Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

IJP: Agar Jusuf Kalla Tak Sebatang Kara

20 Mei 2014 | 20.5.14 WIB Last Updated 2014-05-20T13:12:11Z





Ada situasi yang teramat pedih bagi kami, sebagai kader-kader muda Partai Golkar. Tidak satupun partai politik bersedia menerima hasil Rapimnas Partai Golkar yang menempatkan Ketua Umum kami, Ir Aburizal Bakrie, sebagai Calon Presiden atau Calon Wakil Presiden. Begitu banyak ucapan-ucapan yang begitu mengerdilkan. Padahal, Partai Golkar adalah pemenang kedua pemilu legislatif 2014, mengalahkan 10 partai politik nasional lainnya.
Apa yang terjadi setelah itu? Seperti yang tergambar dalam syair lagu Ebiet G. Ade yang berjudul “Kalian Dengarkan Keluhan” ini:

Dari pintu ke pintu

Kucoba tawarkan nama

Demi terhenti tangis anakku

Dan keluh ibunya

Tetapi nampaknya semua mata

Memandangku curiga

Seakan hendak telanjangi

Dan kulit jiwaku


Apakah buku diri ini selalu hitam pekat

Apakah dalam sejarah orang mesti jadi pahlawan


Sedang Tuhan di atas sana tak pernah menghukum

Dengan sorot mata yang lebih tajam dari matahari

Kemanakah sirnanya

Nurani embun pagi

Yang biasanya ramah

Kini membakar hati

Apakah bila terlanjur salah

Akan tetap dianggap salah

Tak ada waktu lagi benahi diri

Tak ada tempat lagi 'tuk kembali


Begitulah, kami mengalami mimpi buruk dalam situasi sadar. Partai kami dianggap salah dan terus salah. Seakan tidak ada tempat lagi untuk berdiri. Karena itulah, kami dari kalangan muda berkumpul, berdiskusi, berdebat, mencoba mengevaluasi diri, melakukan sesuatu dan bersikap atas apa yang sudah terjadi. Kami memposisikan diri sebagai pihak yang kalah perang, sembari mencoba untuk menyelamatkan apa yang masih bisa diselamatkan.
Kami yang berkumpul dari kalangan muda ini adalah suara-suara yang belum banyak bersuara. Selama ini manuver kepartaian dilakukan kalangan yang terbatas. Kami tidak diajak ikut serta dalam menentukan arah dan tujan perjalanan partai ke depan.

Kami menjadi saksi akan betapa politik kadang hanya merayakan perdebaan, tanpa mau mencari persamaan. Pada titik ini, kami memandang JK seperti seorang sosok yang sebatang kara, dibiarkan sendirian berkelana dalam bahtera waktu. Alangkah kami berduka ketika JK mengatakan bukan sebagai utusan partai Golkar dalam kentestasi politik di negara yang termasuk paling hebat di dunia dalam soal demokrasi ini.

Sosok yang pernah menyandang jabatan terhormat sebagai Ketum DPP Partai Golkar, seorang Wakil Presiden RI yang fenomenal, ternyata dibiarkan berperang sendirian di usia yg boleh dikatakan tdk muda lagi. Usia yang mestinya lebih bayak digunakan untuk beristiwahat, menggendong atau bermain dengan cucu.

Kami juga menyadari usaha yang sudah dilakukan oleh Ketua Umum Partai Golkar Ir Aburizal Bakrie sudah sangat maksimal. Kami seperti melihat seorang panglima perang yang terluka, dengan pasukan yang kalah di sejumlah pertempuran. Ternyata, ketika mencari kawan koalisi malah mendapatkan gergaji-gergaji tajam yg makin menyudutkannya, meruntuhkan jembatan komunikasi yang sudah dibangunnya. Kami memahami sejumlah penghinaan yang dialamatkan kepada Ketum Ir H Aburizal Bakrie. Sebagai lambang dan simbol partai, tidak seyogyakan Ketum berkata: "Saya bertanggung jawab penuh atas kekalahan ini."

Sebagai generasi muda yang sebetulnya sudah berusia rata-rata kepala empat, kami harus membuat sikap yang jelas, tegas, visioner dan demi marwah partai. Kami sudah melihat perjalanan panjang Ketum Partai Golkar dengan pesawat jet ataupun komersial. Saya beberapa kali ikut, sejak tahun 2010. ARB sudah mengunjungi seluruh provinsi di Indonesia, ditambah dengan 250 kabupaten dan kota, bahkan bermalam. Sebagai usaha, kerja dan kinerja, apa yang dilakukan Ketum Partai Golkar sudah luar biasa.

