Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Iwan Piliang: Jebakan Ceruk Abu-Abu

11 Juli 2012 | 11.7.12 WIB Last Updated 2012-07-10T17:28:44Z


Minggu, 14 September 2008  TELUK Betung, Lampung. Waktu pukul 19 lewat sedikit. Di penghujung Agustus 2008, deretan warung seafood masih macam di tahun-tahun lalu. Mereka memajang di kotak kaca berbagai sayur hijau, segar. Di samping kotak, ada meja memuat pendingin berisi beragam jenis ikan; kerapu, baronang, bawal, kuweh, tenggiri, kembung.
Kepiting dengan kaki diikat digelar di meja satunya, laksana melihat adegan film
mafioso, sosok lawan yang hendak dibunuh diikat, ditanyai. Saya tak paham
perasaan apa yang ada di benak sepasukan kepiting itu, terikat, sekaligus
dicuekkan. Di sampingnya api panas kompor pompa minyak tanah, terus menderus.

Suasana mirip restoran di kawasan Pecenongan, Jakarta Pusat. Hussen Gani, kolega
saya, mencari-cari restoran yang menurut pemahamannya halal. Saya menunjuk
warung yang paling ramai. Lampu penerang di bagian sayur, mengundang selera
melaparkan mata.


Hussen spontan bertanya kepada penjual dengan satu kata, “Halal?” Wajahnya
serius. Tatapan matanya tajam.

Sosok yang ditanya, pria keturunan, paruh baya, lalu menjawab, “Tidak halal.”
Spontan.
Memperhatikan penjual menjawab, entah karena tak pernah ada customer yang
bertanya demikian, atau memang dia pedagang yang jujur? Yang pasti, itulah
pengalaman menarik sekaligus langka bagi saya. Ada pedagang menjawab sebagaimana
adanya kepada calon pelanggan. Kendati di benak saya masih timbul pertanyaan,
bagian mana tak halal, di ranah sea food itu?


Singkat kata di malam itu, atas ajakan Hussen, kami memilih warung yang lebih
redup. Pilihan ikan pun tidak banyak. Dari penampilan warung yang remang,
dibandingkan warung-warung menyebelah meriah, membuat hanya kami bertiga tamu
yang makan di situ.

Kolega saya satunya, Abdul Majid, berbisik di saat Hussen berdiri. “Saya banyak
kawan yang taat shalat, kuat ibadah, tapi memperhatikan makanan hingga serinci
ini, baru kali ini ketemu?”


Tak terbantahkan bila makanan yang kita makan berkorelasi dengan kesehatan yang
ada di badan. Namun, kepercayaan tertentu, terutama umat Muslim, memang
mengharamkan babi, di antaranya. Dugaan sementara kami malam itu, penjual ikan
bakar yang kami tanya, mencampur sedikit minyak babi ke masakannya. Sehingga
ketika ada calon pelanggan berwajah Arab – - kendati Hussen berdarah India – -
pedagang enggan ambil perkara.


Bagi seseorang yang terasah lidah, ia dapat mencicipi aroma minyak tertentu ke
dalam bumbu masakan. Kiranya logika inilah yang ada di benak penjual seafood
yang merangkap koki itu. Kami sepakat menghargai kejujurannya, dan satu hal yang
sangat disyukuri Hussen, makan malam kami hari itu terhindar dari jebakan ceruk
abu-abu, bahasa agama, agaknya, halalan taiyiban.

PADA Rabu, 10 September 2008, siang, azan bergumandang di masjid Salman ITB,
Bandung. Bersama Hussen Gani, kami berusaha mengikuti shalat zuhur berjamaah.
Bagi saya, inilah kesempatan kedua dalam tiga bulan terakhir saya shalat lagi di
masjid itu. Di luar dugaan jamaah melimpah. Entah karena Ramadan atau memang
selalu begitu.


Suasana ramai macam Jumatan. Di pintu masuk, deretan sandal dan berjibun sepatu
berbaris rapi, rapat, satu-satu, disafkan berlapis-lapis.

