Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

[Editorial] Peluang Genius Dengan atau Tanpa Mukhlis

31 Oktober 2017 | 31.10.17 WIB Last Updated 2017-10-31T04:08:26Z

Tanggal 27 Juni 2018 hari pencoblosan Pilwako Pariaman. Saat itu Mukhlis Rahman masih menjabat walikota. Pengaruh Mukhlis masih menggurita, baik di kalangan ASN maupun pemilih lainnya. Sangat tidak bijak memandang sosok Mukhlis sebelah mata oleh para politisi yang ikut berlaga di Pilwako Pariaman 2018 nanti.

Kalimat di atas sering terlontar di pelbagai diskusi politik oleh kalangan masyarakat yang intens mengikuti perkembangan politik jelang Pilwako Pariaman. Dalam sajian editorial ini, kami akan coba mengupas topik politik jelang pilkada, tekait sejauh mana dominasi politik Mukhlis di akhir masa kepemimpinannya tersebut.

Menurut kami, ada dua kekuatan politik besar yang dipunyai oleh Mukhlis. Pertama para loyalis, kedua tradisionalis. Para loyalis Mukhlis adalah orang yang memiliki kesepahaman dengan Mukhlis dan orang-orang yang merasa diuntungkan di dua periode kepemimpinan dia sebagai walikota. Sedangkan para tradisionalis adalah orang yang mengikuti ideologi Mukhlis: mereka terutama dari keluarga terdekat dan kerabat.

Para loyalis dan pengikut ideologis Mukhlis membentang dari kalangan ASN, niniak mamak, tokoh adat dan pemuka agama. Sangat sulit mengukur tingkat kemilitanan mereka, namun dari dua Pilwako Pariaman sebelumnya--dimana keduanya dimenangkan oleh Mukhlis--kekuatan tersebut bisa diraba.

Untuk kontestasi Pilwako Pariaman 2018 dimana Mukhlis Rahman tidak maju lagi, timbul pertanyaan mendasar: masih adakah kekuatan itu? Jawabannya tentu saja ada---meski akan menurun---namun jika dilihat secara prosentase, berpeluang mendorong perolehan suara serta menentukan kemenangan bagi pasangan calon, jika kekuatan tersebut diarahkan sendiri oleh Mukhlis kepada salah satu pasangan calon.

Dalam pengamatan kami, untuk Pilwako Pariaman 2018, Mukhlis tidak akan menjadi penonton atau duduk diam saja. Meski begitu, ia juga tidak akan sembarangan dalam mendukung pasangan calon. Mukhlis sadar betul adalagi satu kekuatan politik besar yang akan mengimbangi pengaruhnya. Ialah "Sang Petahana". Tentu saja Genius Umar, wakilnya saat ini.

Selaku jurnalis, kami, para wartawan tentu tidak jauh-jauh sangat dengan sumbu kekuasaan. Percaturan politik daerah, rahasia dapur pemerintahan, sedikit banyak kami ketahui meski hanya menjadi konsumsi terbatas yang tidak kami lepas ke ruang publik. Ada ruang-ruang sensitif tentunya.

Saat ini, dari penelusuran dengan data yang bisa diverifikasi, hampir semua bakal calon walikota dan wakil walikota Pariaman sudah menemui Mukhlis secara pribadi. Kedatangan bertungkus silaturahmi tersebut tak lain meminta restu serta berharap dukungan dari penggagas gerakan Magrib Mengaji itu.

Semua balon yang menghadap tentu saja ia terima. Dalam ranah politis, Mukhlis tentu saja bukan pemain baru meski ia lebih dominan dikenal publik sebagai pamong sejati. Jawaban Mukhlis kepada semua calon, kami duga hampir senada, yakni normatif: mendukung putra terbaik Pariaman yang ingin mengabdi sebagai kepala daerah.

Lalu bagaimana dengan Genius Umar, wakil Mukhlis saat ini. Pilwako Pariaman 2018 adalah momentum besar bagi Genius Umar selaku petahana. Biaya sosialisasi politik yang mahal--yang merepotkan saingan politiknya---bagi Genius sebagai salah satu balon walikota, sangat diuntungkan. Ia tidak perlu mengeluarkan uang untuk mengejar popularitas sebagaimana balon lain lain yang sibuk mencitrakan diri dengan baliho, menggelar pertemuan, acara seremoni, dll. Selaku wakil walikota, ia mengunjungi masyarakatnya setiap hari, karena memang itu kerjanya.

