Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Saya Bersalah, tapi Orang Lain Lebih Banyak Salahnya (Refleksi Badai di Tubuh Partai Demokrat)

29 Juni 2012 | 29.6.12 WIB Last Updated 2012-06-29T12:01:04Z

Ketika menjabat khalifah, Umar bin Khattab suatu kali berjalan-jalan menyusuri Madinah. Begitu sampai di salah satu sudut kota, Khalifah Umar mendapati sebuah rumah yang beliau curigai sedang dipakai untuk bermaksiat. Sang Khalifah ingin memastikannya, tapi rumah itu tertutup rapat. Beliau pun memaksa masuk melalui atap. Dan benar saja, tuan rumah sedang asyik bermaksiat di rumahnya. Langsung saja Khalifah Umar menghentikannya dan hendak menangkapnya. Anehnya, pemilik rumah justru tidak terima. Ia mengaku memang telah berbuat dosa. Tapi, menurut dia, dosanya cuma satu. Sedangkan perbuatan Umar yang masuk rumahnya lewat atap justru melanggar tiga perintah Allah sekaligus. Pertama, mematai-matai (tajassus), yang jelas dilarang dalam Al-Quran (QS 49 : 12); masuk rumah orang lain tidak melalui pintu seperti yang diserukan Al Qur’an (QS 2 : 189); dan tanpa mengucapkan salam, padahal Allah memerintahkannya (QS 24 : 27). Menyadari kesalahan tindakannya, Khalifah Umar akhirnya melepaskan orang tersebut dan hanya menyuruhnya bertobat.
—————————————————————-
SBY saat berpidato pada acara Forum Pendiri dan Deklarator Partai Demokrat (sumber : www.komhukum.com)
Kisah itu saya copas dari status FB teman saya. Saya tak hendak membahas benar atau salahnya tindakan Khalifah Umar dari sudut pandang kita di jaman sekarang, sebab setiap keputusan dan tindakan pastilah bergantung pada situasi dan kondisi yang melatarbelakangi serta karakter masyarakat saat itu. Saya hanya ingin mengambil hikmah / pesan moral dari cerita ini : bahwa sejak dulu orang yang ketahuan bersalah cenderung mencoba membela dirinya dengan mencari kesalahan orang lain, lebih banyak dan lebih berat dari pada kesalahan yang dituduhkan padanya. Ternyata ini sudah jadi sifat manusia yang latent. Belasan abad peradaban berkembang, tapi kebiasaan berkelit seperti itu tetap jadi modus.
Fenomena ini terjadi ketika Presiden SBY membacakan pidatonya dalam acara forum silaturahmi Pendiri dan Deklarator Partai Demokrat di Hotel Sahid, pada Rabu 13 Junii 2012 lalu. SBY dengan fasih menyebut deretan angka-angka tingkat korupsi dari 4 parpol lain yang prosentasenya di atas Partai Demokrat. Menurut SBY, tingkat korupsi kader Demokrat di DPR RI HANYA 3,4% sedangkan parpol lain – tanpa menyebut nama – jauh di atas PD, sampai 34% dan 24%. Begitu pun di level eksekutif, kader Demokrat yang menjadi Menteri dan pejabat daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) yang terbukti melakukan korupsi, prosentasenya masih lebih kecil dari parpol lain. Pun juga kader PD di DPRD yang korup lebih sedikit ketimbang parpol lain.
Dengan menggunakan data pembanding itu, SBY mengeluhkan kenapa hanya Partai Demokrat saja yang di-“obok-obok” media massa dalam pemberitaan kasus korupsi. “Pantaskah jika kemudian Partai Demokrat dianggap korup sedangkan partai lain dianggap bersih?” demikian tanya SBY, seolah menggungat ketidakadilan trial by the press yang menimpa partainya.
Ibarat anak sekolah yang kedapatan membolos atau mencoba mangkir saat jam pelajaran masih berlangsung, lalu ketahuan guru BP dan satu-satunya cara membela diri hanyalah menyebutkan bahwa dirinya baru sekali itu membolos/mangkir, sedang teman-temannya yang lain sudah berkali-kali bolos. Begitupun SBY dalam menyikapi sorotan terhadap partainya, alih-alih secara tegas melakukan langkah-langkah pembersihan, SBY justru menggugat kenapa pers begini dan begitu. Padahal, sebagai partai berkuasa yang mengusung tagline “Katakan Tidak Pada Korupsi” saat kampanye lalu, sebenarnya masih tergolong wajar apa yang dilakukan media massa.
