Hangatnya suhu politik ditandai dengan beragam “bocoran” menyangkut reshuffle kabinet. Dalam sistem presidensial, kabinet memang merupakan hak prerogatif Presiden RI Joko Widodo. Tidak ada satupun kekuatan hukum dan konstitusi yang bisa melarangnya. Menteri hanyalah pembantu presiden. Dalam kapasitas sebagai pembantu presiden, tanggungjawab konstitusional pemerintahan tetap berada di pundak Presiden RI, bukan di tangan para menteri.
Sebab, seluruh kebaikan pemerintahan akan ditulis dalam kekuasaan presidennya, bukan menterinya, begitu juga seluruh keburukan pemerintahan. Nama presidenlah yang dicatat, sementara nama menteri dengan mudah bisa dilupakan. Sehingga, penilaian subjektif presiden bisa saja masuk, dalam menentukan siapa saja yang menjadi menteri. Di samping, tentulah proses yang berbelit menyangkut matrikulasi politik, konstruksi sosial, representasi kultural, maupun kompetensi individual yang cocok dengan nomenklatur kementerian.
Tetapi, sebagai bahan untuk melakukan kerja-kerja yang lebih akademik, tentulah metodologi reshuffle kabinet layak disusun. Paling tidak, sebagai catatan bagi pemerintahan ke depan, sekaligus juga memeriksa kembali apakah metodologi itu benar dalam mencari talenta-talenta terbaik di dalam tubuh manusia Indonesia. Pameo di kalangan dunia sepakbola jangan sampai terjadi, yakni kesulitannya Indonesia mencari 11 orang saja untuk bermain di lapangan hijau, di tengah ratusan juta penduduk Indonesia.
Pertama: terdapat 13 kementerian yang mengalami perubahan nomenklatur, bagi dari sisi pembentukan, penggabungan atau penambahan dan pengurangan. Menteri-menteri yang menduduki kursi di 13 kementerian ini, tentu tidak bisa langsung bisa bekerja. Mereka akan sangat disibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan administratif, mulai dari mengajukan usulan struktur organisasi kementerian, mengusulkan anggaran, mengisi pejabat tinggi madya dan pratama, hingga menyesuaikan dengan rencana strategis yang sudah disusun.
Butuh waktu lebih kurang satu semester untuk melakukan perubahan itu. Bahkan, ada yang lebih. Dari sisi jumlah, kita melihat lonjakan Peraturan Presiden yang ditanda-tangani menyangkut struktur kementerian ini. Ide dasar restrukturisasi, efisiensi dan efektifitas birokrasi menjadi bagian tak terpisahkan dari nomenklatur baru itu. Tujuannya adalah melahirkan organisasi kementerian yang lebih moderen, guna memudahkan kerja-kerja pencapaian program-program pemerintah.
Nah, menteri-menteri yang berada di 13 kementerian ini tentu kesulitan untuk menunjukkan hasil kerja, ketika kerja itu sendiri belum dilakukan. Ada menteri yang harus mencari kantor baru, termasuk mendapatkan aparatur sipil negara yang mengisi struktur yang bisa langsung bekerja.
Banyak nama yang akhirnya tenggelam, akibat kesibukan itu. Apa yang sudah disusun pemerintahan sebelumnya tidak bisa langsung dilanjutkan, akibat perubahan nomenklatur ini. Menteri akhirnya berdiam diri, dalam arti sibuk membenahi organisasi kementeriannya yang juga membutuhkan kementerian lain. Struktur kelembagaan, misalnya, berada di bawah kewenangan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Sementara anggaran berada di Kementerian Keuangan.
Alangkah kurang adilnya, apabila menteri-menteri tersebut langsung mengalami evaluasi, ketika kementeriannya baru bisa berjalan setelah semester pertama. Apalagi, soliditas aparatur belum terbentuk. Masing-masing pejabat dan pegawai masih berurusan dengan meja dan kursi yang hendak diduduki.
Kedua, penyerapan anggaran. Ada yang mencoba menyimpulkan bahwa kementerian-kementerian yang penyerapan anggarannya rendah, bisa dievaluasi dan diganti. Masalahnya, bagaimana bisa anggaran terserap, ketika struktur organisasi belum bisa dijalankan, akibat pejabat-pejabatnya belum terisi? Kalaupun sudah terisi, ternyata ada program yang tercecer, tidak ada anggarannya, mengingat anggaran yang disahkan menyesuaikan dengan struktur kementerian lama yang sudah diganti.
Belum lagi fakta yang bisa disebutkan, yakni kementerian-kementerian yang mengalami perubahan itu ternyata kementerian dengan anggaran besar, misalnya di bidang pendidikan dan pekerjaan umum. Kementerian bidang pendidikan dibagi menjadi dua, sementara kementerian pekerjaan umum digabungkan dengan perumahan rakyat. Begitu juga di kementerian-kementerian lain, misalnya Kepala Badan Pertanahan Nasional langsung berada di tangan Menteri Agraria dan Tata Ruang. Atau penggabungan Menteri Lingkungan Hidup dengan Kehutanan.
