Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Sejarah Tabuik Pariaman, kapan mula, bila datang, siapa membawa

31 Juli 2022 | 31.7.22 WIB Last Updated 2022-07-31T05:32:43Z

Dokumentasi Pariamantoday.com

Pariaman - Dihelatnya kembali Hoyak Tabuik membangkitkan kembali gairah warga Pariaman. Baik yang di ranah maupun di perantauan yang biasanya mengambil cuti pulang kampung beberapa hari jelang Tabuik dihoyak. Namun beberapa orang justru memandang sinis.

Ritual maambiak tanah Tabuik Pasa di Alai Gelaombang, Sabtu 30 Juli 2022

Hoyak Tabuik selalu dikait-kaitkan dengan aliran Syiah oleh segelintir orang yang memiliki pemahaman tertentu. Hoyak Tabuik sempat absen dua tahun karena larangan kerumunan akibat Pandemi Covid-19. Dalam dua tahun belakangan itu juga kita tidak lagi mendengar postingan para oposan Hoyak Tabuik di berbagai platform media sosial. Tabuik tetap jalan di tengah nyinyiran meski Pemko Pariaman tidak lagi mengundang Kedubes Iran yang merepresentasikan negara Islam aliran Syiah.
Jadwal Festival Pesta Budaya Tabuik Pariaman 2022.

Keramaian Hoyak Tabuik sudah terlihat saat prosesi Maambiak Tanah sebagai tanda dimulainya pembuatan Tabuik oleh kedua Anak dan Tuo Tabuik - Pasa dan Subarang. Ritus demi ritus akan digelar hingga Tabuik dihoyak dan dibuang ke laut pada 14 Agustus 2022. Di samping itu Pemerintah Kota Pariaman juga menggelar berbagai atraksi seni, budaya dan agama selama prosesi tersebut.

Penyelenggaraan Hoyak Tabuik saat ini sebenarnya telah memangkas berbagai ritual dan selalu dalam pengawasan pihak pengaman karena dulunya penuh dengan pertumpahan darah. Seperti perang batu, bacakak banyak sehingga setiap Tabuik digelar selalu saja memakan korban. Perang batu dan bacakak banyak telah banyak diceritakan generasi tua. Bahkan saya sendiri pernah berada di antara dua kubu Tabuik, Pasa dan Subarang yang terlihat kesurupan saling serang batu saat Tabuik diarak ke laut pada pertengahan tahun 1980-an. Untung saja saya masih kecil saat itu sehingga tidak menjadi sasaran dua kubu yang mengganas.

Prosesi yang paling berisiko bentrok era Hoyak Tabuik 1980-an ke bawah adalah saat kedua anak Tabuik berselisih jalan. Di mana ada ritual yang mempertemukan kedua anak Tabuik, di situ bentrok fisik terjadi. Belum lagi di antara mereka ada yang di bawah pengaruh alkohol yang gampang naik darah dan terprovokasi.

Tapi, itu Tabuik zaman dulu. Bukan Tabuik zaman now, yang lebih menyasar ke industri pariwisata. Bagus buat pedagang dan agen perjalanan pariwisata. Bagus buat pemilik hotel dan penginapan. Juga bagus bagi Pemko Pariaman karena saat musim Hoyak Tabuik, promosi wisata bernilai miliaran rupiah didapat secara gratis karena yang datang meliput Hoyak Tabuik adalah jurnalis nasional dan luar negeri. Bahkan suatu ketika saya pernah bertemu wartawan dari Jepang, Australia, Tiongkok dan Korea Selatan.

Pada tahun 2014, Hoyak Tabuik Pariaman menjadi headline The Jakarta Post. Dan itu didapat secara gratis. Jika dibayar, saya yakin Pemko Pariaman tercengang melihat list harga iklan The Jakarta Post dua halaman penuh yang pasti melebihi anggaran pembuatan kedua Tabuik itu sendiri.

