Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Ustadz Seleb, Infotainment dan Bisnis Hiburan

8 Mei 2014 | 8.5.14 WIB Last Updated 2014-05-08T13:41:22Z


Infotainment memang hanya mengenal 1 kredo : rating! Karena itu tak heran jika kadang tak mengenal belas kasihan. Pesohor yang sedang berduka karena keluarga terkasih meninggal dunia, tetap diburu untuk wawancara. Anak seleb kecelakaan, pewarta infotainment agar berjaga 24 jam di lobby rumah sakit, bila perlu di depan ruang perawatan. Selebriti yang rumah tangganya sedang guncang, tak diberi ruang untuk merenung sendiri, sebab kamera dan microphone infotainment akan terus merekam, mencari tahu dan menelisik ada apa di balik itu. Pipik Dian Irawati (istri mendiang Uje), Maia Estianti dan Ayu Tingting hanyalah segelintir contoh betapa infotainment seolah menguntit sampai ke kamar tidur mereka.

Info + tainment, paduan informasi dan entertainment, meski terkadang nilai informasinya hanya 10% - 20% saja, selebihnya hanyalah entertain. Jupiter Fortissimo yang menjadi narasumber di acara ILC pekan ini, mengeluhkan betapa infotainment telah salah mengemas pengakuannya soal trauma masa kecilnya dulu ketika mengalami sexual abuse dari seorang “opa” yang dipercaya untuk mengasuhnya. Niat baik Jupiter membuka sisi kelam masa kanak-kanaknya tak lain untuk mengingatkan para ortu agar tak mudah mempercayakan anak mereka ke tangan orang lain, juga untuk memotivasi orang yang dimasa kecilnya pernah menjadi korban paedofilia, agar bisa bangkit, melawan trauma dan keluar dari stigma bahwa korban paedofili akan jadi pelaku pedofili juga. Namun apa yang disajikan infotainment? Justru sisi gosip sensasional yang lebih mengemuka. Akhirnya, pesan positif yang hendak disampaikan Jupiter pun hilang.

Infotainment lebih menitikberatkan pada meng-entertain rasa ingin tahu penonton, menghibur masyarakat yang haus akan issu sensasional meski hanya berupa kasak-kusuk berdasar “katanya”. Kerap infotainment jadi “senjata makan tuan” bagi presenternya, seperti ketika Cut Tari yang biasa jadi biang gosip – penyampai berita gosip selebriti – harus merasakan perihnya digunjing media infotainment, sekitar 3 tahun lalu ketika videonya bersama Ariel beredar di internet.

Begitulah infotainment, yang membesarkan sekaligus memurukkan figur seorang pesohor. Karena infotainment-lah Kris Dayanti pemenang kontes vokal, dilambungkan menjadi seorang diva pop di pertengahan tahun ‘90an. Namun infotainment pula yang menguliti rahasia rumah tangga KD dan mem-blow up adegan ciumannya dengan Raul Lemos (yang saat itu belum jadi suaminya), hingga masyarakat marah sampai-sampai terbentuklah fanpage “Say No to Kris Dayanti” di FB pada 2010 lalu, tanpa mempedulikan perasaan anak-anak KD yang saat itu masih usia SD. Infotainment yang memberikan gelar “diva”, infotainment pula yang mencopotnya ketika popularitas sudah memudar. Semua atas nama uang, demi apa yang disebut “rating” – ‘tuhan’ yang menentukan kemana pemasang iklan berkiblat – hingga tak tersisa empati apalagi simpati.

1399536706403221879
Dengan penampilan dan dandanan seperti ini sudah cukup untuk menambahkan gelar ustadz meski belum ditelisik sejauh mana kemampuannya mengajarkan agama (foto : www.hepinews.com)

Bukan hanya artis panggung hiburan, namun juga olahragawan, politisi, hingga tokoh spiritual, bisa diciptakan citranya oleh media infotainment. Infotainment bisa mengubah seorang dukun dan cenayang, jadi selebriti yang biaya konsultasinya bertarif mahal, jadi rujukan para pesohor untuk menanyakan peruntungan di awal tahun. Sebut saja Ki Joko Bodo, Ki Kusumo dan Ki Ki lainnya yang laris manis jadi peramal nasib sampai masa depan negeri, bahkan keberadaan MH370.

