Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

FGD Lapangan Merdeka dari zaman Belanda hingga Jepang: Si Juki mati bagantuang hingga benteng Jepang berhantu

8 Februari 2023 | 8.2.23 WIB Last Updated 2023-02-08T13:13:14Z

 

Foto: OLP

Pariaman - Lund Universty dan Wedish Institute dari Swedia memiliki perhatian terhadap Kota Pariaman, wabilkhusus mengenai pemanfaatan ruang terbuka hijau Lapangan Merdeka Pariaman yang sangat legendaris.

Dukungan dua universitas ternama itu dijembatani oleh Universitas Andalas (Unand) Padang, Universitas Sumatra Barat (Unisbar) Pariaman bersama Pemko Pariaman dengan menyelenggarakan lomba melukis bagi murid SD dan lomba opini tingkat SLTA sederajat di Lapangan Merdeka pada Januari 2023 lalu.

Tidak sampai di situ, civitas kampus Unand, Dr Ma'ruf, Dr Firman S Pribadi dari Unisbar, Kepala Bapedda Kota Pariaman, Hendri Chaniago dan Arsitek Perencana, Yofan Syarif, mengundang 15 orang stakeholder untuk bersama-sama membedah tema menjadikan Lapangan Merdeka sebagai ruang publik yang inklusif, adaptif dan berkelanjutan lewat focus group discussion (FGD) di Tong Kopi Apaktu, Lohong, Pariaman Tengah, Rabu (8/2).

Menurut praktisi media Oyong Liza Piliang, Lapangan Merdeka sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Di zaman Belanda sekitar pertengahan abad 19 hingga awal abad 20, Lapangan Merdeka dimanfaatkan untuk membariskan personil tentara dan polisi yang mendapatkan briefing dari atasan sebelum bertugas.

Di lapangan itu juga disediakan papan pengumuman penting, seperti pengumuman kunjungan petinggi Pemerintah Kolonial Belanda ke Pariaman, hingga daftar orang yang akan disidang di pengadilan.

"Contohnya saat si Juki akan dieksekusi mati dengan cara digantung, papan pengumuman hari dan tanggalnya dipajang di Lapangan Merdeka. Si Juki dihukum mati karena membunuh Siti Baheram dan ia dipenjara di Tangsi Belanda, persis di depan Lapangan Merdeka," ungkap OLP, biasa ia disapa.

Selanjutnya, sambung OLP, penjajah Jepang menjadikan area Lapangan Merdeka dan Keresidenan Belanda sebagai benteng pertahananan. Ada sekitar 20 benteng dibangun di area tersebut. Lapangan Merdeka juga jadi lokasi perekrutan pemuda pribumi yang akan dijadikan tentara cadangan.

Kemudian di masa agresi Belanda tahun1948-1949, benteng-benteng tersebut digunakan tentara Indonesia dari Angkatan Laut yang berjuang sampai darah penghabisan.

"Keberadaan benteng berangsur-angsur hilang seiring pembangunan area perkantoran Bupati Padangpariaman sejak pertengahan 1960 hingga awal 1980-an. Benteng-benteng yang banyak itu dibenamkan di lokasinya karena tidak bisa dihancurkan, meski dengan granat sekalipun," terangnya.

Oleh karena itu, OLP mengusulkan sejarah yang komperehensif mengenai Lapangan Merdeka hendaknya diketahui generasi mendatang dengan hadirnya Pojok Sejarah jika Lapangan Merdeka benar-benar dimanfaatkan sebagai ruang publik yang inklusif.

Sementara itu, Sejarawan Muda Pariaman, Dr Sadri Chaniago membenarkan apa yang diungkapkan OLP sebagai fakta sejarah tidak terbantahkan.

"Di zaman Orde Baru dijadikan tempat kampanye partai, pesta rakyat, pertandingan olahraga, dan sebagainya. Artinya dari dulu Lapangan Merdeka sudah menjadi milik publik," kata Sadri.

Ke depannya, Sadri berharap keberadaan Lapangan Merdeka lebih ditingkatkan lagi menjadi Alun-Alun Kota yang memiliki Badan Otoritas Pengelola.

"Lapangan Merdeka juga penuh dengan romantisme sebagai lokasi tempat janjian, ajang silaturahmi perantau dengan orang kampung saat Salat Idul Fitri dan Salat Idul Adha," imbuh Sadri.

Dr Firman S Pribadi berpendapat jika Lapangan Merdeka nanti dikembangkan sebagai ruang publik yang inklusif, mesti ditunjang dengan sarana teknologi informasi dan taman edukasi.

"Dengan taman-taman yang menarik dan Instagramable yang dilengkapi sarana informasi adat budaya Minangkabau," ujarnya.

Karena keterbatasan luas, Firman mengusulkan agar jalan aspal yang ada sekarang diganti dengan paving blok yang dilengkapi taman-taman.

"Tapi area Lapangan Merdeka tetap menjadi ruang terbuka hijau agar tetap bisa dimanfaatkan untuk Salat Id dan olahraga," jelasnya.

Kepala Bapedda Kota Pariaman, Hendri Chaniago memastikan hasil FGD akan didengarkan Pemko Pariaman. Saat ini, kata Hendri, baru Lapangan Merdeka yang telah dihibahkan Pemkab Padangpariaman kepada Pemko Pariaman.

Padahal menurut Hendri, Lapangan Merdeka dan bangunan lain di sekitarnya saling menunjang satu sama lain jika akan dikembangkan.

"Kita terus berusaha agar (area bekas perkantoran Bupati Padangpariaman) diserahkan ke Kota Pariaman untuk dikelola," kata Hendri.

Area perkantoran dan Lapangan Merdeka, sambung Hendri, adalah jejak sejarah atau heritagenya Kota Pariaman. Kota Pariaman menurut Hendri sudah ada sejak abad ke 17 sesuai catatan sejarah yang ditulis oleh Bangsawan Portugis, Tome Pieres, dalam buku berjudul Suma Oriental.

"Umur otonomi Kota Pariaman memang baru 20 tahun, tapi umur Kota Pariaman sesungguhnya sudah lebih dari 400 tahun," kata Hendri.

 Hendri bahkan menceritakan pengalaman mistisnya saat baru diangkat jadi PNS di Kantor Bupati Padangpariaman peninggalan Belanda tersebut karena di sebelah kantornya terdapat Benteng Jepang. Karena dianggap berhantu, benteng tersebut kemudian dibenamkan menjadi pondasi bangunan.

"Saya pernah mendengar mesin ketik berbunyi, tapi orangnya tidak ada. Banyak cerita-cerita tidak masuk akal terdengar oleh pegawai lainnya sebelum benteng itu dikuburkan," cerita Hendri.

Arsitek Perencana, Yofan Syarif juga bersemangat. Ia berencana akan memetakan lokasi 20 benteng yang sekarang dikubur tersebut.

Yofan berpendapat area Lapangan Merdeka sangat cocok dijadikan kawasan heritage dengan mengembalikan ke wujud semula.

"Karena kawasan ini sudah menjadi pusat kota sejak awal mula kolonial Belanda. Bisa juga kita daftarkan menjadi bangunan cagar budaya ke Pemerintah Pusat nantinya," kata Yofan.

Jika Lapangan Merdeka dan bangunan sudah dihibahkan ke Pemko Pariaman, Yofan mengusulkan area tembus pandang ke Muaro Pariaman sehingga Lapangan Merdeka akan berubah menjadi Alun-Alun Kota Tua Pariaman yang sangat indah. (*)

×
Berita Terbaru Update