Sedangkan bagi para balon lain--apalagi nama baru--mesti memperkenalkan diri terlebih dahulu yang berbiaya mahal. Petahana beberapa langkah lebih maju dari calon pendatang baru, apalagi nama mereka jarang pula terpampang di pemberitaan media arus banyak.

Dalam penelusuran kami di Pilwako Pariaman 2013 sebagai salah satu bahan referensi, untuk biaya sosialisasi yang intensif, para balon bukan petahana mesti merogoh kocek paling minim Rp15 juta per minggu. Jumlah tersebut bisa membengkak dua hingga tiga kali lipat saat hari besar keagamaan: seperti maulid nabi.

Calon kepala daerah petahana memiliki banyak keuntungan dibandingkan calon lainnya. Keuntungan dekat dengan sumber keuangan daerah, bisa memobilisasi PNS, juga bisa menggunakan fasilitas daerah untuk berkampanye menggunakan bansos dengan memberikan santunan atas nama daerah---padahal kepala daerah itu mencalonkan diri lagi. Itu jamak dilakukan oleh petahana manapun di seluruh Indonesia karena belum ada undang-undang yang mengatur hal-hal detail seperti itu.

Meski demikian, tidak ada jaminan setiap petahana yang mencalonkan diri akan terpilih kembali. Keuntungan yang didapat oleh petahana kalau dia mencalonkan diri lagi, adalah dalam hal penilaian kinerja. Masyarakat pemilih akan berpatokan pada dua hal, yakni berkinerja baik akan dipilih lagi dan sebaliknya tidak akan dipilih jika berkinerja buruk.

Sementara dari data dari berbagai media massa, penilain publik terhadap rezim kepala daerah Pariaman 2013-2018 cukup baik dan memuaskan yang tentu saja sangat menguntungkan bagi Genius selaku petahana. Lawan-lawan politiknya hingga saat ini belum mampu meyakinkan publik dimana letak kekurangan pemerintahan saat ini. Ironis memang bagi mereka yang ingin mendapat dukungan dari Mukhlis jika mengkritisi pemerintahan yang masih berjalan hingga saat ini. Kampanye yang minim dari para calon kepala daerah bukan petahana, juga menyebabkan masyarakat lebih cenderung ke status quo.

Isu pecah kongsinya Mukhlis-Genius, meski banyak didengung-dengungkan, tidak lagi menjadi isu penting bagi kalangan pemilih, jika dilihat betul dari dekat. Masyarakat menilai jika pun Mukhlis-Genius pecah kongsi, yang akan berlaga di Pilwako bukan mereka berdua. Calon pemilih saat ini lebih banyak terfokus pada kinerja sebagai alasan pertimbangan sebelum menjatuhkan pilihan. Dan Mukhlis selaku walikota saat ini, akan berupaya memastikan pemerintahan berjalan dengan baik sesuai dengan keinginan masyarakat di akhir masa kepemimpinannya.

Kemudian dengan luasnya perkembangan internet, masyarakat lebih banyak mengambil referensi terhadap perkembangan politik di daerahnya. Kampanye door to door, apalagi dilakukan oleh tim sukses, tidak lagi seefektif dulu. Saat ini media sosial dan arus informasi daring--yang mudah diakses dan dicari--memiliki peran vital.

Dalam pilkada DKI Jakarta, peran media sosial dan media daring, menjadi medan pertarungan opini publik yang "berdarah-darah". Para kandidat saling membentuk "pasukan siber" sebagai garda terdepan. Pilwako Pariaman 2018 tampaknya juga akan seperti itu.

Jika katakanlah pada akhirnya Mukhlis tidak mendukung Genius atau dalam arti kata mendorong calon lain, publik akan membandingkan hasil pembangunan saat Mukhlis berpasangan dengan Genius dengan saat ia berpasangan dengan Helmi Darlis periode 2008-2013. Hasil dari penilaian tersebut akan menentukan naik turunnya elektabilitas Genius Umar.

Lalu bagaimana jika seiring dengan berjalannya waktu pada akhirnya Mukhlis mendukung suksesi Genius---tidak peduli ia berpasangan dengan siapapun? Hanya kejadian luarbiasa yang bisa mendapuk Genius bersama istri dan keempat anaknya menghuni rumah dinas Mukhlis saat ini. Tanpa Mukhlis, Genius berpeluang menang, dengan dukungan Mukhlis, Genius akan melenggang. (OLP)
×
Berita Terbaru Update