Begitupun yang terjadi pada Ki Cilik Guntur Bumi yang punya nama asli Susilo Wibowo, seorang paranormal yang sudah lama berpraktek “perdukunan” dan cenayang, yang kemudian populer setelah tampil di sebuah TV swasta dalam acara memburu dan mengusir hantu. Pemirsa dihipnotis kekaguman pada kelihaiannya mengusir hantu, padahal siapa yang bisa membuktikan? Benarkah hantunya sudah terusir atau sejak semula memang tak ada hantu? Tapi pemirsa TV sudah terhipnotis, percaya sepenuhnya seorang pria muda berwajah lumayan dengan jubah dan sorban putih itu memang piawai mengusir hantu. Rapalan mantra yang keluar dari mulutnya pun dipercaya betul adalah sesuai ajaran Islam – yang seakan otomatis diidentikkan dengan pakaian Guntur Bumi. Dan…, entah bagaimana mulanya sang dukun ini pun tiba-tiba bergelar ustadz. Infotainment tiba-tiba saja menyematkan gelar itu di depan namanya. Lalu, seperti latah, masyarakat pun ikut menahbiskannya sebagai ustadz.

Namanya juga dukun, meski gelar ustadz telah disematkan, praktek perdukunan berkedok pengobatan tetap dilakukan. Semua penyakit, apapun itu, selalu divonis “dibuat orang”, “kiriman orang”. Bukankah ini menyulut permusuhan di masyarakat? Orang yang disugesti mendapat kiriman penyakit dari musuh/orang yang membencinya, akan berpikir : kira-kira siapa yang melakukan itu pada saya? Mulailah pikiran negatif mereka-reka, permasalahan apa yang sedang dihadapi yang bertentangan dengan orang lain. Jika kebetulan penderita sakit pernah punya konflik dengan tetangga/ teman/ kerabat, maka kecurigaanpun akan mengarah ke sana. Inilah “dosa” ikutannya : menimbulkan perpecahan dan fitnah di masyarakat.

Apapun penyakitnya, selalu saja keluar ulat-ulat, belatung, kecoa, kalajengking dan aneka benda lainnya dari bagian tubuh yang sakit. Anehnya, semua itu dilakukan di dalam kamar gelap gulita. Atau, pasien diminta melepas alas kaki, lalu berjalan dan seperti merasakan sensasi terkena kejutan listrik (stroom). Kedua trik itu – keluar ulat dan terkena stroom – telah ditelanjangi oleh salah satu TV swasta. Nyata benar semua itu hanya tipuan kelas tukang sulap pinggir jalan yang hanya membutuhkan kecepatan tangan. Apalagi jika dibantu kondisi gelap gulita, tentu lebih mudah lagi.


1399536834351169202
Guntur Bumi memamerkan motor gede miliknya (foto : adibsusilasiraj.blogspot.com)

Kini, sang ustadz besutan infotainment itu pudar popularitasnya. Ia justru dikejar-kejar mantan pasien yang merasa tertipu dan minta uangnya dikembalikan, dijerat dugaan penipuan dan pencurian, dituduh melakukan pelecehan seksual, seolah semua kebobrokannya terbuka. Lalu bagaimana infotainment? Sederhana : blow up kasusnya! Pojokkan sang ustadz, wawancarai para korban dan pelapor, pokoknya infotainment tinggal ikut arus saja menenggelamkan sosok yang dulu dipoles dari dukun menjadi ustadz, kini ditelanjangi lagi bahwa dia tak lebih dari sekedar dukun. Kejam? Itu resikonya dibesarkan infotainment. Kini, setelah ketahuan dia bukanlah “ustadz” seperti dicitrakan selama ini, infotainment pun menanggalkan sebutan “ustdaz” di depan namanya.

