Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Jokowi: Lonely on The Top

12 Juni 2014 | 12.6.14 WIB Last Updated 2014-06-12T05:24:45Z



Pada akhirnya saya bertemu dengan Jokowi. Pertama kalinya adalah saat di malam hari saya ada keperluan ke Jalan Lembang. Itu bertepatan dengan hari terakhir Jokowi menjalankan tugas sebagai Gubernur DKI Jakarta dan kemudian cuti. Dari atas mobil, saya melihat Jokowi berjalan dari Taman Suropati, dikerubuti oleh para wartawan yang ingin mendapatkan seucap-dua ucap kata darinya. Jokowi tanpa pengawalan, terdesak, sampai ke batas pagar halaman rumah dinas Gubernur DKI Jakarta yang dia hendak tinggalkan. Saya memotretnya dari atas mobil. 

Kedua kalinya adalah tanggal 03 Juni 2014. Pagi-pagi saya dihubungi Akbar Faisal, politisi dan anggota DPR terpilih dari Partai Nasdem. Saya diminta datang ke Hotel Bidakara. Dari Jalan Jenggala II, saya meluncur ke Hotel Bidakara. Suasana sudah ramai. Lama saya menunggu di bagian bawah, lalu naik jalan kaki ke lantai atas. Saya mencari ID Card, tetapi tak dapat. Bertemu dengan sejumlah politisi, termasuk dari Partai Golkar. Saya juga lihat Andi Widjojanto, seorang kawan yang sudah lama kenal, sekretaris Timkamnas Jokowi-JK. JK ternyata sudah datang, Jokowi belum.
Ketika Jokowi masuk, saya mengikuti dari belakang. Ia langsung dikerubungi wartawan. Jokowi diam saja, tak berkomentar apapun. Nah, dalam kesempatan itulah saya menyodorkan tangan, mengajak bersalaman. Jokowi menoleh. 

“Saya Indra J Piliang, Pak,” kata saya. 

“Oh, Pak Indra, terima kasih, ya. Terima kasih,” katanya, sambil memegang tangan saya erat. 

Lalu kami masuk ke ruangan, tapi dioper lagi ke ruangan VVIP. Pak JK sudah ada di dalam. Sementara, ruang VVIP satu lagi dihuni oleh Prabowo – Hatta Rajasa. Di ruang itu bertemu dengan banyak kolega, mulai dari Bambang Widjojanto dari KPK RI, Nur Hidayat Sardini dari DKPP, Juri Ardiantoro dari KPU, Prof Jimly Assidiqque, juga sejumlah politisi. Karena sudah lama tak berjumpa, kami mengobrol. Yang paling asyik adalah diskusi dengan Bambang Widjojanto. Dulu kami bergabung dalam Koalisi Konstitusi Baru. BW merobek kertas kosong, lalu dituduh Amien Rais merobek naskah konstitusi. Meja kami lebih heboh dari meja Jokowi yang duduk bersebelahan dengan Pak JK.

Lonely On The Top


Saya mencoba memperhatikan Jokowi. Bahkan ketika saya salaman dengan Pak JK, Jokowi kembali mengucapkan terima kasih. Ketika Prof Jimly Assidiqque mengatakan bahwa tubuh saya lebih kurus, saya mencoba menunjuk Jokowi dengan kedua belah tangan: “Agar jangan hanya Pak Jokowi yang dibilang kurus, Prof.” Jokowi terlihat tenang -- atau tegang-- entah tersenyum, entah nyengir. Ada beberapa orang yang berbisik kepada Jokowi, termasuk Tjahjo Kumolo. 


Saya mencoba mencairkan suasana dengan meminta orang untuk memotret saya. Pak JK lagi berbicara di telepon dengan relawan dari Batam, Kepulauan Riau. Sambil berbicara, Pak JK memegang tangan saya. Pak JK juga sempat memberikan telepon kepada Pak Jokowi. Pak Jokowi saya dengar memberikan selamat kepada relawan dan berterima kasih. 

Waktu Pilpres 2009, ketika kampanye damai digelar, saya sempat memberikan pantun kepada Pak JK. Waktu itu pantun datang dari Kalbar. Pak JK mengubah isi pantun itu. Saya masih ingat, Pak JK mengacungkan jempol ke saya, setelah menyampaikan pidatonya yang disambut meriah itu.
Saya langsung mengajukan usulan ke Pak JK.

