah dan menuduh Karni “Apakah anda
koruptor?!” Berulang kali diucapkannya tanya itu. Hanya soal keliru 18
kg jadi 12 kg, Soetan tak terima. Padahal esensinya bukan pada angka
sebab itu bukan sedang membicarakan jumlah uang yang ditilep atau nilai
proyek yang di mark up. Tapi substansinya adalah KEBOHONGAN PUBLIK yang dilakukan seorang Wakil Rakyat yang terhormat. Justru soal kebohongan ini Soetan menyebut “itu tidak substansial!”. Sebab katanya ia hanya mengutip ucapan Nazar ketika bertemu dengannya. Alasan yang tak masul akal! Bukankah Soetan bisa menilai sendiri tubuh Nazar yang tak berkurang banyak masa iya turun 18 kg?!
2 anggota Komisi III pun tak kurang
menyebalkannya. Akbar Faisal dan Ahmad Yani saling menguatkan soal
ke-sok tahu-an mereka mengenai perpecahan di tubuh KPK. Mereka
menafsirkan “sendiri”nya Abraham Samad saat menetapkan Angie sebagai
tersangka adalah konfirmasi dari perpecahan itu. Untunglah ada mantan
Ketua KPK periode pertama, Taufikurrahman Ruki, yang mencoba meluruskan
penafsiran yang cenderung mencoba menggiring opini publik untuk
menciptakan kesan negatif pada KPK. Pak Ruki menjelaskan perihal
prosedur penetapan tersangka oleh penyidik dan komisioner KPK, serta
bagaimana tatacara mengumumkannya. Setidaknya, publik yang rasional
tidak menelan mentah-mentah penggiringan opini oleh Akbar Faisal.
Ternyata, Komisi III DPR tak pernah lelah berupaya melemahkan KPK yang
para komisionernya mereka pilih sendiri.
Ketika acara makin memanas, saya tinggalkan
TV dan keluar hotel, cari angin segar sekaligus membeli cemilan. Sejam
kemudian saya balik ke hotel, acara ILC masih berlanjut. Saya lihat Bung
Fadjrul Rachman sedang bicara. Lagi-lagi Soetan Bathoegana tak
sependapat dan mendebat Fadjrul. Tetap dengan gaya khasnya yang seolah
paling pintar.
Dalam perdebatannya dengan pembicara
terdahulu, Soetan terkadang menyitir ayat-ayat Allah yang seolah-olah
tepat untuk membenarkan pendapatnya. Inilah yang mengundang kritik Bung
Fadjrul, “jangan bawa-bawa nama Tuhan” kata Fadjrul. Tentu semua paham
maksud Fadjrul, janganlah sekali-kali mengutip ayat Allah yang suci demi
membenarkan perilaku para politisi yang pada prakteknya kotor. Tapi
Soetan menyerang Fadjrul dan menggiring opini seolah Fadjrul melarang
orang membawa nama Tuhannya, hendak memisahkan insan dari Penciptanya.
Ketika giliran budayawan Sujiwo Tejo bicara, Soetan
Bathoegana pun saling bersitegang dengan Sujiwo Tejo. Saling tuding dan
saling melotot, persis anak kecil berantem.
Tapi
yang paling menggelitik saya, adalah ketika pakar hukum dan akademisi
senior Profesor J.E. Sahetapy menyampaikan kritiknya terhadap perilaku
para politikus. Krtikan Prof. Sahetapy memang tajam, tapi berdasar dan
tidak asbun. Tentu saja, kapasitas intelektual dan kebijaksanaan Prof.
Sahetapy pantas membuatnya jadi orang yang paling santun dan beretika
dalam berpendapat di acara ILC.
Sayangnya, lagi-lagi Soetan Bathoegana menyela dan
membantah kritik Pak Sahetapy. Kali ini Soetan menyerang Prof. Sahetapy
ikut punya andil, sebab para politikus yang dikritik ini sebagian juga
“murid-murid” beliau. Mungkin maksudnya para alumnus fakultas hukum yang
menjadi politikus Senayan. Menurut Soetan, Prof. Sahetapy tak bisa
lepas tangan, sebab beliaulah yang mengajarkan demikian.
