Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

ANAK MANJA SEMAU GUE KETIKA DEWASA Bentuk Kasih Sayang Orang Tua yang Keliru

3 Juli 2012 | 3.7.12 WIB Last Updated 2012-07-03T02:11:28Z
13336202071126457867
(www.rumahbunda.com)

Kemarin kantor saya kedatangan tamu tak diundang. Jarum jam dinding masih di kisaran angka 10, ketika seorang pemuda tanggung tiba-tiba berdiri di anak tangga ke-4 dari atas dan menyapa Pak Henry, Manajer Keuangan perusahaan kami. Ruang kerja saya memang di lantai 2, anehnya, tamu itu tak naik sampai ke lantai 2. Ia menghentikan langkahnya saat masih kurang 3 anak tangga lagi untuk sampai di ruangan kami. Kontan semua mata berpaling ke arah si tamu.

Semula ia menanyakan Pak Zainal – sebut saja begitu – Manajer Komersiil perusahaan kami. Karena Pak Zainal sedang tidak di tempat, kami menjawab “tidak ada”. Pak Henry sepertinya kurang berkenan dengan sikap pemuda itu, jadi ia cuma menjawab sepatah kata saja dan tak melanjutkan. Akhirnya saya berinisiatif menanyakan apa keperluannya agar bisa saya sampaikan saat Pak Zainal kembali nanti. Pemuda itu menjawab “mau menanyakan lamaran kerja”. Aneh juga, biasanya tamu yang mencari Pak Zainal pasti utusan dari customer.

 Spontan rekan saya yang tadi disapa pertama kali, langsung menunjuk saya sambil menegaskan “Kalo soal lamaran kerja ya tanyakan ke Ibu ini”.
Pemuda itu masih tetap berdiri kaku di anak tangga, akhirnya saya menyuruhnya masuk ke ruangan agar kami bisa berbicara dengan nyaman. Dia hanya naik sampai ujung tangga, tapi tetap berbicara dari ujung ruangan itu. Saya sampai setengah memaksanya untuk masuk dan duduk di kursi di depan saya. Saya taksir usianya sudah di atas 25 tahun, mungkin 27 tahunan-lah. Tampangnya kaku dan tampak rikuh. Dia mengaku sudah memasukkan lamaran kerja melalui Pak Zainal tapi kok belum ada keputusan. Saya tanyakan siapa namanya, Satyo jawabnya (bukan nama sebenarnya). Saya coba buka tumpukan berkas dan amplop lamaran yang masuk dalam 3 bulan terakhir, tak satu pun atas nama Satyo.

13336203101332832389
(segalainfoku.blogspot.com)

Lalu saya tanyakan kapan dia ketemu Pak Zainal. Katanya sekitar bulan Maret. Wah, mestinya lamarannya masih “gres” tapi kok tak ada dalam arsip saya? Saya tanyakan apa pendidikannya, dia jawab pernah kuliah tapi ijazahnya SMA. Ooh.., mulailah saya paham sebab ingat curhat Pak Zainal beberapa waktu lalu pada saya. Tapi saya pura-pura tak tahu, lalu berjanji akan menanyakan pada Pak Zainal nanti kalu beliau sudah kembali ke kantor. Tampaknya pemuda itu berusaha mendesak saya menelpon Pak Zainal. Saya sampaikan kalau Pak Zainal sedang meeting penting dengan customer dan kami tak tahu pasti jam berapa beliau kembali ke kantor, biasanya langsung ke pabrik. Dia tampak kecewa sekali.

Saya tanyakan alamat dan nomor Hpnya untuk disampaikan ke Pak Zainal. Saat dia sebut nama jalan dan komplek rumahnya, saya makin yakin dengan dugaan saya dan langsung menebak bapak dari si Satyo ini pastilah seorang “pejabat” di sebuah BUMN. Herannya, saat ditanya nomor HP Satyi tampak ragu dan sejenak kemudian mengeluarkan HP lalu mencari-cari dari phonebook barulah disebutkannya sederet nomor. Umumnya, orang hafal luar kepala nomor HP-nya sendiri. Ketika Satyo menyebut alamatnya, kembali seisi ruangan menoleh ke arahnya.