"Pak, mau baca pantun lagi?”

Pak JK langsung menunjuk dengan tangan dipendekkan ke arah Jokowi. Saya menangkap maksudnya, bahwa Jokowilah yang akan menyampaikan pidato. Selain itu, tanpa harus berkata-kata, Pak JK sepertinya ingin mengatakan kepada saya: “Yang Calon Presiden itu Pak Jokowi.”
Sayang, saya tidak mengambil kesempatan ketika bangku di sebelah Jokowi kosong. Kawan lain mengisinya. Saya tidak sempat membicarakan soal pidato. Malahan, saya berdiskusi soal debat-debat di televisi. Kebetulan yang hadir adalah politisi lintas partai yang banyak tampil di televisi sebagai Tim Debat, seperti Akbar Faisal (Partai Nasdem), Yuddy Chrisnandi (Partai Hanura), Hanif Dhakiri dan Marwan Ja'far (PKB), serta Tjahjo Kumolo (PDI Perjuangan). Sejumlah tips debat yang saya pelajari dari Pak JK saya sampaikan. 

Pak Jokowi hanya diam saja. Mungkin bingung dengan keakraban kami, politisi lintas partai. Atau memang sedang memikirkan sesuatu. Ia seperti seorang pertapa yang berada di keramaian. Ada sejumlah orang yang berbisik kepadanya, berbicara, dijawab seperlunya. Ada seorang kawan yang belajar ilmu psikologi bilang ke saya, kondisi seperti ini memang bisa dihadapi oleh orang-orang yang sedang berada di posisi puncak. Lonely on the top, istilahnya. Jokowi adalah seorang pecinta alam, pendaki gunung seperti Soe Hok Gie dan Herman Lantang. Jangan-jangan, Jokowi lebih merindukan gunung dalam keadaan seperti itu, ketimbang berada di keramaian.

Atau bisa jadi Jokowi itulah gunung itu. Gunung yang siap meledak. Ia seperti menahan sesuatu dan tak ingin mengeluarkannya di depan sekelompok orang yang kini menjadi bagian dari Timkamnas Jokowi-JK. Ia belum membaur. Interaksi sama sekali tak berlangsung dalam suasana cair.

Pidato Patah


Kami dipanggil pihak KPU untuk segera memasuki ruangan acara. Suasana langsung hangat. Masih ada diskusi soal Salawat Badar, akibat pernyataan Perang Badar yang dikatakan Amien Rais. Saya sudah menjelaskan tafsiran yang disampaikan Dradjat Wibowo, bahwa konteks pernyataan Perang Badar Amien rais itu adalah menghadapkan dengan Perang Uhud. Artinya, soliditas tim, bukan dalam artian satu pihak adalah Muslim, pihak lain adalah Kafir. 


“Tapi mestinya tak disampaikan di depan umum. Untuk doktrin tim, boleh-boleh saja,” kata Pak JK menimpati. Pak Jokowi sama sekali tak menyampaikan pendapatnya. 

Suasana di dalam ruangan sudah heboh. Dari sisi pendukung, kelompok Jokowi-JK lebih berwarna. Tim yang dibawa bersemangat, terus bernyanyi, melambaikan bendera merah putih, bahkan juga semacam lampu suar berwarna kuning dan orange. Saya lihat ada Rieke Diah Pitaloka juga, adik kelas saya dulu di Fakultas Sastra UI. Di bagian pendukung Prabowo Hatta, saya lihat ada Fuad Hassan Mansur, Mahfud MD dan lain-lain. Sungguh suatu “medan tempur” antar kawan dan sahabat. Dulu, yakni dalam Pilpres 2004 dan Pilpres 2009, beberapa yang berada di barisan kiri, adalah bagian dari barisan kanan. Begitu juga sebaliknya. Apakah suasana ini akan terjadi lagi tahun 2019 nanti, sebagian orang berpindah-pindah barisan? 