Saya kagum akan kerapian jamaah yang umumnya mahasiswa itu menata alas kaki.
Membelok ke kiri, di tempat berwudu, mulai ada yang menganggu. Tetesan air di
keran kecil. Mungkin saking banyaknya keran bersamaan dibuka, air tidak mampu
mengalir deras.


Masuk ke bagian dalam, barisan shalat sudah penuh. Agak ke belakang deretan
makmum perempuan sudah memutih berjilbab berdiri-diri. Muazin khamad. Seluruh
jemaah bergerak tegak. Alangkah terperanjatnya saya, ketika semua sudah
mengambil langkah berdiri, dereten ransel-ransel memanjang di depan
masing-masing jamaah.


Rupanya para mahasiswa membawa masuk ranselnya. Ransel itu diletakkan di bagian
depan, sehingga ketika sujud terlindungi badan dan muka tetap bisa menyentuh
lantai. Bagi saya, ini pengalaman pertama melihatnya.

Salah satu anak muda di kiri saya, ranselnya tampak menggembung, agak besar dari
yang lain. Keadaan itu membuat ibadah saya tidak khusuk, terganggu memikirkan
ketidaknyamanan sosok mahasiswa itu shalat. Namun saya perhatikan sang empunya
ransel tidak peduli dia terganggu. Ia tetap mengikuti ibadah dengan takzim.

Ketergangguan saya rupanya kian bertambah, entah karena ransel yang di kiri atau
yang di kanan, depan atau berlakang, bau apek ransel yang lembab mengalir ke
moncong hidung. Makin tidak khusuklah ibadah kala itu. Begitu imam mengucapkan
salam di akhir ibadah itu, saya memanjatkan doa, Alhamdulillah, dan lebih dulu
meninggalkan tempat.


Bagi saya yang terlanjur menilai banyak sekali kegiatan keagamaan di Salman yang
hebat, hanya karena hal kecil itu, namun begitu berart, menjadi diskusi kecil
saya dengan Hussen.

Bisa dipahami bahwa ransel memang berisi macam-macam keperluan kuliah, mulai
diktat hingga pekerjaan rumah yang harus diserahkan ke dosen pembimbing. Namun
bila keadaan mengahadap sang khalik, para pemilik ransel menjadi takut hilang,
agak aneh bin ajaib jadinya.


Bukankah kalangan kampus, terlebih masjid, dapat berusaha menyediakan tempat
penitipan di bagian depan. Masih ada ruang untuk menggelar rak kayu bekas peti
misalnya, di mana ransel-ransel dapat dibariskan macam sepatu dan sandal yang
sudah rapi. Bila pun takut hilang, mahasiswa bisa saling berganti menjaganya.

Sempat juga terpikirkan di benak saya – - mungkin karena terlalu liar pikiran -- bila salah satu ransel yang ditidurkan itu adalah berisi bom, macam bawaan
gank-nya Imam Samudera itu, siapa yang dapat melacaknya, karena tak ada detektor
di pintu masuk masjid. Kongklusi saya, sudah sepantasnya, para ransel itu
dibariskan laksana sepatu, sehingga tidak mengganggu.


Lebih jauh, dengan tidak berbaurnya barang bersih dan kotor ke dalam masjid,
membuat suasana keruh tidak terjadi. Dengan bersih dan tanpa gangguan saja,
belum tentu pula ibadah khusuk dan lancar, apalagi bersih kotor bercampur baur.

Suasana yang sama dalam konteks berbeda, sebetulnya juga terjadi di Masjid
Istiqlal, Jakarta. Kendati ada tempat penitipan sandal di bagian bawah, banyak
sekali jamaah yang kemudian membeli tas kresek hitam sebelum masuk ke masjid. Ke
dalam tas kresek itulah dimasukkan sandal atau sepatu.


Setelah mengambil wudhu, maka kantungan plastik itu, dibawa ke dalam masjid,
bahkan ada yang meletakkan di bagian depan tempatnya sujud. Menghadapi situasi
demikian, yang terbayang oleh saya, bagaimana bila sandal atau sepatu itu pernah
atau habis menginjak, maaf, tai anjing?

Bandingkan kementerengan fisik bangunan Istiqlal, dengan laku membawa alas kaki
hingga ke tempat sujud itu?


