Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Mengenal Syekh Muhammad Jamil El Khalidi, Ulama Besar Pariaman Zaman Hindia Belanda

12 Januari 2019 | 12.1.19 WIB Last Updated 2019-01-12T06:15:01Z
Foto: Stasiun Kereta Api Pariaman era Hindia Belanda. Foto: istimewa/internet
             Oleh Sadri Chaniago (Dosen Jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas)

~Salah satu ilmu “dunia” yang dikuasainya adalah pandai membuka pintu rumah, dengan hanya menghentakan kakinya di tangga rumah.

~Orang Tiong Hoa Pariaman ketika itu, juga datang melayat jenazah Almarhum untuk menyatakan turut serta berbela-sungkawa atas telah berpulangnya ulama yang berpengaruh ini.

 

Syekh Muhammad Jamil El Khalidi, dilahirkan pada tahun 1830, dengan nama kecil Habibun, dan sering memanggilkan dirinya dengan nama “Bun”, ketika berbicara dengan orang lain. Ayahnya bernama Abdul Wahab, sedangkan ibunya bernama Tadu. Ia memiliki 7 orang saudara seibu sebapak, yang kesemuanya adalah laki laki.

Di waktu kecilnya Syekh Muhammad Jamil El Khalidi dikenal sebagai anak yang bersifat keras hati, berkemauan tetap, dan agak “nakal”. Syekh Muhammad Jamil El Khalidi menikah dengan seorang perempuan bernama Pati, yang juga berasal dari Pariaman. Di antara anak-anaknya adalah Abdul Hamid, Dja’afar, Zainab, dan lain lain.

Setelah agak dewasa, beliau mulai belajar membaca Alquran kepada Kari Abas, salah seorang Qari yang cukup termasyhur di Pariaman ketika itu. Di dalam belajar tersebut, beliau termasuk seorang anak yang pandai, sehingga diangkat menjadi “Gutuo” (Guru Tuo = Guru Bantu = Asisten Guru).
Kemudian beliau melanjutkan pendidikannya ke Cangking, di sebuah kampung kecil di Bukittinggi. Di sana beliau mempelajari ilmu Fiqih, Tauhid, Tasawuf, kepada Syekh Muhammad Thaib. Setelah kira-kira 3 tahun mendalami berbagai ilmu agama Islam tersebut, beliau pun kembali pulang kampung ke Pariaman untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya.

Beliau tidak hanya menguasai ilmu agama saja, namun juga menguasai ilmu “dunia” yang dipelajarinya dengan sungguh sungguh. Syahdan, salah satu ilmu “dunia” yang dikuasainya adalah pandai membuka pintu rumah, dengan hanya menghentakan kakinya di tangga rumah. Namun demikian, beliau tidak penah menggunakan “kepandaiannya” ini untuk perbuatan jahat.

Untuk menopang kehidupan ekonominya, Syekh Muhammad Jamil El Khalidi memiliki usaha perniagaan kain (pakaian) dengan cara “manggaleh babelok” dari satu negeri ke negeri lain. Beliau menjalani aktifitas sebagai pedagang menuju daerah Sumatera Utara (Natal, Sibolga), bahkan terus sampai ke negeri jiran Malaysia (Pulau Pinang/“Pineng” menurut lidah orang Tiong Hoa di sana, Perak, Kelang Selangor Darul Ehsan, dan negeri lainnya).

Dari hasil perniagaannya ini membuat beliau mampu untuk membiayai keberangkatannya untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Syekh Muhammad Jamil El Khalidi kemudian pun ber-mastutin di Mekkah selama 1 tahun, dan kemudian pulang kampung ke Pariaman. Di Mekkah inilah beliau menukar namanya dari Habibun menjadi Muhammad Jamil El Khalidi, sebagai mana adat orang yang naik haji ketika itu, yang lazim menukar namanya dengan nama baru.

Di Mekkah-lah, Syekh Muhammad Jamil El Khalidi mempelajari ilmu tarekat Naqsyabandiyah kepada Syekh Abu Bakar. Beliau kemudian mendapat ijazah dan menjadi khalifah dari gurunya tersebut, sehingga diberi hak untuk mengajarkan tarekat Naqsyabandiyah. Di kemudian hari, di antara para murid-muridnya yang “menyauk” ilmu dan mendapat ijazah serta menjadi khalifah tarekat Naqsyabandiyah dari beliau adalah Sutan Pamenan, Bagindo Maharajo, Sidi Zainuddin (Imam Subarang), Sidi Khatib, Sidi Pauh, Ja’afar, dan Haji Hasan.

