Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Dari KONI ke Panggung ISORI: Jejak Langkah Aprinaldi

14 Mei 2025 | 14.5.25 WIB Last Updated 2025-05-14T00:29:48Z

Di sebuah kampung yang tenang di Kampung Dalam, Padang Pariaman, 16 April 1983, lahirlah seorang anak lelaki yang kelak membuktikan bahwa keberanian tak selalu bersuara lantang. Namanya Aprinaldi. Anak kampung yang dibesarkan dalam dekap doa seorang ibu, ditempa oleh kehilangan sejak dini, dan masuk kuliah berkat sumbangan para guru yang percaya pada satu hal--bahwa tekad bisa menembus langit.


Sejak SMP hingga SMA, Aprinaldi selalu menjadi ketua OSIS. Ia lalu terpilih jadi Ketua Dewan Kerja Cabang (DKC) Pramuka Padang Pariaman, dan ketika kuliah di Universitas Negeri Padang, ia dipercaya menjadi Ketua BEM. Kharisma kepemimpinannya berlanjut menjadi Ketua Sapma Pemuda Pancasila Sumatra Barat, memimpin suara-suara muda yang mencari ruang dan makna. Semua itu bukan karena ambisi, melainkan karena konsistensi.

Belasan tahun kemudian, nama itu terukir sebagai Ketua Harian Ikatan Sarjana Olahraga Indonesia (ISORI) Sumatra Barat periode 2025–2030. Bukan karena popularitas, tapi karena jejak. Karena perjalanan panjang seorang anak kampung yang menyalakan obor olahraga dari akar, dan menanamkan nilai dalam setiap langkah--bahwa prestasi bukan sekadar angka, melainkan wujud cinta.

Fauzi Bahar, Ketua Umum ISORI Sumbar, menyebut suami Yona Arisca itu bukan hanya akademisi unggul, tapi penjaga prinsip. Bagi Aprinaldi, olahraga bukan sekadar kompetisi, tetapi harga diri daerah. Ia memimpin bukan dari podium, tapi dari lapangan, dari peluh para atlet, dari malam-malam sunyi saat ia menambal kekurangan anggaran dengan dana pribadinya.

Dua periode memimpin KONI Padang Pariaman adalah saksi. Sepakbola bangkit, panahan jadi raja, taekwondo mengibarkan Merah Putih di Asia. Ia menyulut nyala yang hampir padam, memeluk para atlet seperti saudara, dan memaknai olahraga sebagai ruang pembentukan jiwa--tempat lahirnya disiplin, daya juang, dan martabat.

Baginya, bangsa yang kuat tak hanya dibangun dari beton dan baja, melainkan juga dari generasi yang sehat jiwanya, teguh raganya, dan kokoh moralnya.

Kini, dengan amanah baru di pundaknya, Aprinaldi menatap jauh ke depan. Ia membawa visi jangka panjang--membangun ekosistem olahraga yang berkelanjutan dan inklusif. 

Ia bermimpi mendirikan Sport Science Center pertama di Sumatra Barat, membentuk pelatih tersertifikasi, dan menjadikan olahraga sebagai ruang rekonsiliasi sosial, pertumbuhan anak muda, bahkan diplomasi budaya. Ia tahu, anak-anak kampung seperti dirinya butuh lebih dari sekadar semangat. Mereka butuh sistem. Butuh dukungan. Butuh peluang.

Di balik gelar dan pencapaian ayah tiga anak itu, tak banyak yang tahu bahwa semasa sekolah, ia mencuci seragamnya sendiri karena tak punya baju cadangan. 

Tak banyak pula yang tahu bahwa ia masuk kuliah berkat sumbangan para guru SMA. Malam-malamnya dilalui di bengkel las karena tak sanggup bayar kos. Ia bukan anak emas. Ia anak keras kepala yang menolak menyerah.

Dan mungkin itulah sebabnya, ketika menyebut “kampung halamannya”, suaranya bergetar. Ia ingat terlalu banyak: malam-malam yang lapar, hari-hari pura-pura kenyang agar adik bisa makan, tangis diam-diam karena tak ada uang bayar SPP. Ia tumbuh karena hati yang tak mau tunduk pada keadaan.

Hari ini, Aprinaldi bukan hanya Ketua Harian ISORI. Ia Ketua DPRD, akademisi kandidat doktor di bidang kedokteran olahraga Universitas Padjadjaran, sekaligus inspirasi bagi ribuan anak muda yang menggenggam mimpi dengan tangan berdebu.

Namun, jauh di balik jas formal dan gelar akademik, Aprinaldi masih menyimpan wajah anak kecil itu--yang berjalan kaki ke sekolah dengan perut kosong, yang mencuci satu-satunya seragam setiap malam agar bisa dipakai esok pagi. Anak itu tak pernah pergi. Ia hanya tumbuh, belajar berdiri di tempat lebih tinggi sambil tetap menunduk pada akar tempatnya berpijak.

Dan barangkali itu yang membuatnya berbeda. Ia tak pernah silau pada jabatan, tak mudah larut dalam pujian. Sebab ia tahu, pencapaian adalah hasil dari seribu hari penuh keterbatasan yang dilalui tanpa menyerah.

Karena ia tahu, dalam hidup, tidak semua orang lahir dengan pijakan yang kokoh. Beberapa harus merangkak lebih dulu di jalan berbatu sebelum bisa berdiri. Dan Aprinaldi memilih menjadi penanda arah bagi mereka yang nyaris hilang di tikungan. 

Ia tak hadir untuk dielu-elukan, melainkan untuk memastikan bahwa tak satu pun mimpi harus mati hanya karena tak punya ongkos. Ia mengerti luka yang dipeluk diam-diam, mengerti harapan yang dipertahankan sendirian. Maka ia hadir--dengan waktu, dengan telinga, dengan hatinya. 

Dan jika suatu hari sejarah kehilangan namanya, mungkin masih akan bersinar satu kilau kecil dalam gelap: bahwa di tengah zaman yang redup harapan, seorang anak kampung bernama Aprinaldi pernah menjadi cahaya bagi mimpi-mimpi yang hampir padam sebelum sempat menyala. (OLP)


×
Berita Terbaru Update