Sebagai Capres yang sekaligus Ketua Dewan Pembina PD, pada momen kampanye Pilpres 2009, SBY berjanji akan berdiri di garda terdepan dalam memberantas korupsi, sambil menghunus pedang anti korupsi. Faktanya, sudah setahun berlalu sejak awal mula badai issu korupsi melanda PD, SBY tetap belum menghunus pedangnya untuk mengamputasi kader-kader PD yang diduga terlibat kasus korupsi. Pidato SBY di hotel Sahid pekan lalu seolah hanya mengulang pidatonya pada Juli 2011, sekedar menghimbau agar kader yang merasa tidak mampu menjalankan garis kebijakan partai untuk menjalankan sikap politik yang bersih, cerdas dan santun, agar hengkang saja dari PD.
1340114716229615373
Acara besar tanpa kehadiran Ketua Umum (sumber : manadopost.co.id)
Lalu, sejak himbauan itu diucapkan setahun yang lalu, apakah sudah ada yang merasa demikian? Ternyata tidak! Artinya : semua kader PD merasa bersih dan terbebas dari issu korupsi. Lalu kenapa badai tak kunjung reda? Kenapa tingkat elektabilitas terus merosot? Kenapa banyak pengurus daerah yang bersuara sumbang terhadap kepengurusan DPP?
Ternyata, keluh kesah SBY pada tekanan pembentukan opini publik oleh media massa ini diamini oleh jajaran elit Partai Demokrat. Semua seolah sepakat menutupi bahwa ucapan SBY itu tak ditujukan pada orang tertentu. Bahkan Ketua Forum Pendiri dan Deklarator, Ventje Rumangkang pun menyatakan demikian. Lalu kalau begitu, apa gunanya SBY menghimbau jika seluruh kadernya bersih dan baik-baik saja?
Sudah bukan rahasia lagi, bahwa di Indonesia “tak ada budaya mundur” seperti pernah diucapkan almarhum Sudomo, tahun 1994 lalu saat kasus Bapindo – Eddy Tansil menyeruak. Berbeda dengan di Jepang atau beberapa negara Barat, ketika seorang tokoh politik atau pejabat publik terkena issu suap/korupsi, maka tanpa diminta mereka akan menyampaikan pidato pengunduran dirinya untuk fokus menjalani proses pemeriksaan sampai dinyatakan bersih. Di Indonesia, selama yang lebih berkuasa tak tegas mengambil tindakan, maka “anak buah” akan merasa aman-aman saja untuk terus melenggang.
Pagi tadi, 2 stasiun TV berita : Metro TV dan TV One mengangkat topik yang sama dalam dialog pagi. Soetan Batoeghana yang menjadi nara sumber di Metro TV bahkan dengan “kepedean” menyangkal semua pemberitaan soal merosotnya elektabilitas PD. Dia mengklaim dalam setiap kunjungannya ke berbagai daerah, terutama daerahnya, para kader tetap solid menyambut. Malang bagi Batoeghana, arogansinya langsung dibantah oleh seorang penelepon dari Pacitan – yang kita tahu sebagai basis dukungan SBY dan Demokrat di Jatim – yang memberikan kesaksian bahwa sebagai kader setia, dirinya kini merasa malu dengan kondisi PD serta merasa kesulitan mengkonsolidasikan dukungan di tingkat grassroot.
Tjipta Lesmana, pengamat yang disandingkan bersama Batoeghana memberikan pendapat berbeda. Dari bocoran yang didapatnya, Forum Pendiri dan Deklarator PD akan kembali mengadakan pertemuan yang lebih besar beberapa waktu ke depan, ditargetkan dihadiri oleh 3000-an orang dari seluruh wilayah Indonesia, untuk menguatkan tekanan agar Ketua Umum – yang dianggap bertanggungjawab atas terus merosotnya tingkat elektabilitas PD – segera mundur. Penelepon dari Pacitan itu pun membenarkan sinyalemen Tjipta Lesmana ini. Sungguh menyedihkan, SBY yang diberi kedudukan sebagai Ketua Dewan Pembina, ternyata butuh tekanan massa dari seluruh Indonesia untuk bisa menertibkan kader partainya yang bermasalah.
Lain lagi di TV One yang mengundang Ahmad Mubarok. Hasil surveyLSI (Lingkaran Survey Indonesia) yang menyatakan tingkat elektabilitas PD pada Juni 2012 hanya tinggal 11,3% (jika dikurangi dengan margin error bisa saja jatuh di bawah 10%) semua hanya akibat pemberitaan media massa saja. Padahal survey LSI tidak tunggal, ada pula survey Sugeng Sarjadi Sindicate (SSS) yang menempatkan tingkat elektabilitas PD hanya di kisaran angka 10%-an saja. Bahkan survey Indobarometer lebih parah lagi, hanya 4% saja kepercayan publik terhadap PD.