Hanya Jokowi yang menggunakan baju kotak-kotak. Tidak ada tim lain yang pakai baju serupa. Suasana kebatinan lonely on the top itu terbangun sudah. Seluruh Timkamnas sudah pakai baju putih, baik sebelah kanan, maupun sebelah kiri. Terus terang, saya agak kaget ketika menyaksikan di televisi soal pergantian baju putih menjadi baju kotak-kotak. Padahal, sepanjang menjadi Gubernur DKI Jakarta, setiap hari Jokowi memakai baju putih, bukan baju kotak-kotak. Jokowi-Ahok hanya pakai baju kotak-kotak ketika kampanye Pemilihan Gubernur DKI pada tahun 2012. 

Saya langsung sadar, Jokowi memang sengaja menjadikan baju kotak-kotak sebagai baju zirrahnya, sebagai baju “perang”. Masalahnya, Pilpres bukanlah perang, hanya sekadar pertempuran politik dengan mengumbarkan kata-kata ke seluruh Nusantara. Bukan perang, tapi pertempuran kata-kata. Kata dibalas kata, kalimat dibalas kalimat. Masalahnya, ketika maju di DKI Jakarta, baju kotak-kotak itu adalah simbol pasukan dan pimpinan pasukan. Lalu ada narasi dan makna atas kotak-kotak itu. Otak dibalik semua pertempuran itu adalah Hassan Nasbi, adik kelas saya di FISIP UI. Saya tidak tahu, kemana Hassan sekarang.

Narasi soal kotak-kotak itulah yang tak terbaca publik. Juga, lebih-lebih, pasukan kotak-kotaknya tak satupun di barisan. Yang ada hanyalah baju putih di kedua-belah pihak. Apakah ini perang antara Jokowi dengan seluruh warna putih yang ada di kedua belah pihak? Apa makna yang hendak disampaikan Jokowi selain hanya soal diferensiasi? 

Lalu, muncullah pidato itu. Sejak awal, jarang ada tepuk tangan. Lalu muncul sejumlah tepuk tangan, ketika Jokowi mengatakan “pemilu adalah perayaan atas kegembiraan”. Ya, masalahnya, Jokowi tak nampak gembira, ketika menyebut kata “gembira” itu. Bahkan, Jokowi sama sekali tak balas memuji Prabowo-Hatta yang berkali-kali memuji Jokowi-JK. Padahal, saya sudah minta seseorang mendekati Andi Widjajanto dan Tjahjo Kumolo untuk membalas pujian  itu, dengan menceritakan pertemuan antara Jokowi dengan Prabowo-Hatta selama ini, bahkan sejak Pilgub DKI. 

Dan Jokowi mengakhiri pidatonya, ketika saya dan hadirin masih berharap ada sesuatu yang hendak disampaikan lagi. Saya sudah pernah mendengar pidato Prabowo Subianto pertama kali tahun 2003 di Lombok, NTB, ketika maju sebagai peserta Konvensi Nasional Partai Golkar. Dalam proses konvensi itu, Prabowo dikalahkan oleh Wiranto, Akbar Tandjung, Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Wiranto yang memenangkannya di babak final. Prabowo hanya sampai di babak perempat final. Jadi, minimal sudah sebelas tahun tahun Prabowo mengatasi kegugupannya di atas panggung. Sementara Jokowi? Baru memulai dalam dua acara di KPU.

Saya bahkan ingat, tidak ada kampanye terbuka di Pilgub DKI yang menampilkan Jokowi berpidato. Jokowi hanya bertemu dengan 15.000 relawannya yang tersebar di 15.000 TPS. Begitupula dalam acara-acara sejak menjadi Walikota sampai Gubernur DKI Jakarta, Jokowi jarang berpidato. Jokowi terbiasa memberikan wawancara singkat kepada wartawan. Bahkan, Jokowi tidak banyak berbicara, hanya wartawan menceritakan apa saja yang dilakukan Jokowi, baik dalam bahasa tulisan, maupun foto dan video. 

Saya belum mendengar adanya letusan dari gunung api yang mungkin ada di dalam dada Jokowi. Kalaupun suatu saat meletus, saya berharap, isinya adalah kelembutan, welas asih dan kemanusiaan Jokowi. Semoga saja...

Bersambung...


Catatan Indra Jaya Piliang
×
Berita Terbaru Update