Saya menyebut laku demikian, sesuai dengan judul tulisan ini, sebagai: jebakan
ceruk abu-abu melulu. Bagaimana tidak keruh, niat beribadah menghadap sang
khalik, tetapi masih takut kehilangan sandal. Tempat sujud yang harus bersih
dari berbagai kotoran dan najis, sebaliknya kita bawa-bawa ikut bersembahyang.

Begitulah! Bila Anda pembaca belum sempat melihatnya, sekali-kali ke Jakarta,
perhatikanlah. Bila keadaan “darurat” di shalat Idulfitri, bisa jadi laku
demikian masih bisa dimaafkan, Namun di ibadah Jumat menjadi sama, jadi tanda
tanya namanya.


BERSIH, konon bagian dari iman. Bersih badan, bersih pakaian. Baru kemudian
membersihkan hati. Kendati sudah jarang melihat penampilan AA Gym di televisi,
senandung lagunya, “Jagalah hati, jangan kau nodai … jagalah hati lentera hidup
ini.” Menurut saya menjadi kunci memang jika hendak keluar dari kekotoran
beragam hal. Kebersihan hati menghindari laku terjebak ke ceruk abu-abu melulu.

Dengan hati yang bersih, sebetulnya, dapat membedakan, rezeki mana yang dapat
digunakan untuk membeli makanan untuk anak dan isteri. Karena di balik makanan
secara fisik, ada pula makanan yang membawa kebersihan hati, juga sebaliknya.

Atas dasar itulah, seorang kenalan saya warga Malaysia, yang orang tuanya
kebetulan mantan perwira tinggi di sana, mengatakan pemerintah Malaysia
memusatkan perjudian di Genting, Malaysia.


Pendapatan Malaysia dari Genting, dari pajak judi besar. Income pajak yang
tinggi, dipakai untuk membangun taman-taman kota, fasilitas fisik dan
infrastruktur baru. Ketika saya ke Malaysia, kawan itu memperlihatkan bagaimana
bandar baru (kota baru) di Petaling Jaya, bisa dibangun cepat, konon sebagian
dana dari pajak judi, tidak dibelikan kepada kebutuhan pangan rakyat.

Dalam konteks itulah, saya lihat hampir semua kepercayaan memang meminta umatnya
menjaga kebersihan hidup, karena bermuara ke kebersihan hati nurani.

Sayangnya dari kenyataan yang kita alami sehari-hari, jebakan ceruk membuat kita
selalu masuk terpuruk ke dalam ranah abu-abu melulu. Kita enggan menjadi putih,
karena dianggap nanti tak populer. Kita enggan menjadi putih, karena lalu tidak
bisa membeli mobil untuk berlebaran, misalnya.


Pokoknya perangkap ranah abu-abu itu, menggila-gila jadinya. Apalagi bila
pilihan, berjamaah bersama seakan tak apa-apa menjadi abu-abu; maka kita
simaklah semua anggota eks komisi IX DPR menerima uang aliran dana BI, kata
Hamka Yandhu, yang kini tersangka itu. Lebih jauh lagi kini mengemuka; 400 cek
dari Miranda Goeltom, mengalir ke anggota komisi IX DPR. Bila jabatan dibeli
dengan fulus, bagaimana hati pejabat setelah menjabat terhindar dari laku bulus?

Toh semuanya sudah kadung abu-abu.

Makanya saya sepakat, untuk mengubah keadaan tiada lain mulai dari sendiri.
Merevolusi diri sendiri, menghindar dari ke-bu-abu-an hingga dapat memilah putih
dan hitam. Sekaligus bersikap, putih ya putih, hitam ya hitam. Tidak mebaurkannya sama sekali.

Dan saya takjub dengan rekan Hussen, yang untuk makan saja, sehingga perlu
bertanya, “Halal tidak?”. Dan makan malam kami malam itu ia bayar dengan uangnya
yang saya yakin halal, bukan dari angpao karena jabatan atau sesuatu sogokan.
Puji Tuhan. ***


catatan iwan piliang the indonesian freedom writers
×
Berita Terbaru Update