Guntur Bumi bukan satu-satunya “ustadz” besutan infotainment yang kemudian menjelma jadi selebriti, lengkap dengan gaya hidup “ngartis”nya. Sebelumnya ada Solmed yang pernah di blow up habis rencana pernikahannya, dikuntit kemana saja ia pergi mempersiapkan pesta pernikahan, kemana bulan madu, dll. Kebetulan yang bersangkutan sepertinya juga senang dengan pemberitaan berbau pamer seperti itu. Belakangan, ketika terjadi konflik dengan BMI Hong Kong soal mahalnya tarif, infotainment pula yang rajin mengulas dan nyinyir mengkritisinya. Kini, ada lagi “ustadz” Fulan yang menikah dengan pesinetron Anu, menggelar pesta mewah bergaya India, membuat video clip, dll. Suatu saat kelak, jika si “ustadz” tergelincir, maka itulah saat tepat bagi infotainment untuk menjadikannya sasaran empuk gosip murahan yang dalam waktu singkat akan memurukkan popularitasnya.

13995369311161684078
Salah satu ustadz seleb yang kerap mengundang kontroversi karena gaya hidupnya (foto : live.viva.co.id)

JANGAN MUDAH TERGIRING GELAR USTADZ PEMBERIAN MEDIA

Belajar dari kasus Guntur Bumi atau Solmed, ada baiknya masyarakat tak lagi mudah begitu saja menyematkan gelar ustadz. Memang, arti harfiahnya adalah GURU. Tapi apakah semua guru dipanggil ustadz? “Ustadz” berkonotasi dengan guru yang mengajarkan ilmu agama Islam. Sebelum bisa mengajarkan ilmu agama, semestinya seseorang telah menamatkan berguru ilmu agama. Tidak bisa dadakan menjadi ustadz tanpa pernah berguru. Mari kita cermati, umumnya ustadz besutan infotainment memiliki beberapa ciri seperti berikut :

1. Instant dan punya kriteria selebriti.

Mendadak populer karena diorbitkan suatu program acara televisi, termasuk ajang pencarian bakat, menjadi pelakon di sinetron (yang katanya) religi, pengisi acara “waisting time” saat sahur di bulan Ramadhan, dll. Umumnya mereka juga punya kelebihan lain : good looking!

Ustadz seperti ini jarang diungkap rekam jejaknya, sejak kapan dan dimana ia berguru agama.

2. Suka jika di-ekspose kehidupan pribadinya.

Ustadz seleb umumnya sangat welcome dengan acara infotainment dan pemberitaan tabloid. Mereka tak keberatan dikorek sisi kehidupan pribadinya sampai ke hal-hal kecil yang bersifat sangat duniawi. Semisal memilih baju dan aksesoris, menentukan tujuan wisata, aktivitas selama liburan dan berbagai acara pesta/hajatan lainnya, yang ujung-ujungnya justru mengarah pada riya’ dan pamer semata.

13995370341588617687
Solmed pernah diributkan karena tarifnya yang kelewat mahal dan tuntutan fasilitas selangit yang harus disediakan pihak yang mengundang (foto : kapanlagi.com)

3. Mengelola dakwah ibarat bisnis hiburan/pertunjukan.

Ustadz seleb umumnya menjadikan acara dakwah menjadi satu paket “panggung pertunjukan”. Karena itu mereka perlu tahu betul dimana acara digelar, di gedung apa, berapa kapasitasnya, siapa saja hadirin yang diundang, berapa lama durasinya, bagaimana setting acara, perangkat audio visualnya, dll. Bahkan ada pula yang menyediakan paket komplit dengan event organizer yang dikelola tim manajemen sang “ustadz”. Bahkan untuk meminta ustadz seleb jadi pembicara pun harus melalui manajer yang akan mengatur waktunya, menentukan tarif dan dukungan fasilitas akomodasi yang wajib disediakan pengundang. Mulai dari tiket pesawat pp kelas bisnis, penginapan di hotel berbintang, penjemputan dari bandara ke lokasi acara dengan kendaraan jenis tertentu (misalnya tak mau kendaraan niaga), fasilitas pengantaran jika sang ustadz seleb hendak berkeliling kota di tempat yang mengundangnya. Tak jauh beda dengan mengundang artis untuk manggung.

