Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Padusunan: Nagari Tuo Para Raja

1 Oktober 2018 | 1.10.18 WIB Last Updated 2018-10-01T15:40:29Z
Oleh: Sadri Chaniago
(Dosen Jurusan Ilmu Politik FISIP Unand/Anak Nagari IV Angkek Padusunan)
~Ketika Aceh berhasil menanamkan pengaruhnya di rantau Tiku Pariaman, di Padusunan ada raja bergelar Sultan, yaitu raja yang dirajakan dari Aceh, bukan dari Pagaruyuang.

~Raja muda Aceh tidak bertempat tinggal dan menjalankan pemerintahannya di pelabuhan Pariaman, namun berkedudukan dan menjalankan pemerintahannya di Padusunan.


Tuanku Rajo di Padusunan

Naskah Tambo Alam “Bungka Nan Piawai” yang diterjemahkan oleh almarhum Emral Jamal Datuak Rajo Mudo (2000), menjelaskan bahwa raja yang pertama kali memerintah di Rantau Pasisir Tiku Pariaman adalah Tuanku Rajo Tuo, yang sejak semula ditanam oleh Datuak Sari Maharajo untuk menjadi pemegang barang dan pusaka serta adat dan limbago di Tiku Pariaman.

Tuanku Rajo Tuo ini berdiam dan memerintah di Ulak Kampuang Dalam di Istana Kampuang Padusunan, dalam Rantau Tiku Pariaman.

Ketika masih bernama rantau Tiku Pariaman, Ulak Kampuang Dalam ini masuk ke dalam Pariaman Sabatang Panjang. Kemudian, ketika  Piaman Sabatang Panjang dipecah menjadi dua kelarasan, yaitu: Sakarek Hulu (Kampuang Dalam) dan Sakarek Hilia (Kampuang Aceh), maka Ulak Kampuang Dalam/Padusunan ini masuk ke dalam Sakarek Hilia.

Sakarek Hulu terdiri dari: Mangguang, III Koto Nareh, Sikapak, Tungka. Sedangkan Sakarek Hilia (disebut juga dengan nama Kampuang Aceh) terdiri dari: IV Angkek Padusunan, V Koto Aia Pampan, Pasa Piaman, IV Koto Sungai Rotan (Armaidi Tanjung, 2006:21)

Setentang Tuanku Rajo Tuo ini, Datuak Batuah Sango & Datuak Tuah (Tambo Alam Minangkabau) menambahkan bahwa: Tuanku Rajo Tuo merupakan gelar atau nama lain dari Datuak Katumangguangan.

Tuanku Rajo Tuo ini menurut Naskah Tambo Alam “Bungka Nan Piawai” (Emral Jamal Datuak Rajo Mudo: 2000) merupakan anak dari Datuak Bandaro Kayo di Pariangan Padang Panjang, yang merupakan tempat tampuak tangkai alam, sebagai tempat awal mula berdirinya adat Minangkabau.
 

Datuk Bandaro Kayo merupakan pemegang tampuk Alam Minangkabau karena memegang posisi sebagai Panghulu ke-II Koto Pariangan (atau dikenal juga dengan Lareh Nan Panjang). Datuak Bandaro Kayo merupakan kemenakan dari Niniek Sangiang Dewang Indojati (Sang Hyang Dewang Indrajati), yang juga bergelar sebagai Datuak Di Ngalau, karena berdiam di Ngalau Sakti.

Sedangkan Ibu dari Datuk Bandaro Kayo bernama Sangiang (Sang Hyang) Dewi Jato-jati, yang juga dikenal dengan nama Puti Sarimayang (dikenal juga dengan nama Mande Jato-jati). Ia berdiam di di Istano Bidadari di bukik nan “indak barangin, di lurah indak baraia”, yaitu di bukik Patualo, yang terdapat di Puncak Gunuang Manduro (Gunuang Marapi).

Ibu Datuk Bandaro Kayo bernama Sangiang (Sang Hyang) Dewi Jato-jati (Puti Sarimayang Mande Jato-jati) yang tersebut di atas, memiliki seorang kakak perempuan yang bernama Niniek Sangiang Dewang Indojati (Sang Hyang Dewang Indrajati), yang kelak akan melahirkan anak keturunan yang bernama Anggun Nan Tongga Magek Jabang.

Jadi dengan kata lain, Niniek Sangiang Dewang Indojati (Sang Hyang Dewang Indrajati) merupakan nenek moyang dari Anggun Nan Tongga Magek Jabang, tokoh legendaris yang pernah berkuasa di Rantau Tiku Pariaman.

Menurut Datuak Batuah Sango & Datuak Tuah (dalam Tambo Alam Minangkabau), ketika Tuanku Rajo Tuo memerintah, Rantau Tiku Pariaman ketika masih bernama Sungai Solok, atau disebut juga dengan Batang Teranjur. Tuanku Rajo Tuo memiliki seorang anak laki laki dan seorang anak perempuan. Anak laki lakinya itu kemudian menggantikannya menjadi raja di rantau Tiku Pariaman.
 

