Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

IJP: Mengapa Saya Mendukung JK

26 Mei 2014 | 26.5.14 WIB Last Updated 2014-05-26T12:30:48Z




Banyak yang bertanya kepada saya, apakah alasan saya mendukung Jokowi-JK disebabkan oleh hubungan yang baik antara saya dengan Pak Jusuf Kalla? Tidak mudah menjawab pertanyaan sederhana itu. Sebuah latar belakang, barangkali bisa memberikan jawaban. Walaupun tidak semua hal bisa dijelaskan secara gamblang. 

Ketika memutuskan bergabung dengan Partai Golkar, orang yang paling mempengaruhi saya adalah ayah saya: Boestami Datuak Nan Sati. Ayah sebetulnya tidak menyukai saya terjun ke dunia politik praktis. 

“Yaya sudah senang, bisa terbang kemanapun, muncul di televisi, menulis di mana-mana. Tapi kalau memang Yaya mau masuk partai politik, ayah sarankan masuk Partai Golkar. Hanya Partai Golkar yang memiliki konsep pembangunan dan pernah menjalankannya, walau tidak semuanya berhasil dengan baik,” begitu penjelasan ayah saya. 

Sudah beberapa kali utusan Pak Jusuf Kalla menitipkan pesan kepada saya, apakah saya bersedia bergabung menjadi salah seorang calon anggota DPR RI periode 2009-2014. Dan berkali-kali juga saya menolak. Dalam kesempatan yang sama, sekitar 1,5 tahun, saya juga didekati oleh Maruarar Sirait dan Pramono Anung untuk bergabung dengan PDI Perjuangan. Kami beberapa kali bertemu di Grand Hyatt dan tempat-tempat lain. Ketika saya memutuskan bergabung dengan Partai Golkar, 

Maruarar dan Pramono mengucapkan selamat. Begitupula dengan Zulkifli Hassan, Sekjen Partai Amanat Nasional. Secara khusus Zul “menitipkan” saya kepada Ferry Mursidan Baldan: “PAN menitipkan Indra di Partai Golkar,” katanya. Dengan Anas Urbaninggrum saya juga dekat. Ia menyindir saya dengan halus, ketika tidak memilih Partai Demokrat, melainkan Partai Golkar.

Pergaulan saya memang sangat luas. Lintas partai politik, lintas organisasi non pemerintah, begitu juga lintas keahlian. Sebagai analis politik dan perubahan sosial, kolomnis, seminaris, dan lain-lainnya, saya bertemu dengan banyak kalangan, baik politisi, pengusaha, mahasiswa, ilmuwan, sampai aktivis dan jurnalis. Waktu saya terisi penuh, hampir tiap pekan keluar kota.

Begitulah, saya akhirnya berjibaku dengan pencalonan saya sebagai anggota DPR RI dalam waktu singkat. Saya terjun ke dapil selama delapan bulan, termasuk dengan naik ojek. Saya juga jatuh sakit, gejala tipus, saking sibuknya “blusukan”, istilah yang terkenal sekarang. Perolehan suara saya lumayan, 26.599, namun tidak cukup membantu teraihnya dua kursi di dapil saya. Nudirman Munir yang akhirnya masuk dengan suara mencapai 31.000 lebih.
***
Dalam fase kepengurusan DPP Partai Golkar, saya diajak Rizal Mallarangeng bergabung. Padahal, dalam dua kesempatan, baik Pemilu Legislatif ataupun Pemilihan Presiden 2009, saya berhadapan dengan Rizal. Lalu saya mulai dekat lagi dengan Ketua Umum DPP Partai Golkar, Ir Aburizal Bakrie. Sebelum memutuskan bergabung dengan DPP Partai Golkar, saya juga diminta bergabung dengan Partai Hanura oleh Pak Wiranto. Yuddy Chrisnandi juga semula mengajak saya masuk Partai Gerindra, namun tidak jadi. 

Begitulah, saya menjalankan proses berpolitik sesuai dengan nalar, logika dan insting saya. Beberapa kali saya berbeda pendapat dengan Partai Golkar, baik secara tertutup, ataupun terbuka. Namun, selama dua tahun terakhir, saya berada pada posisi menjelaskan keputusan Partai Golkar untuk mengusung Ir Aburizal Bakrie sebagai Capres 2014. Dua tahun saya berkeliling, termasuk ke media-media nasional, baik cetak atau elektronik, termasuk berkeliling kampus. Begitu banyak sindiran dan perdebatan yang saya dapat, dengan terus konsisten menyatakan bahwa pilihan pencapresan Ir Aburizal Bakrie sudah final. 