Aktifitas Dakwah

Sekembalinya dari Mekkah, beliau tidak melanjutkan aktifitas perniagaannya, tidak lagi melanglang buana ke berbagai tempat lain. Semenjak itu, mulailah beliau fokus menjadi pendidik agama Islam di Pariaman. Dalam upaya mengajarkan ilmu pengetahuan keislaman, Syekh Muhammad Jamil El Khalidi tidak luput dari berbagai ujian dan cobaan, sebagai batu kerikil dalam perjuangan dakwahnya. Fitnah, makian, hinaan, seperti hujan lebat, umpatan dan hasutan seperti air mengalir mendera beliau, yang berasal dari kalangan yang tidak menyukai aktifitas dakwahnya di Pariaman.

Untuk menopang aktifitasnya sebagai pendidik, maka Syekh Muhammad Jamil El Khalidi mendirikan sebuah surau yang bernama “surau Anjuang”, yang sekarang lokasinya berada di Kampuang Perak, Pasar Pariaman. Hal ini membuat namanya menjadi semakin harum, sehingga banyaklah para pelajar yang datang dari negeri lain di Pariaman, untuk belajar, menuntut ilmu kepadanya.

Dari segi kepribadiannya, Syekh Muhammad Jamil El Khalidi dikenal sebagai individu yang taat beribadah dan hidup sederhana, dan hal inilah yang semakin meninggikan lagi derajatnya di tengah tegah para muridnya dan masyarakat.

Beliau juga dipandang sangat pandai bergaul dengan anak negeri, sehingga anak negeri hormat dan “takut” kepadanya. Ia telah menjadi “bapak” bagi anak negeri, sebagai “panas tempat berlindung, hujan tempat berteduh, tempat megabarkan keadaan baik dan buruk” bagi anak Negeri Pasar Pariaman. Apabila tiap-tiap anak negeri akan berjalan dan kembali dari perjalanan jauh, maka mereka merasa perlu untuk menemuinya.

Jasa Jasanya

Salah satu hasil “makan tangan” dan peninggalan dari Syekh Muhammad Jamil El Khalidi yang sekarang dinikmati dan dimanfaatkan oleh masyarakat Kota Pariaman adalah Masjid Raya Nagari Pasar Pariaman (Masjid Raya Kampuang Perak).

Dahulu masjid ini dinamakan Masjid Batu Nagari Pasar Pariaman, yang dibangun pada tahun 1300 H (1881). Masjid ini merupakan masjid pertama yang terbuat dari batu (bata dan semen) di Pariaman, di mana pembangunannya dipimpin oleh seorang tukang bangunan yang cukup ternama di Pariaman ketika itu, yaitu Sutan Tundun. Pembangunan mesjid ini menghabiskan biaya lebih kurang 100.000 Gulden Belanda. Di belakang masjid, pada tahun 1925 dibangun sebuah lembaga pendidikan (sekolah agama) “Madrasatul Falah”.

Sebelum masjid “batu” ini dibangun, sebelumnya sudah ada bangunan Masjid Raya Nagari Pasar Pariaman, yang bahan bangunannya terbuat dari kayu. Masjid “kayu” ini didirikan pada tahun 1829, yang pembangunannya bersamaan dengan pembangunan Masjid Raya Badano di Nagari IV Koto Sungai Rotan, dan Masjid Raya Nagari IV Angkek Padusunan. Arsitektur serta desain dari ketiga masjid ini memiliki persamaan, karena memang dirancang dan dibangun oleh arsitek yang sama.

Pembangunan Masjid Batu Nagari Pasar Pariaman ini diusahakan dan dipelopori oleh Syekh Muhammad Jamil El Khalidi, dengan partisipasi dan bantuan dari seluruh anak Nagari Pasar Pariaman, serta didukung penuh pula oleh Sutan Muhammad Ali Datuak Rangkayo Hitam, Angku Lareh (Laras) Pariaman ketika itu (jabatannya berakhir 1901). Sutan Muhammad Ali Datuak Rangkayo Hitam ini, memiliki nama kecil si “Tambay”, bersuku Chaniago. Nenek moyangnya berasal dari Tarusan Indrapura (Banda X, Pesisir Selatan). Nama Sutan Muhammad Ali Datuak Rangkayo Hitam kemudiannya diabadikan oleh pemerintah Kota Pariaman sebagai nama jalan yang membentang dari Simpang Ujung Batung sampai menuju Cimparuh, yaitu: Jalan Lareh Muhammad Ali.

