Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Pilkada Pariaman, Swing Voters dan Risiko Politik Uang

27 April 2018 | 27.4.18 WIB Last Updated 2018-04-27T11:13:53Z
Ilustrasi politik uang. Foto/istimewa/jawapos.com
                               Oleh Oyong Liza Piliang
Hari ini (27 April) tepat dua bulan lagi Pilkada Pariaman 27 Juni 2018 digelar. Pesta demokrasi berlangsung usai lebaran Idul Fitri (15-16 Juni). Masa-masa kampanye melewati bulan suci Ramadhan akan dilalui oleh tiga pasangan calon, Mari (1), DePe (2) dan Gema (3).

Dalam hal aturan dan sanksi, pilkada 2018 jelas jauh berbeda dari pilkada Pariaman sebelumnya. Pilkada saat ini dalam sejumlah aturan undang-undang, memberi kewenangan penuh bagi panwaslu/bawaslu untuk menyidik pelanggaran pimilu, mendakwa hingga memutuskan: layaknya penyidik, jaksa dan hakim. Dulunya, kewenangan bawaslu/panwaslu sebatas pemberi rekomendasi. Panwaslu tidak hanya bisa menangani sengketa pemilu tapi juga bisa menerima aduan sengketa pemilu.

Keputusan panwaslu atas pelanggaran pilkada paling berat, di antaranya bisa menganulir kemenangan pasangan calon meskipun sudah ditetapkan oleh KPU.

Sebagaimana diketahui, Pilkada Serentak 2018 digelar di 171 kota/kabupaten, termasuk 17 pemilihan gubernur. Pelaksanaan pilkada hanya satu putaran dan tidak ada pemungutan suara ulang terkait dengan perolehan suara. Pemilik suara terbanyak--meski tidak mencapai kuaota suara 30%--akan ditetapkan sebagai pemenang: kecuali Pilkada DKI Jakarta.

Bagi calon kepala daerah yang terbukti telah melakukan politik uang secara terstruktur dan masif demi kemenangannya, bisa dianulir: baik pencalonannya maupun kemenangannya oleh panwaslu/bawaslu. Ngeri..

Untuk menentukan apakah politik uang tersebut bersifat terstruktur dan masif, tentunya harus ada pembuktian oleh panwaslu/bawaslu. Kriterianya, dilakukan lebih dari 50% jumlah kabupaten/kota, lebih dari 50% jumlah kecamatan, hingga 50% jumlah kelurahan atau desa.

Pelaporan pelangaran tersebut ada di sentra Gakkumdu. Untuk pembuktiannya, ada proses dari majelis pemeriksa bawaslu/panwaslu. Sentra Penegakan Hukum Terpadu atau Gakkumdu terdiri dari kepolisian, bawaslu, dan kejakasaan, akan bersinergi dalam melakukan pemantauan gelaran Pilkada 2018.

Sebagai bagian dari masyarakat Pariaman, secara pribadi, saya telah mengamati dengan seksama peran politik uang dalam setiap kontestasi pemilu, khususnya sejak 2008. Baik saat pilkada maupun saat pemilu legislatif. Realita swing voters pargamatisme merupakan tamparan keras bagi demokrasi. Politik uang masih merupakan senjata pamungkas bagi setiap para kontestan meraup suara kalangan swing voters.

Bujang (46), menghisap rokoknya dalam-dalam. Peluhnya baru saja kering usai menarik biduk nelayan bersama kolega lainnya. Ia nelayan partisan. Kadang melaut, ngojek, juru parkir, sesekali menganggur.

Bujang tidak terlalu banyak tahu tentang sosok para paslon selain dari nama-nama mereka. Visi-misi para paslon baginya tidak penting, karena menurutnya adalah omong kosong belaka.

Bujang mengaku dalam setiap pilkada dan pemilu selalu menerima uang sejumlah Rp100 ribu yang dibagikan oleh para tim paslon dan caleg pada pilkada dan pemilu sebelumnya. Orang seperti Bujang akan pergi ke TPS jika "diongkosi". Bujang satu dari ribuan pemilih swing voters pragmatis Pariaman. Sebagaimana swing voters lainnya, Bujang beralasan pergi ke TPS membutuhkan waktu setara setengah hari kerja.

"Jika tak dikasih lebih baik saya melaut atau ngojek. Siapa yang akan menjadi pejabat, saya akan tetap begini-begini saja," kata Bujang tanpa keraguan.

Agak jauh dari Bujang, Neni, perempuan setengah baya tiga anak. Sedari pagi ia menggelar lapak di halaman rumahnya. Ia pedagang sarapan pagi yang tidak menamatkan sekolah dasar. Ia lebih pintar berhitung dari pada membaca.

Beban hidup Neni sehari-hari menafkahi tiga anak yang masih sekolah. Hutang kredit motor, angsuran KUR di bank, hingga uang rokok suami, semua dari laci dagangannya.

"Hari-hari badai begini suami jarang melaut. Rokoknya saya yang belikan," kata Neni.

Neni tidak begitu peduli dengan pilkada dan pemilu. Baginya, beban ekonomi sehari-hari telah membebani benaknya keseharian. Sebagaimana Bujang, sosok para paslon Pilkada Pariaman, ia tak tentu. Ia hanya tahu nama-nama paslon dari poster dan baliho. Ia bukan pelanggan koran atau warganet di medsos.

"Saya tidak percaya janji-janji politik," kata Neni sambil membalik gorengan dalam kuali. Ia menyetel rendah api kompor bertabung gas 3 kg.

Bagi Neni, pergi ke TPS sama dengan meninggalkan dagangannya. Waktu yang terbuang itu baginya harus setimpal tidaknya.

"Biasanya ada yang ngasih uang untuk pilih calon tertentu. Saya tak mau nerima dobel sementara satu di antaranya tidak saya pilih. Banyak yang terima duit dari semua calon, saya tak mau begitu. Dosa," Neni mengutarakan.

Bujang dan Neni merupakan contoh pemilih dan realita yang jamak kita temui saat ini. Mereka bukan generasi milenial. 


Mereka para pemilih yang skeptis dengan janji-janji kampanye para paslon. Mereka adalah swing voters pragmatisme. Setidaknya, dalam pengamatan saya, kualitas pendidikan dan ekonomi masyarakat sangat menentukan cara pandang politik mereka. 

Untuk mendulang suara swing voters pragmatis sebagaimana Bujang dan Neni, tentu sangat berbahaya dilakukan oleh para paslon dengan risiko yang akan mereka tanggung. Alih-alih menang di pilkada, mereka bisa dianulir setelah ditetapkan menang oleh KPU. (***)
×
Berita Terbaru Update