Tapi kenyataan kemudian tidak sama dengan apa yang saya sampaikan kepada publik, termasuk briefing yang saya terima. Keputusan yang diambil oleh Ketua Umum DPP Partai Golkar mengejutkan saya dan sejumlah kader. Ya, bagaimana lagi, keputusan sudah diambil. Walau tidak sesuai dengan narasi yang sudah terbangun selama dua tahun, apa boleh buat. Semula, sikap abstain menjadi pilihan. Namun, mengingat hanya dua pasang capres dan cawapres yang muncul, tenaga masih ada, tentu bukan soal mudah untuk kemudian menjadi diam dan pulang kampung. Pasti ada satu pasangan yang lebih baik dari pasangan yang lain, minimal menurut pandangan subjektif saya.

Saya semula hanya berkomunikasi dengan Hassanuddin, 
Sekretaris Lembaga Pelatihan Kader DPP Partai Golkar. Tidak ada yang lain. Dengan Hassan, saya sudah sejak selesainya pemilu legislatif berkomunikasi. Kami bertemu di taman Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, mendiskusikan segala macam kemungkinan. Satu sikap muncul: kalau ada kader Partai Golkar yang maju, baik sebagai Capres atau Cawapres, tanpa ada kader yang lain, kami akan mendukung. Sikap lain: kalau ada dua kader yang muncul dan saling berhadapan, kami memilih untuk hanya mengurus dapil masing-masing, tidak berada di depan. 

Sekalipun saya bersikap kritis terhadap Jokowi, justru berkebalikan dengan sikap sebagian besar elite Partai Golkar. Diluar Jusuf Kalla, terdapat sejumlah nama lain diajukan sebagai Cawapres, yakni Akbar Tandjung, Luhut Panjaitan, Priyo Budisantoso, Ginandjar Kartasasmita, dan Agung Laksono. Terakhir, Ketua Umum DPP Partai Golkar, Aburizal Bakrie sendiri, juga diajukan. Terlihat sekali dari suasana kebatinan Rapimnas Partai Golkar. Walau Rapimnas menutup celah bagi siapapun diluar Ir Aburizal Bakrie sebagai calon resmi, tetap saja komunikasi politik yang sudah terjadi tidak bisa dihapus. Bagaimana caranya menghapus seluruh catatan yang berhamburan di media massa seputar tujuh nama kader utama Partai Golkar itu yang diusung sebagai Cawapres-nya Joko Widodo?

Artinya apa? Elite politik Partai Golkar memang sudah memandang Joko Widodo sebagai capres unggulan. Pertemuan yang bersifat terbuka dan tertutup digelar. Tim-tim dibentuk. Debat-debat digelar. Sikap saya pun dengan sendirinya berubah, betapa Joko Widodo memang adalah kandidat Capres yang paling diminati oleh Partai Golkar, begitupula oleh elite-elite partai politik lainnya yang menyodorkan Cawapres.  Kalau tidak diminati, mengapa ada puluhan nama tokoh yang menyatakan berminat sebagai Cawapres Joko Widodo? 

Singkat cerita, saya dan Hassanuddin merencanakan pertemuan. Di tengah rencana itu, muncul telepon dari sejumlah kawan lainnya. Lho, kok banyak? Kamipun bertemu. Lalu sudah ada yang mengundang pers, yakni saudara Poempida. Nomor telepon saya diedarkan kepada para wartawan, selain nomor telepon yang lain. Kamipun mengadakan pertemuan di restoran Sari Kuring, kawasan SCBD Jakarta. Rapat digelar, pendapat-pendapat muncul, lalu wartawanpun masuk ke ruangan rapat. Keluarlah nama Forum Paradigma Gerakan mUDA Indonesia (FPGmI) yang diusulkan oleh Emil Abeng dan disimpulkan oleh Agus Gumiwang Kartasasmita.
***

Begitulah prosesnya. Tentang hubungan saya dengan Jusuf Kalla, sudah saya tulis dalam buku “Mengalir Meniti Ombak: Catatan Kritis Tiga Kekalahan” yang terbit tahun 2010. JK tidak hilang dari panggung perbincangan politik. Namanya selalu teratas sebagai Cawapres yang paling memberikan perubahan kepada siapapun Capresnya, termasuk Jokowi. Tidak ada nama lain yang paling baik, selain nama JK. Artinya, secara politik, JK menjadi maghnet politik tersendiri bagi bangsa Indonesia, diluar Jokowi.

Jauh sebelum keduanya disandingkan dalam deklarasi, sebetulnya lembaga-lembaga survei sudah menjodohkan keduanya. Politik moderen Indonesia kian diwarnai oleh penggunaan metode-metode ilmiah, termasuk dengan cara survei, baik kuantitatif, maupun kualitatif. Dengan terus bertenggernya nama JK di posisi paling atas, berarti ada pengakuan publik. Survei memang tidak sepenuhnya tepat, tetapi bukankah banyak nama yang bisa maju Capres atau Cawapres mempertimbangkan langkah politik mereka berdasarkan survei?

