Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Pilkades Serentak Kota Pariaman: Kriteria Pemimpin Ideal

27 April 2019 | 27.4.19 WIB Last Updated 2019-04-27T16:28:12Z
Oleh Sadri Chaniago, Dosen Jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas/Anak Nagari IV Angkek Padusunan, Kota Pariaman
Kalau tidak ada aral melintang, pada Sabtu 28 April 2019 besok, sebanyak 33 desa di kota Pariaman akan melaksanakan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) Seretak, yang diikuti oleh 115 orang kandidat, dimana 4 orang di antaranya merupakan perempuan. Pilkades sesungguhnya merupakan mekanisme “kontrak politik” antara masyarakat desa dengan para calon kepala desa (Cakades), di mana salah seorang dari mereka akan terpilih nantinya sebagai pusek jalo pumpunan ikan dalam pemerintahan di desa.

Agar layak dipilih, para Cakades ini tentunya harus memenuhi berbagai kriteria ataupun persyaratan. Secara teknis, tentu saja mereka harus memenuhi ketentuan dan persyaratan sebagaimana diatur oleh Permendagri Nomor 112 tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa, yang kemudian dijabarkan ke dalam Perda Kota Pariaman Nomor 6 tahun 2016 tentang Pemilihan, Pengangkatan dan Pemberhentikan Kepala Desa.

Walaupun demikian, secara substansial kearifan lokal adat Minangkabau sesungguhnya telah terlebih dahulu menetapkan konsepsi ideal mengenai kriteria pemimpinan “politik” di nagari sebagai state-nya orang Minangkabau. Salah satu kandungan dari filsafat politik Minangkabau yang telah digariskan oleh para ninik moyang terdahulu adalah: bahwa sesungguhnya hanya individu berkualitas-lah yang diberi peluang untuk “didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting” sebagai pemimpin, karena pada dasarnya masyarakat Minangkabau sangat selektif dalam memilih pemimpin.

Mekanisme dalam memilih pemimpin adalah: “ditintiang ditampih tareh, dipiliah atah ciek ciek, dituah dicilakoi.” Dipiliah atah ciek ciek, maknanya: diseleksi apakah memenuhi persyaratan atau tidak. Juga ada proses dituah dan dicilakoi, yaitu menyigi kelebihan dan kekurangannya. Kemudian memakai pertimbangan patuik dan mungkin (kualitas dan kapabilitas) dengan menggunakan raso (logika) dan pareso (perasaan, kearifan).

Bagaimana kriteria pemimpin yang idel itu menurut adat sabatang panjang di Minangkabau? Filsafat politik Minangkabau telah mensyaratkan bahwa seorang calon pemimpin publik itu mestilah menaruh beberapa kriteria di badan dirinya, yaitu:

Pertama, berakal sehat dan berilmu pengetahuan. Indikatornya adalah: memiliki pendidikan formal yang memadai, berpengalaman dalam kegiatan kemasyarakatan dan pemerintahan, dan memahami dengan baik persoalan di wilayahnya. Kompetensi berilmu pengetahuan ini juga tercermin dari fasihnya melakukan komunikasi politik dengan masyarakat.

Kedua, taat beragama, yang tergambar dari pelaksanaan ibadah pribadi, terutama yang wajib. Ketaatan dalam beragama ini seyogyanya juga terimplementasi ke dalam prilakunya sehari-hari, yaitu menghentikan larangan dan mengerjakan suruhan agama.

Ketiga, berbudi pekerti dan tidak cacat moral. Moralitas seseorang dapat ditelusuri dari rekam jejaknya di tengah tengah masyarakat. Ia bukan “biang masalah” (trouble maker) dalam kehidupan bermasyarakat, seperti digambarkan ungkapan: hilia malonjak mudiak manggaduah, kiri kanan mamacah parang, mangusuik nagari nan salasai, paham bak kambiang dek ulek, rundiang bak sarasah tajun, takabua dalam hati, itulah pemimpin nan jahanam.

Keempat, adil dan tidak diskriminatif. Adil adalah meletakan segala sesuatu sesuai pada tempatnya, dan memperlakukan sama setiap orang sesuai dengan hak dan kewajibannya, tanpa diskriminasi. Ungkapan adat Minangkabau mengatakan: manimbang samo barek, maukua samo panjang, mamanggang samo merah. Tibo diparuik indak dikampihkan, tibo di dado indak dibusuangkan, tibo di mato indak dipiciangkan, di tangah tangah talatak tulang pungguang. Indak bahinggo jo babateh, indak basibak jo basisiah.