Justru dalam era perubahan ini, terdapat cukup waktu untuk melakukan pembinaan Aparatur Sipil Negara, sembari terus fokus kepada Nawa Cita, Trisakti dan Revolusi Mental. Tidak ada jalan pintas dalam birokrasi. Sorotan pers yang kuat, termasuk juga lembaga-lembaga pengawasan, menyebabkan setiap langkah kementerian bisa dilihat dan dikomentari siapapun. Menteri-menteri yang tidak terbiasa bekerja di bawah sorot kamera televisi, ataupun todongan wawancara wartawan, serta pengawasan dari lembaga sosial kemasyarakatan dan para analis, akan mengalami kegagapan.
Beberapa menteri langsung berkurang berat badannya, begitu juga harus menomboki dengan dana-dana pribadi akibat kehati-hatian menggunakan dana-dana negara.
Para analis idealnya perlu lebih hati-hati dalam berkomentar. Publik juga belum bisa dilibatkan secara luas, misalnya dengan survei. Jauh lebih baik menggunakan pendekatan kualitatif, ketimbang kuantitatif, dalam melakukan evaluasi masing-masing kementerian yang berada dalam wilayah perubahan nomenklatur ini. Populisme bukan metode yang cocok untuk melihat aspek-aspek teknis yang berada di pemerintahan. Justru yang dibutuhkan adalah aspek kualitatif yang berada dalam tumpukan rancangan kerja, rancangan organisasi, rancangan deskripsi, rancangan penugasan dan sebagainya.
Ketiga, adanya perbedaan antara kementerian utama, kementerian teknis dan kementerian pendukung. Kementerian utama itu, misalnya, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan dan Kementerian Dalam Negeri. Kementerian Keuangan dan Kementerian Sekretaris Negara juga berada dalam level ini. Kementerian teknis berurusan dengan program-program yang padat dan dana pembangunan yang banyak. Sementara, kementerian pendukung (dulu, kementerian negara), juga mulai masuk ke urusan-urusan lain guna mengendalikan jalannya pemerintahan.
Perbedaan level kementerian itu bukan hanya bisa dilihat dari anggaran yang digunakan, melainkan juga dari sisi jumlah pegawai. Tetapi yang lebih utama, payung undang-undang yang dipakai. Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi, misalnya, dalam periode sebelumnya hanya bersandar kepada UU tentang Pelayanan Publik. Sementara, dalam pemerintahan sekarang, terdapat dua UU lagi yang menyebabkan kementerian ini lebih kuat, yakni UU tentang Aparatur Sipil Negara dan UU tentang Administrasi Pemerintahan. Jauh lebih mudah menjalankan kementerian yang sudah memiliki pijakan undang-undang, baik satu atau lebih, dibandingkan dengan yang sama sekali belum didukung perangkat perundang-undangan yang tepat.
Untuk urusan laut saja, misalnya, terdapat 21 kementerian yang terlibat. Pelabuhan, misalnya, adalah dibangun oleh Kementerian Pekerjaan Umum. Wilayah pedesaan di sepanjang pantai, misalnya, dikendalikan oleh Kementerian Desa dan Daerah Tertinggal. Tapal batas kewenangan masing-masing kementerian yang saling memasuki wilayah kementerian lain inilah yang perlu difisienkan, sehingga birokrasi tidak terlihat lambat atau hanya menghabiskan anggaran semata, tanpa ada progres yang bisa langsung dirasakan warga negara.
Gambaran singkat itu menunjukkan bahwa metodologi reshuffle menjadi bagian penting dalam proses politik yang bergemuruh. Sekarang bukan zaman pemerintah bisa berbuat apa saja. Seorang menteri tidak lagi bisa merekrut pejabat yang diinginkan, karena melewati Panitia Seleksi dan Tim Penilai Akhir. Kalau dalam periode sebelumnya, seorang menteri bisa mengambil pejabat dari manapun, termasuk dari daerah kelahirannya, guna menjalankan pemerintahan. Sekarang? Seorang menteri bukanlah sosok yang sekuat itu, mengingat titik ledak regulasi yang terus mengalir dari DPR, yakni munculnya undang-undang baru secara terus menerus.
Seorang menteri, walau hanya pembantu presiden, ternyata diikat dengan beragam regulasi yang memeningkan kepala. Seorang menteripun harus memasang banyak mata, ditemani secangkir kopi, dalam memeriksa tumpukan dokumen yang harus ditanda-tangani. Seorang menteri, bukan lagi sosok yang mudah berbicara apa saja, ditengah persoalan-persoalan ekonomi-politik dan turun-naiknya pengaruh negara-negara besar di dunia. Reshuffle, jangan sampai memicu persoalan baru, yakni digesernya menteri-menteri yang memang belum bekerja, atau sudah bekerja, namun belum menyesuaikan diri dengan langgam birokrasi yang kian hati-hati untuk tidak dapat stigma abuse of power...
Indra Jaya Piliang