Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia telah mengeluarkan putusan bahwa pemilihan umum presiden dan wakil presiden, serta pemilihan umum legislatif, dilakukan serentak. Putusan MK itu dilaksanakan pada tahun 2019 nanti. Polemik seputar pelaksanaan waktu pemilu serentak pada tahun 2019 sudah mengemuka. Pandangan penulis, pemilu 2014 dan pilpres 2014 tetap sah, mengingat landasan konstitusionalnya sudah termaktub dalam putusan MK. Ketika MK memberikan angka tahun 2019 sebagai waktu pelaksanaan pemilu serentak, lebih terkait dengan alasan teknis perundangan, betapa kalender pemilu 2014 sudah berjalan.
Di luar itu, kontroversi terjadi menyangkut pembacaan putusan MK. Berdasarkan informasi, Rapat Permusyawaratan Hakim MK sudah mengambil putusan pada bulan Maret 2013 lalu. Kalau dibacakan bulan itu, masih ada waktu untuk merevisi dan menyesuaikan sejumlah undang-undang terkait amar putusan itu. Soalnya, kalender pemilu 2014 ini dimulai pada tanggal 09 April 2013 lalu, tepat setahun sebelum pemilu 2014 dilaksanakan. Taruhlah pemilu serentak dilaksanakan pada bulan Juli 2014 ini, masih ada waktu selama tiga bulan untuk menyiapkan sejumlah undang-undang terkait, yakni bulan April, Mei dan Juni 2013 lalu. “Misteri” keterlambatan pembacaan putusan inilah yang belum sepenuhnya terjawab.
Walau tidak ada dalam materi gugatan, putusan pemilu serentak itu dengan sendirinya juga membawa konsekuensi kepada pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) secara serentak. Sejak kewenangan Mahkamah Agung (MA) diambil alih MK untuk menyidangkan sengketa pemilihan langsung kepala daerah (pilkada), maka pilkada sudah masuk kepada rezim pemilu. Pilkada bukan lagi rezim yang terpisah atau berada di bawah pemilu. Istilah pilkadapun diganti menjadi pemilukada. Kewenangan MK melakukan sidang gugatan sengketa pemilukada ini menunjukkan bahwa pemilukada dan pemilu berada dalam level yang sama. Pemilu tidak lebih tinggi dari pemilukada, begitupun sebaliknya.
Masalahnya, materi gugatannya belum diajukan ke MK. Pemerintah dan DPR malah sedang melakukan revisi atas UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Revisi itu berupa akan dibuatnya UU tentang Pemilihan Kepala Pemerintahan Daerah (UU Pemilukada). Materinya masih berupa perdebatan lama, apakah kepala daerah dipilih langsung atau dikembalikan kepada DPRD. Padahal, jauh lebih baik diuji dulu azas konstitusionalitas dari pemilukada yang selama ini berlangsung. Kalau pemilukada konstitusional, maka tidak ada jalan mengembalikan lagi kepada DPRD. Apabila UU itu telanjur disahkan, lalu muncul gugatan di MK, ada kemungkinan dibatalkan lagi oleh MK.
Pemilukada Serentak
Sejak UU Nomor 22/2004 tentang Pemerintahan Daerah disahkan, sudah ada upaya agar pilkada/pemilukada dilakukan secara serentak secara bertahap. Namun, usaha itu belum menampakkan hasil. Bukan berarti upaya itu tidak berjalan. Hanya saja masih berada dalam lingkup terbatas dan berdasarkan kesepakatan antara KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan pihak pemerintahan daerah. Bagaimanapun, pembiayaan pilkada/pemilukada dibebankan kepada anggaran daerah. Upaya ini masih berupa terobosan, bukan berdasarkan sistem perundang-undangan. Inisiatif lebih banyak dilakukan oleh penyelenggara pemilu di daerah, bersama pemerintahan daerahnya masing-masing.
Pemerintah pusat juga sudah menggeser agenda pilkada/pemilukada untuk tidak dijalankan selama tahun pemilu. Hal ini juga tidak berhasil, mengingat ada sejumlah pemilukada yang dilakukan tahun 2014 ini, yakni pemilihan walikota dan wakil walikota Padang putaran kedua atau pemungutan suara ulang dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur di Maluku Utara. Bahkan, bisa jadi pemilihan gubernur dan wakil gubernur Lampung juga dilakukan tahun ini. Tidak adanya landasan konstitusi dan aturan perundang-undangan menyebabkan proses itu terus berjalan. Seandainya tidak ada gugatan hasil pilwako di Padang pada putaran pertama lalu, barangkali sebelum tahun 2014 walikota dan wakil walikota Padang terpilih sudah ada.