Kontan saja Prof. Sahetapy tak terima. “Saya
mengajarkan yang baik-baik. Perkara mereka kemudian setelah jadi
politikus kelakuannya seperti itu, bukan saya yang mengajarkan!” sergah
Prof. Sahetapy. Benar, siapapun tahu bahwa ketika seseorang sudah dewasa
dan bisa mengerti mana hal yang baik dan buruk, bisa membedakan hal
yang sebaiknya dilakukan dan apa yang harus dihindari, paham resiko
perbuatannya, tentu setiap perbuatannya adalah tanggung jawab
pribadinya. Orang tua dan guru tak bisa lagi disalahkan. Sebab guru
tentunya mengajarkan hal-hal yang baik.
Jika ada seorang alumni kedokteran spesialisasi
kandungan kemudian memilih jalan menjadi dokter yang khusus menangani
aborsi illegal, tentu para guru besar di fakultas kedokteran tempatnya
belajar tak bisa disalahkan. Seorang lulusan jurusan farmasi bisa saja
memilih menekuni penelitian untuk menghasilkan obat-obatan yang
bermanfaat bagi penyakit-penyakit tertentu, atau justru memilih untuk
meracik narkotika dan zat adiktif. Seorang pakar fisika dan elektronika
bisa memilih merancang alat-alat yang berguna bagi kemajuan peradaban,
tapi bisa juga menekuni ilmu untuk membuat bom dan senjata pemusnah
missal. Apakah kemudian guru yang mengajarkan ilmu padanya dianggap
salah?Bahkan seorang ustadz/ ulama yang mengajarkan ilmu agama pun tak
bisa disalahkan jika “santri”nya tiba-tiba jadi koruptor berwajah santun
dan suka menjual ayat Allah.
Mungkin Soetan perlu menengok perilaku para
politisi Jepang. Jangankan ditetapkan jadi tersangka kasus korupsi, baru
diissukan terlibat kasus penyelewengan saja, mereka sudah malu dan
sebagai bentuk tanggung jawab moralnya mereka menyatakan mundur tanpa
diminta. Bandingkan dengan di Indonesia, sudad didesak sampai di demo
pun tetap pede tak mau mundur.
Bagi politisi Jepang, kehormatan, harga diri dan
martabatnya jauh lebih berharga. Ketimbang dicela, dicerca,
didemo,fotonya dibakar dan diinjak-injak, dijadikan bahan pergunjingan
media massa, maka lebih baik mundur dan segera berkonsentrasi menjalani
proses hukum. Semua itu sudah menjadi budaya dan tradisi para politisi
Jepang. Mereka memegang teguh ajaran budi pekerti dan etika yang
diajarkan sejak kanak-kanak, sejak tingkat pendidikan dasar, sehingga
karakter yang terbentuk pun adalah karakter yang baik dan kuat.
Di Indonesia, yang terjadi justru sebaliknya.
Setelah berkecimpung di dunia politik, umumnya orang yang tadinya baik
pun jadi terpengaruh dan ikut-ikutan lebur dalam perilaku politikus yang
negative. Nah, dimana letak kesalahan para pendidik dan akademisi?
Di sisi lain, sembari menyalahkan Prof. Sahetapy,
Soetan Bathoegana juga mengklaim bahwa para politikus sejatinya adalah
“korban”. “Kami-kami ini sebenarnya korban. Korban dari high cost politics”
kata Soetan. Nah, bukankah dengan kalimat itu Soetan seolah minta
permakluman : berhubung biaya menjadi politikus di parlemen itu sangat
mahal, maka mereka yang berhasil duduk di kursi parlemen kemudian
terdorong untuk mencari cara untuk “mengembalikan modal” yang telah
dikeluarkan. Berpolitik kemudian seolah menjadi investasi yang pasti
diharapkan akan menuai untung.
Kira-kira, adakah akademisi yang mengajarkan logika
berpolitik macam ini pada Soetan Bathoegana? Saya yakin tak ada. Jadi,
pemikiran sesat itu semata memang muncul dari benak Bathoegana. Tapi
melempar kesalahan kepada para “guru” yang telah mendidik dan
mengajarkan ilmu. Saya berharap, semalam tak ada mantan guru Soetan
Bathoegana yang nonton acara ILC, supaya mereka tak sakit hati. Murid
durhaka benar si Bathoegana ini!
catatan ira oemar freedom writers kompasianer