Sedangkan anak perempuannya kemudian melahirkan seorang anak laki  laki yang dikenal dengan nama Nan Tongga Magek Jabang, yang memegang barang pusaka adat limbago selama lamanya di rantau Tiku Pariaman. Dalam pemahaman penulis, mungkin oleh karena raja pertama di rantau Tiku Pariaman ini adalah Tuanku Rajo Tuo, maka dapat diterima oleh akal jika kemudian Tiku Pariaman ini ditetapkan sebagai “rantau Rajo”, yaitu rantau dari Batipuah dan Agam.

Menurut versi Ahmad Dt. Batuah & A. Madjoindo (1956:22), Tuanku Rajo Tuo bertempat tinggal di “Limau Kapeh” (Sepertinya nama lama Padusunan, sebelum bernama Padusunan), dan merupakan ninik moyang Anggun Nan Tongga Magek Jabang. Rajo Tuo (Datuak Katumangguangan) ini-lah yang ditemui oleh Jatang Sutan Balun (Datuak Perpatiah Nan Sabatang - Pendiri sistem kelarasan Bodi Chaniago – yang merupakan adik seibu Tuanku Rajo Tuo/Datuak Ketumangguangan) ketika akan berangkat  merantau mencari pengalaman ke Siam. Kaba Anggun Nan Tongga (Ambas Mahkota, 2012:9) juga mendukung informasi ini, dan tidak pernah menyatakan bahwa tempat kedudukan Tuanku Rajo Tuo di Kualo Banda Teleang (Muaro Batang Air Pampan Pariaman).

Agaknya, Tuanku Rajo Tuo inilah yang namanya selalu disamarkan dengan berbagai nama lain di kemudian hari sebagaimana yang termuat dalam berbagai kaba dan cerita rabab Piaman. Salah satu contohnya adalah: sebagaimana disebut dalam kaba Sutan Lembak Tuah (Syamsudin St.Radjo Endah, 2017:60), yang menyamarkan nama Tuanku Rajo Tuo menjadi Datuak Bandaro Tuo yang disebut sebagai Angku Kapalo Padusunan (pemimpin di nagari Padusunan). Dan ingat, masih lagi menyebut nama Padusunan, bukan menyebut nama nagari lain yang ada di Pariaman Sabatang Panjang ini !

Selain itu, nama Padusunan juga diabadikan dalam pantun yang sering disebut dalam berbagai perundingan pasambahan kato para ninik mamak dalam acara adat di Minangkabau (pengangkatan penghulu, babaua, maantaan tando, baralek, dan sebagainya).

Pantun itu berbunyi: Tapancia ranah Padusunan / Di baliak bukik nan bamunggu / Bakeh lalu bakelok jalan / Samantaro kami mampaiyokan / Lah panek Tuan dek manunggu / maaf jo rila dipuhunkan (N.M. Rangkoto, 1982:146). Pantun perundingan ini juga mengisyaratkan betapa pentingnya nagari Padusunan, sehingga diabadikan dalam pantun tersebut.

Sultan Mughal: Raja Muda Aceh di Padusunan

Kemudian, ketika kerajaan Aceh Darussalam berkuasa di Pariaman (dan di sepanjang pantai Barat Minangkabau), mereka menempatkan seorang raja muda di Pariaman yang bernama Sultan Mughal (dikenal juga dengan nama Sultan Moghul/Abangta Abdul Jalil/Abangta Pariaman Syah/Sultan Sri Alam) yang ditugaskan oleh ayahnya, Sultan Alauddin Ri’ayat Syah Al Qahhar (1537-1571 M), menjadi wakil Sultan Aceh Darussalam di Pariaman (Amirul Hadi, 2010:50; Zakaria Ahmad, 1972: 93; M. Junus Djamil, 1958: 104-105). Tugasnya adalah melakukan kontrol terhadap roda pemerintahan, termasuk aspek politik, administrasi, dan ekonomi (Amirul Hadi, 2010:50).

Pada era Sultan Alauddian Ri’ayat Syah Al Qahhar (Sultan ke-3, memerintah tahun 1537-1571 M), kerajaan Aceh Darussalam mulai melakukan ekspansi teritorial, terutama ke daerah pesisir pantai Barat Sumatera, sehingga berhasil menguasai beberapa kota pelabuhan penyalur lada dan hasil hasil bumi berharga lainnya.

Di antara kota kota itu ialah: Singkel, Barus, Pasaman, Tiku, Pariaman, dan Padang (Rusdi Sufi, 1995:12). Tidak dapat tidak, Pariaman telah menjadi bagian dari wilayah penting kekuasaan Aceh. Berbagai hasil produksi pantai Barat Sumatera ini diperdagangkan di pasar pasar India, Tiongkok, dan Eropa dibawa ke pelabuhan pelabuhan Aceh, di mana saudagar dari berbagai bangsa yang telah berkumpul (Zakaria Ahmad, 1972:52).