Berpulang ke Rahmatullah

Tiga tahun sebelum meninggal dunia, Syekh Muhammad Jamil El Khalidi berada dalam kondisi uzur karena tua, dan menderita sakit pinggang (berkemungkinan sakit ginjal kronis). Oleh karena keadaannya tersebut, maka beliau tidak mampu lagi berjalan dari Surau Anjuang menuju Masjid Raya Pariaman untuk melaksanakan salat, serta turun ke Batang Air Pampan untuk keperluan MCK (Mandi, Kuci, Kakus). Untuk menanggulangi kendala tersebut, maka dibangunlah sebuah “kakoes” (WC/Toilet) di sebelah Surau Anjuang.

Pada petang Kamis malam Jumat 19 Sya’ban 1347 H (1928), Syekh Muhammad Jamil El Khalidi menderita sakit keras. Kemudian, Pada Hari Jumat tanggal 20 Sya’ban 1347 H (1928) beliau berpulang ke Rahmatullah.

Masyarakat Nagari Pasar Pariaman dan Pariaman pada umumnya, telah kehilangan seorang ulama besar yang berpengaruh dan dikenali di Kota Pariaman. Berita telah berpulangnya Syekh Muhammad Jamil El Khalidi dikabarkan melalui telegram kepada para ulama lain. Surau Anjuang menjadi penuh sesak oleh para pelayat, yang datang dari dalam dan luar Kota Pariaman ketika itu. Bahkan, bangsa Tiong Hoa yang ada di Pariaman ketika itu, juga datang melayat jenazah Almarhum, untuk menyatakan turut serta berbela-sungkawa atas telah berpulangnya ulama yang berpengaruh ini.

Jenazah Syekh Muhammad Jamil El Khalidi dimandikan pada jam 11 siang, menjelang shalat Jumat, yang kemudian disalatkan setelah penyelenggaraan shalat Jumat, dan dimakamkan di pekarangan di Masjid Raya Nagari Pasar Pariaman di Kampung Perak.

Penguburan jenazah beliau diiringi oleh deraian air mata dari para pelayat. Dalam prosesi penguburan jenazah beliau tersebut - salah seorang cucu beliau dari anaknya Zainab - yang bernama Sutan Ahmad Nazarudin Darab, bertindak sebagai pembaca do’a dan talkin. Siapakah cucu beliau ini ?

Sutan Ahmad Nazarudin Darab (Sutan Darab), merupakan salah seorang dari ulama pelopor gerakan “kaum muda” dan pembaharu sistim pendidikan keagamaan di Pariaman, Pendiri Diniyah School dan “Mudir” Perguruan Islam Darul Ma’arif Pariaman (Surau Tepi Air).

Sutan Ahmad Nazarudin Darab merupakan menantu kandung dari Tuanku Telur Nan Tua di Nagari IV Angkek Padusunan. Dengan demikian, berarti ia adalah ipar dari Rasul Telur di Nagari IV Angkek Padusunan, jebolan Universitas al Azhar Mesir yang juga menjadi salah seorang tokoh “kaum muda” dan pembaharu sistem pendidikan keagamaan di Pariaman.

Dalam prosesi penguburan jenazah Syekh Muhammad Jamil El Khalidi, Sidi Zainuddin turut serta membacakan do’a. kemudian Andah, memberikan kata nasehat dan menyampaikan ucapan terima kasih kepada orang banyak, para pelayat dan pengantar jenazah.

Sebagai pengganti posisi Syekh Muhammad Jamil El Khalidi dalam urusan keagamaan di Nagari Pasar Pariaman, maka dipilih Sidi Zainuddin, seorang kemenakan dan juga murid kesayangan almarhum. Sedangkan untuk pengganti almarhum dalam urusan kemashlahatan Masjid Raya Nagari Pasar Pariaman, dilanjutkan oleh kemenakannya yang lain, yaitu Bagindo Jalaluddin Thaib.

Nama besar dan kiprah Syekh Muhammad Jamil El Khalidi ini juga dibadikan oleh Pemerintah Kota Pariaman sebagai nama jalan yang membentang dari Simpang Kampung Perak menuju Simpang Kuburan Belanda (Kubel), dengan nama: Jalan Syech Mohd. Jamil.

Demikianlah sekelumit narasi tentang kisah Syekh Muhammad Jamil El Khalidi sebagai salah seorang ulama yang berpengaruh di Pariaman ini disarikan. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bissawab. (*)

×
Berita Terbaru Update