1340114789163854893
Akankah jika kelak Anas diciduk ia juga akan seperti Nazaruddin : berbalik menunjuk koleganya bahkan pimpinannya (sumber foto : teraspolitik.com)
Ketika Januari 2012 lalu tingkat elektabilitas PD masih di kisaran 13,7%, Hayono Isman sudah mengisyaratkan bahwa jika sampai hasil survey menunjukkan angka 10%, maka Anas harus mundur dari kursi Ketua Umum. Kini, ketika angka-angka survey terus menunjukkan kecenderungan merosot, kenapa justru sibuk menyalahkan media massa? Mubarok hanya mengulang-ulang pernyataan bahwa “Demokrat tak punya TV” sebagai penyebab mereka tak mampu membela diri. Bahkan menurut Mubarok, data yang diungkap SBY dalam pidatonya itu adalah benar, tapi PD belum akan mengungkapnya sekarang, juga karena mereka tak punya (stasiun) TV sendiri.
Memang benar, 2 stasiun TV berita adalah milik para politisi yang punya parpol. Tentu pemberitaannya tak steril dari kepentingan politis dan tak terbebas dari kemungkinan menjatuhkan tokoh/politisi parpol lain. Tapi apakah sebuah solusi bijak jika SBY dan elit PD hanya menyalahkan media massa? Sementara di internal tak melakukan langkah pembersihan yang nyata? Mubarok bahkan sedikit menantang dengan mengatakan PD tak akan tunduk pada pembentukan opini publik. “Lihat saja 2014 nanti!”, sesumbarnya seolah yakin bahwa PD masih akan menang pemilu.
Anas dan para die hard-nya selalu berkilah bahwa secara hukum Anas bersih. Jangankan tersangka, dipanggil sebagai saksi saja belum pernah. Memang, ini adalah fakta hukum formal. Tapi politik sesungguhnya adalah opini dan persepsi. Meski secara legal formal Anas sama sekali belum terbukti terlibat kasus apapun, tapi secara politis dia telah dipersepsikan terlibat karena ocehan Nazaruddin. Boleh jadi memang Nazar pembual dan melebih-lebihkan kesaksiannya. Apa yang dilakukan Nazar sebenarnya sama dengan apa yang dilakukan SBY : “oke saya memang korupsi, tapi Pak Anas yang terima uang lebih banyak dari saya, untuk pemenangan Kongres PD”, kurang lebih begitu logika yang dibangun Nazaruddin.
Apa yang dikatakan Nazar meski belum terbukti secara sah, setidaknya sudah menimbulkan riak-riak perpecahan di tubuh Demokrat. Satu demi satu kader dari berbagai daerah mulai mengakui menerima sejumlah uang puluhan juta dan ribuan dolar Amerika saat Kongres, demi memilih Anas. Begitupun issu soal pembagian smartphone BlackBerry. Beberapa kader mantan  peserta Kongres PD 2010 mulai menunjukkan kardus kemasan BB Gemini yang masih tertempel kertas tanda terima berlogo PD dan tim sukses pemenangan Anas. Setidaknya, untuk soal ini ucapan Nazar jadi punya alasan untuk dipercaya publik ketimbang elakan Anas yang selalu mengatakan itu hanyalah halusinasi Nazaruddin saja.
Apalagi kemudian Anas terbukti tidak taat hukum dengan mengganti plat nomor 2 buah mobilnya dengan plat nomor palsu. Dalam kasus ini Anas sepenuhnya lepas tangan dan menyatakan itu semua inisiatif pribadi sopirnya yang tak diketahuinya. Nah, salahkah jika kemudian publik mempersepsi Anas adalah typical atasan yang selalu cuci tangan saat ada masalah dan mengumpankan bawahannya? Salahkah jika opini yang terbentuk kemudian Anas bukan sosok yang bersih?
Jadi, kalau sampai saat ini SBY tak berani mendongkel Anas demi memulihkan citra partainya, apakah karena alasan SBY takut Anas akan jadi Nazaruddin babak 2? Artinya Anas – seperti juga Nazar dan SBY – justru akan tunjuk hidung siapa saja yang ikut menikmati dana-dana tak halal? Sejatinya, sifat manusia jika sudah “kepepet” ketahuan salah, maka ia akan mencoba mencari/ menunjukkan kesalahan yang lebih besar yang dilakukan oleh orang yang menyalahkannya. Prinsip “tiji tibeh” alias “mati siji mati kabeh”. Sepeti cuplikan kisah orang di jaman Khalifah Umar bin Khattab di atas.

catatan ira oemar freedom writers kompasianer
×
Berita Terbaru Update