Satyo kemudian meminta saya menyampaikan pada Pak Zainal dan besok dia akan kembali datang. Khawatir Satyo akan datang lagi, saya langsung bilang : “Maaf Mas, data Mas Satyo sudah saya catat, nanti saya sampaikan ke Pak Zainal. Soal bagaimana nantinya, sebaiknya tunggu kabar saja dari Pak Zainal. Sebab saya yakin Pak Zainal mencarikan pekerjaan buat Mas Satyo bukan di sini, mungkin saja di perusahaan teman-teman atau koleganya. Saya sebagai HRD di sini, bisa jawab, saat ini perusahaan kami sedang tidak butuh karyawan untuk posisi apapun. Begitu juga di perusahaan sebelah – saya sebut nama perusahaan yang juga grup perusahaan kami – intinya 3 perusahaan yang ada di sini semuanya sedang tidak melakukan rekrutmen. Jadi percayalah, Pak Zainal sedang berupaya mencarikan pekerjaan untuk anda, tapi saya yakin bukan di grup perusahaan ini”. Satyo tampak tercengang dan sejurus kemudian dia mengangguk-angguk lalu pamit pulang.

13336203541987487734
(informasitips.com)

ANAK MANJA, SEMAU GUE SAMPAI DEWASA

Begitu Satyo menghilang dari pandangan kami, seisi ruangan langsung bertanya : “Siapa sih anak itu, Bu Ira?”. Saya bilang saya tak tahu pasti, tapi saya mengira pemuda itu pastilah yang pernah diceritakan Pak Zainal. Ceritanya Pak Zainal mendapat keluhan dari rekannya, seorang pejabat di sebuah BUMN. Dia sedang gulana, putranya yang sudah 6 tahun dibiayainya kuliah, ternyata tak kunjung selesai bahkan berhenti. Anaknya kuliah di sebuah PTN paling terkemuka di Surabaya. Katanya sejak awal si anak suka pindah jurusan dan entah kenapa akhirnya tak mau lagi melanjutkan setelah sekian lama kuliah. Saya kira bukan berhenti, bisa jadi malah di-DO.

Saat ini si bapak bingung melihat anak lelakinya sudah dewasa tapi tanpa masa depan yang jelas. Pendidikannya terhenti tanpa hasil. Satu-satunya kompetensi yang dimiliki – masih pengakuan si bapak – fasih berbahasa Inggris. Tapi kemampuan ini juga bukan hal langka di jaman sekarang. Anak lulusan SMA yang lancar cas-cis-cus ber-Inggris ria juga banyak. Bapaknya meminta Pak Zainal menerima anaknya bekerja di perusahaan kami, terserah mau diposisikan sebagai apa, nanti gajinya akan dibayar oleh bapaknya, melalui Pak Zainal, dibayarkan bersamaan saat gajian. Jadi seolah-olah dia digaji oleh perusahaan seperti karyawan lainnya.

Tentu saja secara profesional ini tak bisa dibenarkan. Perusahaan kami bukan lembaga sosial tempat penampungan anak bermasalah sosial. Dengan ijazahnya yang hanya sampai SMA, rata-rata yang melamar pada kami untuk ditempatkan di pabrik, sebagai buruh yang menangani pekerjaan non skilled dan cenderung mengandalkan kekuatan fisik semata. Upahnya pun standar UMK plus uang makan, transport, shift, lembur, dll. Lalu, apakah si bapak terima anaknya dipekerjakan seperti itu dengan bekal ijazah SMA-nya? Lalu kalau tak mau pekerjaan di pabrik, pekerjaan “kantoran” macam apa yang bisa kami berikan? Semua pekerjaan di kantor sudah dihandle dengan baik dan kami tak merasa perlu tambahan staff.

Saya mencoba menyampaikan alasan dari sisi psikologis. Pemuda itu tentunya “bermasalah”. Kalau sesuai pengakuan bapaknya sebenarnya ia tergolong pintar, aneh jika ia tak mampu menyelesaikan kuliahnya sampai 6 tahun. Setahu saya anak kuliahan sekarang 4 tahun sudah jadi sarjana. Pelamar fresh graduate rata-rata usianya 21 – 23 tahun. Nah, jika dia sendiri tak mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya sampai membengkalaikan kuliahnya, bagaimana ia akan memasuki dunia kerja yang penuh dengan kompetisi, dituntut kemandirian, kedewasaan berpikir, inisiatif dan tanggung jawab penuh?

Katakanlah karena ewuh pakewuh pada si bapak yang juga customer kami, lalu kami terima anaknya bekerja di perusahaan ini, apa yang akan dia kerjakan? Kalau akhirnya hanya menganggur sepanjang hari, apa tak makin bikin stress? Belum lagi kalau dia justru menimbulkan masalah baru dalam interaksinya dengan rekan kerja atau responnya terhadap tanggung jawab pekerjaan. Dengan pertimbangan itu, tegas saya tolak untuk menerima seseorang tanpa alasan yang dapat diterima akal secara profesional. Pak Zainal terpaksa membawa lamaran anak itu kembali dan mungkin sekarang entah ngendon dimana. Saat sore harinya saya sampaikan perihal si Satyo, Pak Zainal hanya tertawa kecil dan tak menanggapinya serius.

