Foto: Istimewa |
Pertemuan tersebut dianggap melanggar kode etik sebagai penyelenggara pemilu, yang akhirnya membuat Abrar dilaporkan ke Bawaslu Kota Pariaman.
"Benar saya bertemu dengan Dahnil, kapasitasnya hanyalah sebagai teman yang sama-sama aktif di Pemuda Muhammadiyah. Karena sedang di Kota Pariaman, hanya sekadar menjamu makan. Tidak ada hubungannya selain itu," ujarnya saat diklarifikasi di Desa Marabau, Kamis (31/1).
Ia menyebut makan malam bersama dengan Dahnil berlangsung singkat, hanya sekitar 30 menit. Dahnil yang juga mantan Ketua PP Pemuda Muhammadiyah, kala itu sedang dalam perjalanan dari Pasaman Barat menuju Kota Padang usai menghadiri acara Pemuda Muhammadiyah di Kabupaten Pasaman Barat, sehari sebelum pertemuan tersebut.
"Sengaja kita makan di tempat terbuka agar tidak ada persepsi yang tidak tepat atau anggapan kegiatan makan tersebut memiliki agenda tertentu," lanjut dia.
Abrar menegaskan, kala makan malam dirinya dengan Dahnil, ia sempat mewanti-wanti agar pemilik rumah makan tidak mengambil foto kegiatan makan malam tersebut. Larangan pengambilan foto, karena ia khawatirkan jika foto tersebut akan menjadi polemik di kemudian hari.
Terkait dengan laporan dirinya, Abrar mengaku belum mendapatkan surat panggilan dari Bawaslu Kota Pariaman untuk proses klarifikasi. Namun secara lisan, klarifikasi telah ia sampaikan ke anggota Bawaslu Kota Pariaman.
Terpisah, mantan ketua KPU Kota Pariaman, Boedi Satria mengatakan polemik makan bersama antara Abrar dengan Dahnil menjadi "warning" bagi penyelenggara pemilu lain.
KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu, dituntut untuk bersikap netral serta berorientasi untuk mensukseskan penyelenggaraan pemilu.
"Jangan bersikap tidak netral dari sisi tindakan dan kebijakan. Dari sisi pandangan dan persepsi saja, KPU harus terlihat netral. Apalagi dari sisi tindakannya," pungkasnya singkat. (Nanda)