Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Dahulu Musuh Kita Penjajah Belanda, Sekarang Lebih Dahsyat Lagi

15 Juli 2012 | 15.7.12 WIB Last Updated 2012-07-15T03:14:31Z

Dahulu, di awal zaman revolusi, seluruh rakyat tahu dan sadar siapa musuh bangsa ini. Musuh bangsa pada waktu itu adalah Belanda yang ingin kembali bercokol sebagai penjajah. Semua yakin bahwa itulah musuh bangsa. Karena itu semuanya merasa terpanggil untuk menghalau Belanda sang penjajah dari Indonesia. Dengan segala yang ada pada dirinya. Dengan harta, senjata dan nyawa. Semuanya rela berkorban demi kemerdekaan Indonesia. Demi untuk bisa tampil sebagai bangsa yang merdeka ditengah-tengah bangsa-bangsa lain yang sama-sama merdeka, berdaulat dan bermartabat. 

Kesadaran akan musuh bersama membuat mereka bersatu dalam suatu kesatuan yang bermuara pada kemerdekaan Indonesia, kemerdekaan bangsa, dan martabat bangsa yang merdeka ditengah-tengah bangsa-bangsa lain yang sama-sama merdeka. Demi untuk merdeka mereka rela berkorban. Rumah dan harta mereka tinggalkan begitu saja. Kemudian rumah dan bahkan kota yang ditinggalkan mereka bumi-hanguskan. Begitu saja. Mereka sungguh rela. Bahkan nyawa pun tak apa melayang, asal penjajah enyah dari bumi Indonesia. 

Mereka mengungsi. Bersempit-sempit berbagi ruangan sesak. Tak ada yang menggerutu. Tak ada yang mengumpat. Apalagi menuntut ganti rugi. Tak ada yang demonstrasi. Semua rela. Semua ikhlas. Mereka menyatu dalam niat dan perbuatan. Perjuangan mereka berhasil. Rakyat Indonesia bolehlah berbangga diri karena sudah merdeka. Berkat pengorbanan luar biasa seluruh rakyat yang menyatu dalam niat dan perbuatan : aku ingin merdeka. Darah dan air mata membasahi Pertiiwi. Tapi hasilnya sangatlah mengangumkan : Indonesia akhirnya merdeka !

Itu sudah lewat. Sudah lama silam. Sekarang, lebih dari 62 tahun sesudah itu, musuh lain datang merusak pagar ketahanan nasional kita. Musuh lain yang tak kurang kejam dari musuh yang dahulu sempat kita halau. Musuh itu adalah kebodohan dan kemiskinan, yang menyeret bangsa ini ke keterpurukan. Dahulu kita menyatu dalam niat dan perbuatan. Sekarang kita berpencar mencari aman sendiri-sendiri. Dahulu kita rela berkorban. Hatta nyawa melayang pun tak jadi soal. Sekarang orang ramai-ramai demonstrasi menuntut ganti rugi. 

Dahulu orang bersatu dan mewujudkan kesatuan. Sekarang orang lebih senang hidup dalam kotaknya masing-masing. Kalau perlu tinggalkan saja negeri ini. Begitu ujar sebahagian mereka. Bukankah bumi Tuhan masih luas untuk mencari rezeki ? Rezeki. Uang. Dana. Kekayaan. Kesenangan. Itulah cuma yang ada dalam benak anak bangsa sekarang ini. Tak lebih dari itu. Yang miskin galau pikirannya bagaimana mencari sesuap nasi. Yang kaya galau pikirannya bagaimana menternakkan modal menjadi modal yang lebih besar lagi, lebih dahsyat lagi, lebih, lebih, lebih…..

Kita punya pemerintah. Tapi nyaris tak punya pemimpin. Kita punya banyak sekali orang pintar. Tapi kita sungguh dungu ditengah bangsa-bangsa yang begitu cerdas. Kita senang mengendarai mobil. Tapi enggan membangun jalan. Sedemikian rupa sehingga kota pun menjadi sesak tak menentu. Tapi mobil dan motor pun terus saja bertambah memadati jalan untuk “diparkir berjamaah” menambah sesak kota yang sudah padat tak keruan. Penduduk bertambah. Mustinya pangan pun ikut bertambah. Tapi kita memilih meninggalkan desa dan sawah ladang untuk berkubang di kota menjadi paria dan beban orang lain.

catatan arifin abu bakar the indonesian freedom writers
×
Berita Terbaru Update