Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Pencitraan Jokowi dan Prabowo

1 Juni 2014 | 1.6.14 WIB Last Updated 2014-06-01T13:01:38Z



Dua kandidat Pilpres Jokowi dan Prabowo sedang bersaing untuk merebut hati pemilih. Kandidat presiden  yang diusung Koalisi PDI-Perjuangan  Jokowi dan Prabowo, Koalisi Gerindra berupaya membangun citra (image) dengan branding yang berbeda dan saling mengejar posisi rating. Jokowi dengan aksi blusukan, sementara Prabowo mengarah pada karakterisasi Bung Karno sebagai  pemimpin. Timses Prabowo mengolah citra Prabowo sebagai pemimpin yang mirip Bung Karno. Atau dengan kata lain persepsi  Presidern Soekarno hadir dalam jiwa dan penampilan fisik Prabowo.


Sejak tahun 1999 di Indonesia politik pencitraan  menjadi fenomena baru sesuai dengan perubahan sistim politik. Pada era pemilu langsung atau sistim electoral persaingan timses untuk mendukung kandidat presiden dilakukan dengan menggunakan strategi kampanye yang terorganisir melalui medsos maupun media massa.


Terlebih setelah Presiden Amerika Serikat berhasil memenangkan Pemilu AS lewat media sosial,  taktik politik ini semakin popular di kalangan politisi dan aktivis politik.  Kampanye sebagai  gerak yang terorganisir untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan para pemilih memlalui media sosial maupun media profesional. Kampanye ini dilakukan dengan cara yang ssistematik, terukur dan massif menembus ke basis-basis politik  atau segment  politik yang menjadi target.


Habitat kampanye politik lewat media sosial, media online atau media virtual (dunia maya) selalu tampak mendorong pada dua sisi kutub penilaian-pencitraan. Citra positif kandidat presiden maupun citra negative kandidat presiden. Atau god news dan bed news lah yang melekat dalam pribadi tokoh yang diberitakan, dalam hal ini Jokowi dan Prabowo yang sedang bermain di dunia media massa maupun media dunia maya.


Pencitraan di dunia maya adalah representasi dari dunia realitas yang mudah dibaca. Atau sebaliknya. Memang, seringkali pencitraan dianggap hanya manipulasi public yang dikelola  untuk kepentingan politik sesaat.  Resikonya, masyarakat  yang tidak rasional dalam memahami realitas politik yang real akan mudah tertipu oleh aktivisme dunia maya. Oleh karenanya,  pemahaman terhadap calon-calon presiden yang dipentaskan atau yang didorong terus untuk maju ke gelanggang politik sangat dibutuhkan. Kejernihan untuk memahami Jokowi dan Prabowo dalam reaalitas sehari-hari, kehidupan nyata menjadi faktor -faktor  pembanding atau tolok ukur. Apakah pencitraan ini dilakukan dengan benar atau hanya sekedar manipulasi publik?


Nah,  Jokowi sebagai kandidat yang sering mendapatkan serangan pencitraan buruk dari kompetitornyaperlu kiranya meletakan persoalan ini secara apa adanya. Latar belakang Jokowi yang dikenal sebagai ‘tukang kayu’ menjadi bagian nyata kehidupan  masyarakat  kelas bawah—kategori kemiskinan.  Bagi Jokowi, boleh  jadi  pencitraan media social atau media massa merupakan  wisdom,  kearifan untuk  menyapa rakyat dengan bahasa manusiawi sangat dibutuhkan ketika manusia hanya dicitrakan sebagai mesin—bagian dari industri.


Blusukan adalah bahasa batin yang menyentuh rasa manusiawi ketika pedagang kecil, pedagang tradisonal, pedagang dalam barisan termarjinalkan tergusur dalam proses –proses industri besar. Pasar modern lebih menarik daripada pasar tradisional bagi elit negeri.


Sekali lagi bagi Jokowi blusukan hanya kelanjutan hidup dalam memahami jiwa masyarakat untuk menemukan solusi bijak yang tepat. Blusukan yang dilakukan Jokowi  dengan luwes, dan spontan membuktikan adanya factor alami dalam kepribadian Jokowi untuk bersahabat dengan rakyat.

Jokowi sebagai pemimpin yang dilahirkan melalui  proses panjang kehidupan yang penuh suka duka, blusukan hanyalah konsistensi bagian dari hidupnya selama ini, yangrendah hati, sederhana, tegas dan bijak.


Lain halnya, dengan orang kaya yang dipaksa untuk tampil memerankan adegan pencitraan sebagai orang miskin.  Penampilan orang yang berusaha menyapa petani, pedagang, rakyat biasa, tentu terlihat canggung, tidak spontan, dan artificial, mengada-ada. Karena selama hidupnya tidak terbiasa dengan  penderitaan.  Pencitraan diri kandidat presiden yang sedang bersaing  utnuk mendulang suara terbanyak berdampak besar bagi elektabilitas. Sosok yang menginginkan popularitas  untuk berkuasa bisa terjungkal jika salah langkah  dalam mencitrakan dirinya. Jadi, citra blusukan Jokowi terkesan alami, sementara Prabowo terkesan sinteron.


Kedua kandidat tersebut memang memiliki cara yang berbeda. Blusukan  Jokowi  sedangkan kepemimpinan Prabowo . Prabowo  mantan Pangkostrad tampil ke publik dengan retorika yang mengebu – gebu, bahasa Inggris yang terkesan lancar  serta foto Prabowo berkuda layaknya kesatria berkuda menjadi merek  branding untuk mencuri hati pemilih.


Prabowo digambarkan sebagai  pemimpin tegas, namun sisi lain dari kultur militer yang biasa mengikuti atasna cenderung tidak kreatif dalam menyelesaikan persoalan. Prajurit loyal tetapi tanpa kreatifitas tidak bisa menyelessaikan masaslah. Ini, sudah terbukti di era Presiden SBY.  Boleh saja Prabowo tampil sebagai pemimpin, namun belum tampak adanya kreatifitas kepemimpinan.


Selain itu,  isi pesan kampanye retorika Prabowo dinilai membuai masyarakat dengan memberikan  harapan. Sementara fakta lain menunjukkan bahwa   masyarakat Indonesia sudah terhitung melek politik, politik bukan lagi menjadi barang yang dirahasiakan.


Dengan kata lain,  pencitraan politisi Prabowo saat ini lebih kepada Strategi Challenger lebih kepada menunjukan kegagalan – kegagalan kebijakan pemerintah dan persaingan meraih kursi presiden.  Pembentukan opini publik  yang dilakukan melalui media massa dengan target citra atau kemenangan mesti dihadapakan pada sifat kritis masyarakat (pembaca), sehingga masyarakat tidak menjadi korban manipulasi publik kampanye presiden.
×
Berita Terbaru Update