Hoyak Tabuik Pariaman juga mejeng di sejumlah situs berita berbahasa Mandarin, Korea dan Jepang. Pada tahun 2015 dan 2016 saya sempat menerima link berita Tabuik langsung dari jurnalis yang meliput ke Pariaman. Ratusan foto Tabuik Pariaman juga pernah dipajang situs populer Destinasi Asia. Perihal kepopuleran, ia hampir mendekati perayaan 1 Suro Jawa dan Karapan Sapi Madura. Tapi masih di bawah Ogoh-Ogoh Bali, Yadna Kasada suku Tengger Bromo dan Festival Danau Toba.

Hoyak Tabuik Pariaman wajib dilestarikan. Dia tidak hanya mewakili ikon wisata Pariaman, tapi juga Sumatra Barat. Hanya iven Hoyak Tabuik di Sumatra Barat yang sanggup bersaing dengan ragam festival budaya Nusantara yang telah lebih dulu mendunia.

Beberap fitur Hoyak Tabuik tahun demi tahun terus dikurangi. Zaman dulu masing-masing Tabuik memiliki pasangan. Tabuik Pasa berpasangan dengan Tabuik Cimparuah dan Tabuik Subarang berpadanan dengan Tabuik Padusunan. Ada empat Tabuik dihoyak untuk dibuang ke laut. Festival Debus juga telah hilang awal 1970-an karena para seniman Debus sudah banyak yang meninggal dunia. Sayang sekali, seni Debus lenyap begitu saja karena tidak dilestarikan ke generasi berikutnya.

Sejarah Tabuik Pariaman dan Syiah

Jika kita merunut ke belakang, rentetan pengaruh Syiah dalam tradisi-tradisi keagamaan di Indonesia tak bisa dibantahkan. Tradisi kebudayaan muslim Indonesia banyak di antaranya merupakan pengaruh ajaran Syiah.

Kita masih bisa melihatnya sekarang. Seperti ritus-ritus (bersifat seremonial dan tertata) Tabut di Bengkulu, Gerebek Suro di Yogyakarta dan Ponorogo, adalah ritus teologi Syiah.

Jika disebut Tabuik Pariaman ada hubungannya dengan sejarah Syiah, ada benarnya. Namun menurut Ustaz Buya Bagindo Leter, Tabuik Pariaman adalah murni kebudayaan yang sama sekali tidak mengait dengan ajaran atau aliran Syiah. Bahkan menurut dia dari dulu hingga sekarang tidak satu pun masyarakat Pariaman yang menganut paham Syiah.

Lalu dari mana asal muasal tradisi Tabuik sampai ke Pariaman yang dikonotasikan dengan Syiah tersebut. Hal itu perlu pula kita gali. Pariaman dahulunya merupakan kota dagang, kota pelabuhan di pesisir barat Sumatera. Kota Pariaman adalah kota bandar yang sangat tua dan telah tercatat dalam sejarah Abad 14 dalam buku sejarah populer berjudul Suma Oriental karya Tome Pieres, seorang juru tulis Kerajaan Portugis yang ikut berlayar bersama armada maritim kerajaan menjelajahi alam Nusantara untuk mencari rempah-rempah. Pada kenyataannya, Portugis lebih dulu menginjakkan kakinya di Pariaman daripada bangsa penjajah Belanda.

Tome Pieres mendeskripsikan Pariaman kota bandar yang ramai. Pelabuhannya cukup besar tempat bersandarnya kapal-kapal dagang dari Persia, Gujarat, Tiongkok Selatan.

Sejalan abad tersebut, penyebaran Agama Islam juga sedang berkembang pesat. Bangsa Persia, Tiongkok dan Gujarat sukses membawa budaya mereka ke Pariaman. Sedangkan budaya Eropa gagal berasimilasi karena saat itu identik dengan budaya Kristen Eropa abad pertengahan. Ajaran Islam berkembang di Pariaman dan pantai Barat Sumatra, Kristen yang dibawa Eropa menyebar ke Mentawai, Nias dan Toba.

