Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Parlemen Halang Rintang

3 November 2014 | 3.11.14 WIB Last Updated 2014-11-03T14:43:45Z




Aslinya, parlemen dibentuk oleh kaum borjuis. Tujuannya untuk mempengaruhi proses pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh kaum bangsawan (darah biru) dan kaum feodal (pemilik tanah). Kaum borjuis merasa hanya berfungsi untuk mencari kekayaan dalam berbisnis. Namun, sama sekali tidak diberikan hak apapun untuk menentukan haluan negara (kerajaan). Demokrasi hadir pada tingkat ini.
Sistem kepartaian di Indonesia belum mapan. Praksisnya terlalu singkat, yakni dalam sistem kabinet parlementer sejak pemilu 1955-1959. Sebelum itu, perwakilan politik di kabinet hanya berdasarkan jatah-jatahan, tanpa pemilu. Dalam masa yang panjang, yakni sejak 1959 sampai 1999, sistem kepartaian timpang. Pengaruh negara terlalu kuat. Perwakilan politik di parlemen tak ubahnya dengan perwakilan kepentingan penyelenggara negara. 

Baru sejak 1999 perwakilan partai politik di parlemen menjadi lebih murni (puritan). Warna sistem multipartai begitu kuat. Walau partai-partai politik terus berdiri, ikut pemilu, atau hilang, kendalinya tetap berada di bawah sejumlah partai politik, terutama PDI Perjuangan dan Partai Golkar. Kedua partai ini memiliki jangkar dan akar politik yang relatif lebih kuat, dibandingkan dengan partai-partai politik lain. Walau Partai Demokrat pernah menang pemilu pada 2009, tetap saja tidak mampu untuk bertahan pada 2014.

Fenomena yang kini mulai muncul adalah parlemen mengalami posisi yang saling mengunci. Keterbelahan begitu nyata, yakni antara Koalisi Merah Putih (KMP) berhadapan dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Sampai sekarang, dua pimpinan parlemen dibentuk, disertai alat kelengkapan masing-masing. Publik sama sekali tidak menyukai fenomena ini. Sentimen negatif begitu terasa. Dua koalisi yang saling kunci itu disertai dengan munculnya mosi tidak percaya. Padahal, kalau diperhatikan, mosi tidak percaya adalah fenomena dalam sistem parlementer, bukan presidensial.

Keberadaan KMP dan KIH sebetulnya kurang menggambarkan kedaulatan anggota DPR itu sendiri. Yang berdaulat adalah partai politik masing-masing. Anggota tinggal mengikuti kemauan dari pimpinan fraksi masing-masing. Hal ini bisa berakibat kepada politik yang kian elitis, tidak lagi berdasarkan aspirasi anggota. Sebulan setelah dilantik, parlemen masih berada dalam “ruang politik pilpres”, yakni perseteruan antara kelompok yang berada pada pihak Jokowi-JK atau Prabowo-Hatta dalam pilpres lalu. Padahal, para elite politik di masing-masing pihak sudah sering bertemu secara terbuka. 

Padahal, tantangan yang dihadapi parlemen semakin berat, seiring dengan bangkitnya ranah social media sebagai batu ujian pertama peristiwa-peristiwa politik. Parlemen memerlukan legitimasi lebih, tidak lagi sekadar pengkritik pemerintah. Soalnya, sejak survei menjadi bagian penting dari proses pengambilan keputusan politik, kedudukan parlemen selalu lemah di mata publik. Kalau keadaan ini terus berlangsung, bukan keseimbangan politik yang tercapai, melainkan ketimpangan politik. Pemerintah menjadi lembaga yang kuat, akibat parlemen lebih sibuk dengan dirinya ketimbang berbincang tentang agenda-agenda publik yang luas. 

Publik masih dalam masa bulan madu dengan terbentuknya pemerintahan baru. Tetapi masa bulan madu selalu lebih singkat, dibandingkan dengan masa-masa untuk bekerja keras mempertahankan apa yang sudah ada. Dari sini, parlemen yang muncul sebagai halang rintang justru bakal memicu krisis politik yang liar. Krisis itu, kalau kita perhatikan, bisa kearah delegitimasi parlemen. Panggung politik tidak lagi berada di dalam sistem ketatanegaraan, melainkan diluarnya, dalam wujud parlemen jalanan. 

Semoga parlemen bisa menyadari ini sedini mungkin dan terus berusaha untuk memperbaiki kondisi yang tidak ideal sekarang... 

Indra Jaya Piliang
×
Berita Terbaru Update