Kelima, memiliki loyalitas dan perhatian besar kepada masyarakat, serta bersifat penyelesai masalah. Ungkapan adat Minangkabau mengatakan hal ini dengan: bahari abih babadan litak, rantau jauah diulangi, rantau dakek dikana. Kusuik ka manyalasai, karuah mampajaniah. Hilang nan ka mancari, anyuik ka maminteh, luluih nan ka manyalami. Singkek mauleh, lamah manawua, kurang manukuak, senteang mambilai. Loyalitas dan perhatian kepada masyarakat ini dapat tercermin dari rekam jejak keterlibatan dalam aktifitas kemasyarakatan.

Keenam, berpendirian teguh dan berprinsip, seperti yang dikatakan ungkapan adat Minangkabau: Indak lamak karano santan, indak kuniang karano kunik. Dengan keteguhan pendirian dan prinsipnya, membuat ia berani dalam menegakkan kebenaran dan mencegah kebathilan, seperti ungkapan: indak takuik nyawo ka malayang, bago dipancuang lihia putuih, nan bana tagakan juo.

Ketujuh, mengedepankan musyawarah dalam setiap pemecahan berbagai persoalan, dan pengambilan keputusan. Ungkapan adat Minangkabau menyatakan: Bakato baiyo, bajalan bamolah, duduak surang basampik-sampik, duduak basamo balapang-lapang. Memakai sudi siasek (pertimbangan matang) dan musyawarah dalam memutuskan segala sesuatu. Musyawarah adalah salah satu “ruh” kehidupan orang Minangkabau dalam segala aspek kehidupannya, yang tercermin dari ungkapan: bulek aia dek pambuluah, bulek kato karano mufakat.

Kedelapan, bersifat sabar, memiliki kematangan emosional, tidak anti kritik. Calon pemimpin harus “baalam laweh bapadang lapang”, berjiwa besar dan berpandangan luas. Hal ini terlihat dari kemampuan menghindari perilaku: mamerahkan mato (emosional: marah maupun menangis karena “baper”), mahariak mahantam tanah (marah, kasar, menghardik), manyinsiang langan baju (mengajak berkelahi, suka bertengkar), dan marentak babahaso asiang (berkata kata kotor, ber-carut marut).

Kita sepenuhnya menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna, yang bisa memenuhi semua kriteria di atas. Oleh karena itu, dalam konteks ini berlaku kaidah: basiang di ateh tumbuah, mamandang di ateh rupo. Jikok indak panuah ka ateh, panuah ka bawah. Artinya: perlu kearifan dalam menyikapi kondisi calon pemimpin yang tersedia. Walaupun para calon tidak ada yang memenuhi semua persyaratan - namun paling tidak - ada batas minimum tersedianya persyaratan tersebut dalam diri mereka. Jadi, harus dipilih calon yang paling sedikit “minusnya” dalam memenuhi kriteria di atas.

Beberapa kriteria calon pemimpin ideal menurut filsafat politik Minangkabau di atas, kiranya dapat dijadikan sebagai garis panduan (guide line) oleh masyarakat dalam memilih calon kepala desa dalam Pilkades serentak kota Pariaman tahun 2019 ini.

Marilah kita laksanakan Pilkades ini dengan semangat badunsanak, jujur dan adil, aman dan damai. Jangan kita kotori Pilkades ini dengan money politic, fitnah, hoaks, dan SARA. Siapapun yang dikehendaki oleh masyarakat dan terpilih menjadi kepala desa definitif, harus diterima dengan lapang dada oleh semua pihak.

Semoga Pilkades Serentak kali ini mampu menghasilkan para kepala desa yang berkualitas, amanah, memiliki komitmen kuat untuk menggerakan pembangunan dan memberdayakan kehidupan masyarakat di desa, serta memiliki kemampuan menjalin sinergi yang bersifat “ke bawah” dan “ke atas”, yaitu sinergisitas dengan seluruh komponen masyarakat di desa dan dengan Pemerintah Kota Pariaman. Semoga.. (***)
×
Berita Terbaru Update