Tapi apakah benar Tabuik sudah dihoyak di Pariaman sejak abad ke-14? Ini perlu pembuktian. Sangat sedikit literasi empirik yang menjelaskan sejak kapan Tabuik mulai ada di Pariaman.

Tapi yang jelas, Hoyak Tabuik adalah tradisi yang berawal dari Persia untuk mengenang kematian cucu Nabi Muhammad SAW setiap tanggal 1 Muharam. Kemudian menyebar ke berbagai negara dengan cara yang berbeda. Di Indonesia selain Pariaman, di Bengkulu juga dikenal tradisi Tabuik yang disebut Tabot. Mengenai asal usul Tabuik Pariaman, ada beberapa versi yang masih kabur dari kacamata sejarah.

Versi pertama mengatakan bahwa Tabuik dibawa oleh orang-orang Persia yang datang ke Pulau Sumatera untuk berdagang. Sedangkan, versi lain dari catatan Snouck Hurgronje, tradisi Tabuik masuk ke Indonesia melalui dua gelombang.

Gelombang pertama sekitar abad 14 tatkala Hikayat Muhammad diterjemahkan ke dalam bahasa Lingua Franka Melayu tulisan Jawi. Melalui buku itulah ritual tabuik dipelajari.

Sedangkan gelombang kedua Tabuik dibawa oleh bangsa Cipei atau Sepoy penganut Islam Syiah yang dipimpin oleh Imam Kadar Ali. Bangsa ini berasal dari India-Nepal yang oleh Inggris dijadikan serdadu. Mereka eksis di Bengkulu hingga Bengkulu ditukarguling dengan Temasek atau Singapura melalui Traktat London 1824 antara Inggris dan Belanda.

Dikisahkan orang Sepoy semasa di Bengkulu selalu mengadakan ritual untuk memperingati meninggalnya Husein cucu Nabi Muhammad SAW dalam Perang Karbala. Lama-kelamaan ritual ini diikuti pula oleh masyarakat yang ada di Bengkulu dan meluas hingga ke Painan, Padang, Pariaman, Maninjau, Pidi, Banda Aceh, Melauboh dan Singkil.

Dalam perkembangan berikutnya, ritual itu satu-persatu hilang dari daerah-daerah tersebut dan akhirnya hanya tinggal di dua tempat yaitu Bengkulu dengan sebutan Tabot dan Pariaman dengan sebutan Tabuik. Di Pariaman, awalnya Tabuik diselenggarakan oleh Anak Nagari dalam bentuk Tabuik Adat.

Tidak hanya membawa tradisi Tabuik, kaum Sepoy juga membawa sejumlah tradisi, kuliner dan seni. Di antaranya makanan kaya bumbu dan seni mistis Debus. Tradisi Debus sempat berjaya di Pariaman hingga pertengahan tahun 1960-an sebelum punah.

Tapi mengapa Tabuik tetap eksis dan teologi Syiah tidak ikut berkembang di Pariaman maupun di Bengkulu. Pada saat itu, asimilasi budaya dan agama tersaring dengan baik melalui peran sejumlah ulama disusul oleh masa kejayaan Kerajaan Islam di berbagai wilayah Nusantara. Di masa itu juga belum terjadi perang propaganda antara Suni dan Syiah seperti yang terjadi saat ini, sehingga agama Islam yang berkembang di Indonesia sedikit memiliki corak karena pengaruh asimiliasi dengan kebudayaan tadi. Contohnya kita pasti pernah mendengar istilah Islam Kejawen atau percampuran budaya Jawa dan agama Islam. Baru-baru ini kita juga pernah mendengar istilah Islam Nusantara yang menerima banyak penolakan itu.

Terlepas dari itu, ambil baiknya, ambil untungnya dan buang yang merugikan. Hoyak Tabuik sudah sangat jelas menguntungkan bagi warga Pariaman. Selain meramaikan pariwisata dan ekonomi, Hoyak Tabuik juga ajang silaturahmi antara ranah dan rantau. Buang asumsi negatif. Nikmati saat ini, sekarang, momen ini, Hoyak Tabuik! (OLP)

×
Berita Terbaru Update