Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

[Tajuk] Gas Airmata Polisi Tak Akan Terpakai di Konflik Pilkada Pariaman

22 Maret 2018 | 22.3.18 WIB Last Updated 2018-03-22T02:25:24Z
Kapolda Sumbar Irjen Pol Fakhrizal pantau kesiapan dan suport 10 tabung gas airmata beserta alat pelontarnya bagi Polres Pariaman dalam mengamankan Pilkada Pariaman. Foto/Phaik
Kedatangan Kapolda Sumbar Irjen Pol Fakhrizal untuk mengecek kesiapan Polres Pariaman dalam mengamankan Pilkada Pariaman 2018, menyiratkan bahwa Pariaman sebagai zonasi penting tindakan antisipatif. Kapolda beserta jajaran teras berkunjung resmi Rabu kemaren (21/3).

Pilkada Pariaman memang telah dipetakan pihak kepolisian potensi rawan kategori tiga. Artinya, keruncingan dan pertikaian lebih banyak bersifat masif di jejaring sosial media. Hal demikian, dengan analisa intel secara umum, tidak tertutup kemungkinan pertikaian di media sosial bisa saja berujung ke konflik dunia nyata.

Langkah antisipasi oleh Polda Sumbar dirasa juga tidak berlebihan dengan mensuport Polres Pariaman 10 tabung gas air mata lengkap dengan alat pelontarnya. Gas airmata biasanya digunakan oleh kepolisian untuk membubarkan konsentrasi massa yang sudah berbuat anarkis yang tidak bisa ditangani dengan pendekatan persuasif. 


Penggunaan gas airmata dikenal langganan pembubaran demo penolakan kenaikan BBM di ibukota dan sesekali tawuran mahasiswa di Kota Makassar. Penggunaan gas airmata di Indonesia mulai dikenal sejak demo besar-besaran Indonesia 1998 seiring tumbangnya rezim Orde Baru.

Jika kita surut ke belakang dalam dua Pilkada Pariaman sebelumnya--2008 dan 2013--suasana hangat selalu mewarnai kontes demokrasi lima tahunan tersebut. Dalam Pilkada Pariaman 2008, masyarakat terkelompok dalam lima faksi. Ada lima pasangan calon berlaga kala itu. Di 2013 lebih banyak lagi menjadi tujuh faksi dukungan. Tujuh pasangan calon dengan basis massanya saat itu, saling perang opini. Media sosial di 2013 juga cukup berkembang. Jika mengacu kepada pemetaan konflik, Pilkada 2013 merupakan Pilkada Pariaman paling potensial memicu konflik horisontal.

Tapi. Hal yang dicemaskan tersebut tidak terjadi. Pertanyaan ini, bagi orang Pariaman sangat mudah menjawabnya. Bagi warga Pariaman faham betul artinya dialetika. Perang opini adalah gagasan intelektual yang tidak menyeret fisik.

Kematangan demokrasi di Pariaman tidak datang secara tiba-tiba. Kedewasaan dalam menyikapi perbedaan merupakan budaya tersendiri bagi warga Pariaman. Lihat saja betapa serunya perang pantun yang menyiratkan tradisi dialetika. Hal itu masih bisa kita saksikan saat ritus "maantaan tando" dan "macari ari alek" pranikah di mana dua kubu niniak mamak berdialetika tingkat tinggi dalam sastra pantun.

Tradisi yang lebih kolosal lagi dalam menyikapi pertikaian, adalah saat budaya Batabuik Piaman. Dua kubu anak Tabuik--Pasa dan Subarang---saling bersitegang selama prosesi Tabuik sepuluh hari. Saling sindir bahkan hingga bentrok fisik. Namun setelah Tabuik dibuang ke laut sirna pulalah konflik emosional dua kubu tadi bak ditelan ombak. Dua kubu kembali seperti biasa seakan tidak pernah terjadi apapun. Biduak lalu kiambang batauik. Tak ada dendam, tak ada lagi ungkit mengungkit. Semua perkara Tabuik telah habis. Tidak ada lagi yang membahas Tabuik hingga tibanya 1 Muharam berikutnya.

Kebudayaan Piaman yang eksotik ini, memang jarang di temui di daerah lain. Berdialetika tinggi, hidup bersosialisasi, memegang teguh kekerabatan, cukup sudah membentengi tatanan sosial masyarakat yang aman dan damai tanpa kehilangan kualitas demokrasinya. (OLP)
×
Berita Terbaru Update