Saya sebetulnya tidak terlalu suka survei menjadi alat ukur. Saya pernah menjadi “korban” dari survei itu. Yakni, ketika pilkada Kota Pariaman hendak digelar, saya hanya mendapatkan angka 1,5%. Sebetulnya, saya tidak punya niat untuk maju dan sama sekali tidak menyiapkan diri. Tetapi, ketika Partai Golkar memutuskan kader PKS sebagai calon walikota, lalu hanya menjadikan kader Partai Golkar sebagai calon wakil walikota, saya menetapkan hati untuk maju. Padahal, Partai Golkar bisa maju sendiri, tanpa harus berkoalisi dengan partai politik lain. Saya ingin membuktikan bahwa survei bukan segalanya. 

Apa hasilnya? Kandidat yang diusung oleh Partai Golkar dan PKS yang unggul mutlak dalam survei, ternyata kalah oleh kandidat incumbent yang surveinya lebih rendah. Perolehan suara saya juga naik sekitar 600%, dari hanya 1,5% ketika survei, menjadi 11% pada hari pilkada digelar. Saya berada dalam posisi nomor urut tiga, dari tujuh pasang calon. Saya juga maju lewat jalur independen, bukan menggunakan bendera partai politik. DPP Partai Golkar sudah tahu alasan dibalik “perlawanan” saya. Padahal, saya memang dipersiapkan untuk maju menjadi calon anggota DPR. Langkah yang saya tempuh ini adalah pesan yang kuat kepada DPP Partai Golkar agar jangan semata-mata mengandalkan survei, dengan cara mengorbankan kader sendiri.

Dasar itu juga yang saya ambil (lagi) ketika menjadi pendukung Jusuf Kalla. Untuk apa seseorang memiliki kartu anggota partai, menjadi kader partai, menghabiskan waktunya di partai, malah pada saat yang penting malah tidak diusung dan didukung oleh partai sendiri? Apa partai politik hanya menjadi milik para elite, sementara diluar mereka, kader hanya pekerja yang tidak diberikan hak-haknya sama sekali? Baiklah, alasan untuk tidak merekomendasikan saya di Kota Pariaman adalah survei yang rendah. Bukankah survei JK tertinggi dibandingkan dengan Cawapres manapun yang diajukan, termasuk dari internal Partai Golkar sendiri? 

Saya membaca Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Golkar. Saya juga mempelajari Peraturan Organisasinya. Jelas sekali, syarat untuk menjadi kandidat manapun, baik eksekutif atau legislatif, adalah memiliki kartu anggota Partai Golkar dan memiliki loyalitas kepada Partai Golkar. Tidak ada satupun pelatihan yang saya tidak ikuti. Semuanyapun lulus. Setiap hari saya berkicau membela Partai Golkar di social media, tanpa disuruh, berdasarkan kesadaran sendiri. Saya mempromosikan keunggulan-keunggulan Partai Golkar, menangkis serangan dari lawan-lawan politik, bahkan memasang badan ketika Partai Golkar menghadapi masalah.

Biarlah sejarah yang mencatat bahwa keputusan Partai Golkar ini justru menciderai para kader Partai Golkar sendiri. Coba bayangkan akibat keputusan ini kepada seluruh proses kontestasi politik nantinya. Siapapun yang NON KADER bisa dicalonkan oleh Partai Golkar untuk jabatan Bupati, Walikota, Gubernur, bahkan Presiden pada Pilpres 2019 nanti! Kader manapun akan terus was-was, karena bisa saja tidak dicalonkan oleh Partai Golkar dalam pemilu legislatif 2019, malah menaruh orang lain dalam daftar calon anggota legislatif! Partai Golkar juga akan dicatat oleh sejarah sebagai partai yang sama sekali tidak memiliki keberanian untuk bertarung, takut kalah sebelum berperang. Degradasi itulah yang ditunjukkan sekarang. Dalam suasana seperti itulah saya dan kawan-kawan mengambil keputusan. 

Barangkali, bagian inilah yang perlu saya perjelas, kepada siapapun yang menyimak komentar-komentar saya di televisi dan media lainnya. Bagi saya, jauh lebih terhormat mendukung kader Partai Golkar sendiri yang diakui sebagai kader dan dinyatakan untuk tidak dikeluarkan dari partai, yakni Pak Jusuf Kalla, sebagai Cawapres. Bagi saya, inilah pembelaan sebagai kader dan hak para kader. Saya tidak ingin lagi menjadi saksi dari proses dan proyek politik dalam tubuh Partai Golkar yang sama sekali mengabaikan kader-kader terbaiknya, dalam kontestasi apapun dan kapanpun. Jusuf Kalla adalah salah satu kader terbaik yang sudah dilahirkan oleh Partai Golkar, walau berasal dari kalangan profesional. 

Catatan Indra Jaya Piliang
×
Berita Terbaru Update