Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Niat Baik Berubah di Tengah Jalan

5 Februari 2015 | 5.2.15 WIB Last Updated 2015-02-05T02:35:41Z
Oleh: H. Leonardy Harmainy, S.iP, MH, Dt. Bandaro Basa, Mantan Ketua DPRD Sumbar.



Kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) - Polisi Republik Indonesia (Polri) telah membuat sendi-sendi kehidupan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kian terasa rapuh. Kecintaan kita terhadap tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara sedang mendapat ujian berat. Harmoni antar lembaga negara sedang diterpa badai. Jika tidak hati-hati dalam penyelesaiannya.

Semua peristiwa yang akhir-akhir ini menyita perhatian publik, dimulai dari sikap dan tindakan pemimpin yang sering ceroboh, lupa dan berubah arah dari sebelum ia mendapatkan jabatan. Penyebabnya, lemahnya benteng moral yang menahan godaan hawa nafsu. Kelemahan ini memiliki hubungan erat dengan tingkat spiritualitas, keimanan dan ketaqwaan.


Bila kita ingin jujur, pemimpin-pemimpin yang sedang mendapat amanat dari rakyat untuk mengelola negara dan bangsa ini cepat lupa diri dan silau dengan kekuasaan. Inilah cacat awal yang membuat negeri ini menanggung resiko yang sangat besar; tertundanya perhatian untuk fokus meraih kemajuan demi kemajuan demi tercapainya tujuan luhur kehadiran negara, memakmurkan dan mensejahterakan rakyat.


Ada lima hal yang bisa dikemukakan terkait persoalan kepemimpinan dan persoalan kisruh di negeri ini.


Pertama, cacatnya moral pemimpin sudah diingatkan dalam ajaran agama. Amanat yang didapatkan berawal dari niat tulus suci untuk mengabdi di tengah jalan berubah karena godaan tahta, harta dan wanita.Kita melihat di balik semua kisruh itu, ada ambisi yang luar biasa untuk menjamah sendi-sendi NKRI yang memang memiliki sifat kekuasaan. Tarik menarik tidak terhindarkan. 


Adapun soal kasus, logika hukum, hanyalah gunung es yang tampak dari jauh. Di bawah hal-hal yang tampak itu betapa kekuasaan sedang saling adu kekuatan untuk saling menguasai.

Kedua, pada semua level kepemimpinan di negeri ini,selalu ada orang dekat yang membisik dengan bisikan yang hanya mementingkan hasrat kuasa dan harta. Sering sekali pemimpin tergelincir oleh ulah pembisik ini. Namun demikian yang paling sering justru persengkongkolan terjadi dengan mulus antara pemimpin yang ada di tahta dengan pembisiknya.


Tak salah kiranya Lord Acton (1834-1902), menyatakan, kekuasaan itu sesungguhnya jahat, tetapi dibutuhkan (power is devil but necessary). Sekecil apapun kekuasaan itu, kekuasaan cenderung disalahgunakan apalagi dengan kekuasaan absolute.Absolut pula penyalahgunaan yang dilakukan (power tend corrupts and absolute power corrupts absolutely).


Ketiga, sungguhpun seorang pemimpin mengetahui apa yang dibisikkan oleh pembisik tidak sesuai dengan hati nurani yang paling dalam namun ia tak mampu mengelak. Inilah yang membuat kepemimpinan  yang awalnya sangat baik berakhir dengan buruk. Jatuhnya wibawa kepemimpinan lambat laun akan menjatuhkan dirinya dari tahta yang ia duduki.


Keempat, ini paling penting. Kesadaran spiritual, keimanan, ketaatan terhadap agama, kesalehan individu yang mempengaruhi cara berpikir dan bertindak ke dalam kepemimpinannya. Pemimpin seperti ini kerap sekali tidak sabar bila menghadapi masalah. Ia tidak tenang, cakap, serta jernih berpikir dalam mengambil keputusan.


Kunci kepemimpinan itu tetaplah keyakinan atau keimanan kepada kekuatan Ilahiyah. Seseorang bisa kuat bila ia bersandar pada keadaan kekuatan keimanan. Namun keimanan juga membutuhkan ruang kesadaran yang tinggi terhadap apa yang sedang dikerjakannya. Barangsiapa mengenal dirinya (nafsahu) maka ia akan mengenal Tuhannya (Man 'Arafa Nafsahu Faqad 'Arafa Rabbahu), begitu kata hikmah dari para sufi yang sering diucapkan para cendikiawan kita.


Kelima, besarnya pengaruh materialisme dalam kehidupan juga tak luput memengaruhi sikap dan tindakan seorang pemimpin. Ini diingatkan dalam sebuah riwayat, cinta dunia dan sangat takut mati (HR. Abu Dawud). Karenanya, muncullah sikap rakus, menumpuk harta, mengamankan jabatan, serta ingin melanggengkan kekuasaan di tangannya selama-lamanya. Betapa ia takut mati dan  lepas dari nikmatnya kekuasaan tersebut, padahal tidak ada yang abadi di tangan manusia. Inilah yang kurang disadari.

 

Demi Masa Depan

Sebagai rakyat yang akan memilih para pemimpin setiap lima tahun sekali, kita harus terus belajar dan berkaca pada pengalaman ini. Kita jadikan pedoman di masa depan, sekalipun seseorang itu layak memimpin, belum tentu ia bisa bertahan dan tahan atas godaan yang makin besar. Seorang pemimpin akan sangat mudah merobah arah di tengah jalan, inilah bahayanya.

 
Karena itu, memilih pemimpin haruslah didahului dengan pengetahuan yang cukup atas jalan hidupnya, pengalaman kepemimpinannya, spiritualitas dalam kehidupannya, harus dilihat secara jeli dan kritis.


Kini memang, ada banyak cara para calon pemimpin menaikkan citra agar dapat dipilih, namun semuanya bisa saja semu. Kita harus mencari data pembanding sebelum menentukan pilihan. Kata kuncinya, jangan cepat percaya pada satu publikasi saja, carilah pembandingnya segera tentang seseorang calon pemimpin.


Jangan lupa, setelah memberikan kesempatan kepada pemimpin, kita tetap harus mengawasi sepak terjang kepemimpinannya. Kita di Minangkabau memiliki pepatah soal ini, seorang pemimpin hanya didahulukan selangkah ditinggikan seranting. Betapa dekat antara pemimpin dengan yang dipimpin. Jika salah jalan segera diingatkan.

Semoga negeri kita segera terbebas dari kisruh serupa di masa depan. Ini pengalaman berbangsa dan bernegara; niat baik harus tetap dijaga hingga sampai amanat yang dipikul sampai selesai dan menjadi pemimpin yang khusnul khatimah. Amin.(LH).
×
Berita Terbaru Update