Sebagai bagian dari generasi muda Partai Golkar, kami merasa malu ketika yang menanggung seluruh beban politik adalah orang-orang sepuh seperti  JK atau seorang sosok yang berprestasi sejak muda spt ARB. Bagi kami, mereka adalah guru kami, orang tua kami: satu ayah, satu bapak. Kami tidak akan membiarkan mereka menanggung semua kesalahan, berjuang sendirian di tengah begitu banyak cercaan. Kami seperti telah menjadi anak-anak durhaka, menjadi Malin-Malin Kundang bagi kedua orang tokoh ini.

Atas nama kesedihan, tangis dan air mata, kami tidak ingin melihat rakyat Indonesia melihat betapa tidak akurnya kedua orang tua kami ini. Kami tidak ingin menjadi saksi sejarah dan sekaligus pelaku atas “perseteruan” antara Ketum Partai Golkar dengan Ex Ketum Partai Golkar. Kami merasa ada tangan-tangan yang tidak terlihat mengadu domba dua orang sosok penting di Partai Golkar dalam 15 thn terakhir, diluar Akbar Tanjung. Walau keduanya bisa saling bercanda, sikap dan kebijakan DPP Partai Golkar mengungkap segala bentuk hubungan personal yang baik itu.

Demi sebuah kesamaan pendapat, atas dasar cinta kami, rasa sayang kami, maka kami terpaksa mempertanyakan keputusan DPP Partai Golkar untuk mendukung pasangan Prabowo-Hatta Rajasa. Bagi kami, ini adalah politik adu domba yang tidak disadari oleh mereka yg mengambil keuntungan dari soal ini. Kami tidak ingin sejarah moderen Partai Golkar kembali mencatat bahwa telah terjadi perbedaan (lagi) antara Ketum dan mantan Ketum Partai Golkar, seperti mengulangi kejadian Pilpres 2004. Luka akibat konvensi 2003-2004, termasuk perbedaan di dalamnya, juga Pilpres 2004 yang mengikuti, belum sepenuhnya sembuh. Sekarang mau ditambah dengan luka baru. Seperti luka disiram cuka. Kami sungguh tak kuat lagi menanggungnya.

Atas dasar itu, kami memberi alternatif atas keputusan DPP Partai Golkar yang sudah mengusung Prabowo-Hatta. Dengan segala kesadaran penuh, kami ingin menghimbau DPP Partai Golkar mengoreksi lagi keputusannya, walau itu sulit. Janganlah mau keluarga besar Partai Golkar dipecah-belah, hanya untuk posisi Presiden dan Wakil Presiden yang datang setiap lima tahun. Memberi kepercayaan kepada non kader, ketimbang kader sendiri, bagi kami adalah sebentuk kekeliruan dalam doktrin dan posisi. Untuk apa partai politik didirikan, apabila kaderisasi dan kader sendiri tidak diperhatikan?

Sebelum semuanya terlambat, kami perlu ingatkan bahwa Partai Golkar berusia 50 tahun, bertepatan dengan tanggal 20 Oktober 2014. Pada hari itu, Presiden dan Wapres RI dilantik. Sungguh merupakan hadiah ulang tahun yang indah, apabila pada hari perayaan Usia Emas Partai Golkar itu, ada satu orang yang dilantik dari kader Partai Golkar, apakah Presiden atau Wakil Presiden. Sungguh ultah yang penuh luka, duka dan nestapa, apabila hari itu yang dilantik justru tokoh partai lain yg justru diusung oleh Partai Golkar. Kami tak akan mau masuk kepada situasi ironis itu, dicatat dalam sejarah, ditertawakan sepanjang anak-anak cucu dan kader-kader baru kita nanti belajar tentang sejarah Partai Golkar.

Bagaimana sejarah Partai Golkar disampaikan sejarah utuh, ketika Pilpres 2014 justru ajang pertunjukkan serpihan-serpihan yang meretakkan Partai Golkar? Apa tanggung jawab sejarah kita kepada pendiri-pendiri partai, orang-orang yang berjasa, lalu pelajaran apa yg mau diwariskan dalam kurikulum kepartaian kepada kader baru dan lebih muda?

Kami tidak ingin mengulangi lagi kesalahan-kesalahan Pilpres 2004 dan Pilpres 2009. Sudah cukup kami diajarkan kepada sikap-sikap oportunis, tidak setia kawan, ajang berebut kursi, tanpa semangat dan nilai-nilai kekaryaan dan pengabdian yang selama ini diajarkan kepada kami dalam banyak sekali training. Atas dasar itulah, kami berdiri di belakang Jusuf Kalla dan pasangan Calon Presiden Jokowi, guna memberi arti bahwa kader utama Partai Golkar tidak sebatang kara. Walau kami hanya menjadi bayang-bayang semata, karena sama sekali tidak bisa membawa simbol-simbol partai. Biarkan kami berdiri sejenak, bersama Jusuf Kalla, dalam waktu yang tak lama ketika kampanye Pilpres ini. Biar sejarah yang menilai, apakah pilihan kami salah atau benar. 


Indra Jaya Piliang
×
Berita Terbaru Update