4. Memilih menyampaikan hanya hal-hal apa yang disukai jamaah.

Ustadz seperti ini sangat menjaga popularitasnya, karena itu “disukai” jamaah adalah faktor penting bagi mereka. Karenanya ustadz seleb cenderung lebih suka melucu, asal pendengarnya senang. Mereka lebih mengedepankan tujuan “menghibur”. Berkonfrontasi – apalagi sampai berbenturan dengan penguasa – adalah hal yang paling dihindari jika ingin disukai semua pihak. Padahal, kebenaran seringkali ibarat pisau tajam yang melukai pihak tertentu yang menyimpang dari kebenaran. Bagi para penyampai kebenaran adalah mustahil disukai semua pihak. Akibatnya, karena keinginan untuk disukai dan tetap populer, ustadz seleb lebih memilih topik popular yang ringan-ringan saja dan tak berani mengkritisi kondisi menimpang.

5. Bergaya hidup mewah, jauh dari zuhud dan wara’

Ustadz seleb – namanya juga selebritis, pesohor – maka gaya hidupnya pun tak beda jauh dengan para pelakon dunia hiburan yang gemerlapan. Mereka sama sekali tidak sungkan memamerkan kekayaan yang dimiliki, hobby koleksi benda-benda mahal, mobil mewah dan meriahnya pesta pernikahan. Ini sangat bertentangan dengan ajaran agama yang menganjurkan untuk zuhud (meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat untuk kepentingan akhirat) dan wara’ (meninggalkan apa-apa yang mendatangkan mudharat untuk kepentingan akhirat).

1399537155107585777
Semua sisi kehidupan ustadz seleb tak luput dari incaran media. Bahkan berbelanja baju pun disiarkan (foto : www.youtube.com)

Ustadz yang tumbuh besar bersama masyarakat, merekalah yang mendatangi ummat tanpa menunggu diundang. Melihat suatu daerah yang warganya dekat dengan kemelaratan dan kemaksiatan, merekalah yang berinisiatif membina, tanpa terpikir bayaran, bila perlu mengeluarkan uang demi jamaah binaannya. Mereka tidak hidup bermewah-mewah untuk dirinya sendiri.

Saya punya kenalan seorang ustadz di Surabaya yang sudah kondang dengan jamaah pengajiannya, sesekali beliau diundang mengisi ceramah agama di stasiun TV lokal. Saya pernah ke rumahnya 2-3 kali. Rumahnya biasa saja, ukurannya tak besar, halamannya juga tak luas, perabot di dalamnya tak ada yang istimewa. Rak buku yang penuh dengan buku agama memenuhi dinding ruang tamu. Setiap hari Minggu usai Subuh, beliau mengisi pengajian rutin di Sidoarjo. Sekali waktu, Sabtu malam usai Isya beliau diminta mengisi pengajian di Mojokerto. Usai tausiyah dan melayani pertanyaan jamaah, hari sudah larut malam dan hujan pula. Sementara beliau hanya naik motor, ya motor biasa, bukan moge. 

Karena teringat esok sebelum Subuh harus sudah berangkat ke Sidoarjo, beliau pun mempercepat laju motornya menembus pekatnya malam. Mungkin pandangannya terhalang curah hujan yang deras, beliau menabrak sebuah mobil bak terbuka yang parkir di pinggir jalan. Malam itu juga, beliau berpulang ke Rahmatullah sebelum tiba di RS. Kalau saja beliau kaya, punya mobil dan sopir pribadi, mungkin kejadian naas itu tak terjadi. Tapi itulah ustadz yang sebenarnya, kondisinya kontras dengan ustadz seleb. Semakin dalam ilmu agamanya, semakin zuhud hidupnya.

13995373502119258651
Hariri yang menghebohkan karena menginjak kepala petugas sound system (foto : www.jadi1.com)

Semoga masyarakat belajar dari fenomena ustadz seleb, agar tak mudah ikut menahbiskan gelar ustadz pada sosok yang lebih tepat disebut selebriti ketimbang ustadz. Sebab sudah banyak bukti mereka lebih mengedepankan popularitas ketimbang dakwah. Ujung-ujungnya, “ustadz” besutan infotainment itu justru memalukan karena kelakuannya jauh dari ajaran agama.

Catatan Ira Oemar
×
Berita Terbaru Update