Jabatan Sultan Mughal sebagai Raja Muda di Pariaman berakhir pada tahun 1579 Masehi, karena ia “mendapat promosi” ditabalkan menjadi Sultan Aceh Darussalam yang ke-6, dengan gelar “Sultan Sri Alam”.

Ia menggantikan kekuasaan keponakannya yang bernama Sultan Muda (Sultan ke-5, anak dari Sultan Husein Ali Ri’ayat Syah/Sultan ke-4) (Mohammad Said, 1981:205). Namun, Sultan Sri Alam akhirnya mati dibunuh pada tahun 1579 M itu juga, setelah berkuasa hanya dalam waktu 2 bulan saja. Ia kemudian digantikan oleh keponakannya yang bernama Zainal Abidin (Sultan ke-7, memerintah dalam waktu singkat, berakhir tahun 1579), anak dari saudaranya yang bernama Sultan Abdullah (Raja Aru) (Raden Hoesein Djajadiningrat, 1983:27-28).

Sultan Sri Alam ini menikah dengan Raja Dewi, seorang putri dari Raja Indrapura, yaitu Sultan Munawar Syah. Raja Dewi juga merupakan saudara perempuan dari Sultan Buyung (Sultan Bujang), yang kelak ditabalkan menjadi Sultan Aceh Darussalam ke-9 (1585-1589), dengan gelar Sultan Meugat Buyung Alaiddin Ri’ayat Syah. Ia menggantikan Sultan Mansyur Syah (Sultan ke-8, memerintah 1579-1585 M) (M. Junus Djamil, 1958:104).

Kelak, salah seorang cucu laki laki Sultan Sri Alam yang bernama Darma Wangsa Perkasa Alam (bergelar Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam, berkuasa 1607-1636 M) muncul menjadi Sultan yang gilang gemilang, membawa kerajaan Aceh Darussalam kepada masa keemasannya (Mohammad Said, 1981:244). Mengenai kekuasaan Aceh Darussalam di Pariaman ini beserta dampaknya terhadap kehidupan sosial, budaya, dan agama, ataupun bukti yang ditinggalkannya di Pariaman Sabatang Panjang, akan penulis bahas pada kesempatan yang lain.

Raja muda Aceh tersebut juga tidak bertempat tinggal dan menjalankan pemerintahannya di pelabuhan Pariaman (areal pasar dan Muaro Pariaman sekarang - yang menurut cerita kaba Anggun Nan Tongga - disebut sebagai kawasan Kualo Banda Teleang), namun berkedudukan dan menjalankan pemerintahannya di Padusunan.

Pernyataan ini didukung penuh oleh pendapat Buya Hamka yang mengatakan bahwa ketika Aceh berhasil menanamkan pengaruhnya di rantau Tiku Pariaman, di Padusunan ada raja bergelar Sultan, yaitu raja yang dirajakan dari Aceh, bukan dari Pagaruyung (Hamka 1984:105).

Di dalam bukunya yang lain, Hamka (1974:140) menambahkan bahwa semua orang Pariaman tahu, bahwa kedudukan Sultan Muda Aceh tersebut memang bukan di Pelabuhan Pariaman, tetapi di Padusunan. Jadi dengan berdasarkan pendapat Hamka di atas, sulit sepertinya untuk menolak dan menafikan bahwa Padusunan merupakan salah satu nagari tuo di Pariaman Sabatang Panjang, nagari tempat kedudukan raja raja, yang memegang peranan penting pada masanya.

Demikianlah agaknya, sedikit demi sedikit kabut misteri tentang nagari Padusunan mulai tersingkap perlahan-lahan. Ini sedikit banyaknya telah mengobati rasa dahaga keingin-tahuan penulis, kenapa nama Padusunan itu selalu disebut sebut dalam berbagai tambo, pantun dan kaba? Ya, tidak lain tidak bukan, rupanya para generasi terdahulu itu bertujuan memberikan “kode keras” dan petunjuk tersirat kepada generasi yang terkemudian, bahwa Padusunan merupakan salah satu nagari tuo di Pariaman Sabatang Panjang, nagari tempat kedudukan para raja masa silam.

Tak salah kiranya, jika Hamka (1984:94) dengan penuh keyakinan mengatakan bahwa Padusunan adalah tempat kedudukan raja semenjak dahulunya. Kalau tak ada berada, tak akan burung tempua bersarang rendah ! Jika tak ada api, tidak akan ada asap !

Hari ini, nagari tuo Padusunan dikenal dengan nama Nagari IV Angkek Padusunan, Pariaman Timur, Kota Pariaman, yang di tengah tengahnya mengalir sungai kecil bernama Batang Kapau.

Nagari IV Angkek Padusunan terdiri dari Kampuang: Talago Sariak, Pakasai, Kampuang Gadang, dan Kampuang Baru. Adapun jurai dari nagari ini adalah: Bato, Batang Kabuang, Koto Marapak.
 

Mampukah Nagari Padusunan mengulangi kembali “siklus” sejarahnya sebagai “pusek jalo, pumpunan ikan” di Pariaman Sabatang Panjang ini ? Wallahu a’lam. (*)

×
Berita Terbaru Update