———————————————————————
1333620510436477903
(www.tribunnews.com)

Begitulah orang tua, seringkali lupa menyadari bahwa anak mereka sudah dewasa dan sudah saatnya diajari untuk menerima akibat dari perbuatannya dan menanggung resiko dari pilihan hidup yang dibuatnya. Seorang anak yang sudah lulus SMA tentunya sudah bisa diajak bicara baik-baik, sudah mulai mengerti kepentingan masa depannya sendiri. Jika toh dia memilih untuk selengekan dan mengacaukan pendidikannya, dia sudah tahu resikonya apa. Tak sepatutnya orang tua terus mengambil alih tanggung jawab yang harus diemban anaknya yang sudah dewasa. Bukankah tugas orang tua adalah “mengantarkan” anak-anaknya menuju pintu gerbang kedewasaan?

Orang tua tak akan selamanya bisa menemani dan mem-back up anaknya. Bukankah umur bukan di tangan kita? Sampai kapan orang tua mampu terus menerus mensupport materi bagi anaknya? Akan ada masanya si anak berumahtangga, menikah, punya istri lalu anak-anak. Akankah sampai beranak pinak tetap jadi tanggungan orang tua yang tentunya makin renta? Si bapak yang pejabat BUMN itu akan tiba masanya pensiun, masihkan ia sanggup terus menerus “menggaji” anaknya meski sebenarnya anaknya hanya jadi pengangguran terselubung?

Saya jadi ingat ibu kost saya di Surabaya dulu. Ketiga putrinya sukses jadi dokter spesialis, justru putra pertamanya yang DO kuliahnya, meski sempat mengenyam bangku kuliah di sebuah Institut Teknologi terkemuka. Sesungguhnya si anak pintar, hanya saja “nakal”. Sejak kecil, putra semata wayang yang juga anak pertama ini memang “anak mama”. Segala kebutuhannya dibantu oleh PRT sampai besar. Ketika SMA, ia suka membolos dan menghabiskan waktunya kongkow di jalanan. Kebetulan tantenya sering memergokinya bolos sekolah. Jika si tante melaporkan pada ibunya, si ibu tak terima, bahkan berbalik si tante yang dituduh ingin menjelek-jelekkan putranya. Akhirnya, ketika sudah kuliah, ancaman DO tak bisa lagi dihindari.

Celakanya, si ibu bukannya menyadari kesalahannya memanjakan anak. Putranya ini kemudian terpaksa menikahi pacarnya yang terlanjur dihamili. Selama itu pula ibunya terus menerus mem-back up dengan memberikan modal kerja, meski selalu dibohongi anaknya. Modal kerja habis, hasilnya tak tampak sama sekali, asset terjual tapi uang penjualannya tak berwujud apapun. Kejadian ini berulang berpuluh-puluh kali, sampai 3 anak dari pernikahannya mulai besar. Cucu pertama masuk kuliah pun, si nenek yang menanggung.

Lebih celaka lagi, anak laki-laki manja yang waktu itu sudah berumur pertengahan 40-an, bukannya sadar bahwa jalan hidup yang dipilihnya salah, ia malah menjalin hubungan dengan wnaita lain dan lagi-lagi harus menikahi karena menghamili. Begitulah, 2 rumah tangga dari “anak mama” ini terpaksa jadi tanggungan ibunya. Kini, si anak manja ini usianya sudah 51 tahun. 2 putranya dari istri pertama sudah sarjana bahkan yang tertua sudah menikah. Putri bungsunya dari istri pertama sudah kuliah. Sementara 2 anaknya dari istri kedua sudah SD dan SMP. Tapi perilaku tak bertanggungjawab dan menggantungkan pada orang tua tetap saja tak berubah.

Dari 2 kasus ini, ada hikmah besar yang bisa diambil para orang tua : hati-hati dalam memanjakan anak. Sebaiknya, ketika anak kita mulai menginjak remaja, tanamkan rasa tanggung jawab terhadap masa depannya sendiri. Bahwa pendidikan itu untuk kepentingannya, bukan kepentingan orang tua. Jadi yang ingin berhasil haruslah dirinya, bukan orang tuanya. Harus pula ditanamkan bahwa orang tuanya tak akan lagi membantunya secara finansial kalau ia sudah mencapai usia tertentu, katakanlah maksimal 25 tahun. Dan tentu orang tua harus “tega” mendidik anaknya mandiri, sebelum keterusan manja dan bergantung pada orang tua sampai tua. Sebab, jika terlanjur salah, ternyata makin tua usia anak, makin sulit memperbaikinya dan sudah melekat jadi karakter si anak. Semoga bermanfaat.

catatan ira oemar freedom writers kompasianer
×
Berita Terbaru Update