Pemilukada serentak lebih memberi kepastian bagi pelaksanaan program pemerintah secara bersamaan. Hampir tidak ada satupun wilayah pemerintahan yang berbatasan dengan wilayah pemerintahan lain yang tidak memerlukan kerjasama. Ketika jalanan rusak di satu kabupaten, namun merupakan bagian dari jalan provinsi, maka diperlukan kerjasama dengan kabupaten atau kota tetangganya. Bayangkan kalau salah satunya sedang sibuk dengan pemilukada.
Banjir Jakarta 2014 ini memperlihatkan upaya kerjasama antara tiga pemerintahan provinsi: Jakarta, Jawa Barat dan Banten, berikut level pemerintahan kota (Tangerang, Tangerang Selatan, Bogor dan Depok) dan kabupaten (Bogor, Bekasi dan Tangerang). Memang, di wilayah ini tidak ada pemilukada. Tetapi bayangkan kalau banjir berlangsung pada saat pemilukada.
Terdapat kurang lebih 33 kewenangan yang sudah didesentralisasikan ke daerah, baik di bidang pendidikan, kesehatan, sampai pertanian. Apabila terjadi serangan hama secara serentak di area pertanian yang bersifat lintas daerah, sementara pemilukada sedang berlangsung di salah satu daerah itu, bisa jadi akan menjadi serangan politik. Coba kalau pemilukada serentak, bisa dipastikan setiap kontestan akan mengajukan gagasan terbaik guna menanggulangi hama itu.
Dengan pemilukada serentak, program yang disusun juga bisa menjadi lebih seragam antar kontestan yang berasal dari partai (koalisi) yang sama. Belum lagi akan terbentuk koalisi yang bersifat hampir seragam di seluruh Indonesia. Kecil kemungkinan Partai X koalisi dengan Partai Y di daerah A, sementara di daerah B yang berdekatan Partai X koalisi dengan Partai Z melawan Partai Y.
Pemilu Lokal
Pilihan lain bisa tersedia, kalau landasan konstitusionalnya sudah dirumuskan. Salah satunya, pemilu serentak bisa saja ditafsirkan hanya untuk pemilihan anggota DPR RI, DPR RI dan Presiden/Wakil Presiden. Sementara, pemilu anggota DPRD provinsi, kabupaten dan kota, serta Gubernur, Bupati dan Walikota, dilakukan secara terpisah. Yang terjadi adalah pemisahan antara pemilu nasional yang serentak dengan pemilu lokal yang juga serentak. Celah untuk menggugat lagi ke MK masih tersedia, mengingat UUD 1945 hasil amandemen membedakan antara pemerintahan nasional dengan pemerintahan daerah.
Muara pemisahan itu sudah jelas, yakni anggota DPRD sama sekali tidak memiliki kedudukan yang setara dengan anggota DPR. Anggota DPRD tidak ditempatkan sebagai pejabat publik yang berhak mendapatkan pensiun, misalnya, sebagaimana halnya dengan anggota DPR. Perbedaan perlakuan antara anggota DPRD dan anggota DPR juga terjadi, menyangkut sejumlah hak yang diterima. Padahal, anggota DPRD jauh lebih dekat dengan konstituen di daerah, dibandingkan dengan anggota DPR yang berkedudukan di ibukota negara. Kecuali untuk DPRD DKI, tunjangan yang diterima anggota DPRD lain sama sekali jauh lebih kecil dibandingkan dengan anggota DPR RI.
Berdasarkan pasal-pasal dalam UUD 1945 hasil perubahan dan praktek kenegaraan selama ini, penulis lebih meyakini bahwa pemisahan pemilu nasional dengan pemilu lokal lebih konstitusional, dibandingkan dengan pemilu serentak yang melibatkan pemilihan anggota DPRD. Makanya, perlu ada yang melakukan gugatan ke MK menyangkut pasal-pasal konstitusionalitas pemilukada dan bahkan DPRD. Apabila MK menolak mengakui bahwa hak anggota DPRD sama dengan anggota DPR, argumentasi hukum penolakan itu bisa dijadikan landasan untuk memisahkan DPRD sebagai bagian dari pemilu (nasional) yang serentak.
Mumpung diskusi soal pemilu serantak masih hangat, lalu aturan teknisnya belum dibuat, sebaiknya ada kelompok masyarakat yang mengajukan gugatan ke MK menyangkut soal ini. Kalau perlu, waktu gugatannya dilayangkan sebelum pemilu 2014 ini, mengingat agenda persidangan MK akan sangat padat pasca pemilu. Waktu yang lain adalah pasca sengketa pilpres 2014 disidangkan MK, sebelum tahun 2014 ini berakhir. MK memiliki masa yang lumayan luang, sebelum tahun 2015 yang dipenuhi dengan agenda-agenda sengketa pemilukada.
Indra Jaya Piliang