“Antara keledai dan kedelai itu beda,nak…” kata seorang bapak yang berkali-kali mencoba membetulkan kalimat yang keluar dari mulut anaknya yang berumur 5 tahun….Anaknya terus saja menyebut “keledai” setiap kali mengucapkan kedelai yang habis di rumahnya,sehingga bapaknya tidak lagi bisa membuat tempe untuk dijual ke pedagang tempe di pasar. Harga keledai ..eh,kedelai terus saja membumbung tinggi,akibatnya pengrajin tempe merasa tidak mampu lagi cukup modal untuk membuat tempe atau tahu.
Si Bapak dengan sabar kemudian menjelaskan,bahwa kedelainya diurus oleh keledai,sehingga harganya terus membumbung tinggi,coba kalau diurus oleh manusia yang pintar pasti harganya tidak akan membumbung walau harga dunia katanya sedang tinggi karena masalah cuaca yang menggagalkan panen kedelai tahun ini. Jadi tidak ada keledai pintar,yang ada ya keledai bodoh seperti yang selalu diceritakan dalam buku cerita anak-anak.
Nah,masalahnya sekarang siapa yang mau dibilang keledai? Apakah Menteri Pertanian Republik Indonesia bisa menerima dikatakan “keledai” ? Kan Mentan RI ini juga lulusan Universitas ternama dan mempunyai jam terbang tinggi dalam urusan pertanian koq dibilang “keledai”…? Ataukah pejabat-2 lain yang bertanggung jawab terhadap komoditas kedelai ini juga mau dikatakan “keledai”…? Jelas pasti mereka juga akan marah,apalagi mereka rata-2 juga orang yang berpendidikan tinggi. Tetapi koq urusan kedelai saja sampai tidak bisa mengantisipasi? Sudah tahu rakyat Indonesia suka sekali makan tempe dan tahu koq kedelai saja bisa “lenyap” atau jadi barang langka dan mahal…? Memangnya pejabat kita jauh lebih bodoh dari keledai?
Kalau keledai saja bodoh,kira-2 apa yang lebih bodoh dari hewan tersebut? Menurut cerita anak-anak yang turun temurun,hewan terbodoh memang keledai,tapi ternyata ada cerita hewan yang dibodohi oleh hewan pintar si Kancil,hewan yang dibodohi itu adalah buaya. Nah,cerita itu sepertinya cocok bila disandingkan dengan urusan kedelai. Pejabat kita itu seperti cerita “buaya & kancil” …..Kelihatannya saja si buaya itu mukanya garang,siap mencaplok mangsa,rakus,namun dalam kesehariannya hanya diam terpekur tetapi kalau ada mangsa & sedang lapar baru mulai membuka matanya serta memakan mangsanya.
Istilahnya kerja bila memang sedang lapar. Sedang kancil itu sangat pintar memanfaatkan sang buaya untuk menyeberangi sungai. Nah,cerita siapa kancil & siapa buayanya jelas dalam urusan kedelai di Indonesia adalah cukong yang mengendalikan harga kedelai dan si pejabat yang berwenang mengurusi kedelai tetapi diam saja karena “diakali” oleh si cukong.
Jadi,kalau ada buaya-2 yang rakus dan hanya diam saja ….terus siapa keledai bodohnya? Nah,si keledai ini identik dengan pejabat yang hanya bicara bila ada yang menyuruh bicara,siapakah dia…? Jawabannya bisa ditebak bila dibaca lagi dari atas.
Si Bapak pengrajin tempe itu tidak salah,saking kesalnya terhadap “keledai” yang bikin harga kedelai jadi membumbung tinggi,maka si Bapak bisa sabar membetulkan kesalahan ucap anaknya….”kedelai,nak…bukan keledai..! Keledai tempatnya tidak di rumah sini,tetapi di sana…dekat Istana.
Catatan Mania Telo Freedom Writers Kompasianer