Ada yang menarik dari penyitaan
belasan mobil mewah milik Tubagus Chaery Wardana alias Wawan, adik
kandung gubernur Banten, Atut Chosiyah. Bukan hanya garasi rumah Wawan di jalan Denpasar yang layaknya showroom mobil mewah karena banyaknya mobil yang terparkir di situ, tapi ada yang unik pada plat nomor mobil-mobil Wawan. Tampaknya bukan plat nomor sembarangan yang random, melainkan ada kekhasan tersendiri. Mari kita cermati.
Ada 2 buah Ferrari California merah bernomor polisi B 888 CNW dan B 888 GES, sebuah Lamborghini Aventador putih plat nomornya B 888 WHN, Nissan GT-R putih nomornya B 888 GAW, Rolls Royce Ghost hitam platnya B 888 CHW (mobil ini diperkirakan
yang termahal, harga di negeri asalnya, Inggris, mencapai Rp 18 milyar.
Entah berapa harganya setelah sampai di Indonesia). Lalu ada pula Camry hitam, Lexus hitam nomor polisinya B 888 ARD, Bentley Continental plat nomornya B 888 GIF, Land Cruiser hitam dengan nomor polisi B 888 TCW, dan Land Cruiser bernopol B 1978 RFR. Selain itu motor Harley Davidson B 3484 NWW, juga
ada Fortuner, Pajero dan BMW 530i. Total sudah 17 mobil plus sebuah
moge Harley Davidson yang disita KPK dari rumah Wawan dan rumah 2 orang kepercayaannya di Serang.
Uniknya plat nomor polisi mobil-mobil Wawan itu kebanyakan memakai angka 8 sebanyak 3 kali, 888. Kalau abjad TCW dan ARD diduga kuat initial nama Tubagus Chaery Wardana dan Airin Rachmi Diany, istrinya. Nomor lain abjad
di belakangnya kebanyakan ada huruf “W”, mungkin inisial dari
“Wardana”. Mungkinkah itu inisial nama anak-anak mereka? Ada pula yang
bernomor B 888 WAN. Tampaknya Wawan dan Airin percaya pada “angka hoki 8”. Apa sebenarnya mitos di balik angka 888?
MITOS 888
Sejak zaman Babilonia kuno, angka 8 diyakini
sebagai lambang para dewa, yang konon menghuni ruangan kedelapan di kuil
Babilonia. Kebudayaan Tiong Hoa juga mempercayai 8 sebagai angka sempurna karena tidak putus saat ditulis. Pemaknaan ilmu Feng Shui pun mengartikan angka 8 sebagai kemakmuran. Jadi, jika dikombinasikan, angka 888 menggambarkan kekayaan dari segi langit, bumi, dan manusia. Itulah mengapa China menggelar Olimpiade Beijing pada 8 Agustus 2008, pukul 08:08:08. (sumber : disini)
Situs Indonesia Feng Shui Online Center
menulis, praktek penggunaan angka yang dianggap hokky dalam Feng Shui
bermula dari para praktisi di Hong Kong, yang mana setiap angka memiliki
makna tertentu dihubungkan dengan dialek pengucapannya, seperti. Untuk
angka 8 (delapan) dihubungkan dengan kekayaan. Banyak sekali praktek
Feng Shui yang menggunakan angka urutan seperti 88 (kekayaan ganda) dan
888 (kaya dari segi langit, bumi, dan manusia-nya). Sejatinya hokky
atau keberuntungan seseorang selalu ditentukan oleh 3 tipe
keberuntungan, yaitu keberuntungan langit, bumi, dan manusia. Maka tak
heran jika menderetkan angka 8 membawa kepercayaan tentang kekayaan yang
meliputi 3 tipe keberuntungan itu.
KERIS BERTUAH JENDRAL DJOKO
Besarnya kepercayaan Wawan terhadap mitos hokky angka 888 itu
mengingatkan saya pada 200-an bilah keris yang dimiliki Irjen Djoko
Susilo, terpidana kasus korupsi pengadaan alat simulator SIM. Beliau mengoleksi lebih dari 200-an keris pusaka peninggalan kerajaaan-kerajaan tua di seluruh Indonesia. Demi memperoleh keris pusaka, Djoko tak segan menukarnya dengan sebuah rumah berharga miliaran. Keris-keris itu ada orang yang diserahi untuk mengurusnya dan secara rutin “memandikan” dalam ritual khusus tiap malam 1 Suro. Menurut Indrajaya Februharyadi – sang juru rawat keris – harga keris itu tak satu pun yang di bawah ratusan juta rupiah. Ada keris yang harga belinya ditukar dengan rumah senilai Rp. 1,7 milyar.
Ada pula yang dijual dengan harga Rp. 6,4 milyar. Konon salah satu keris ada yang memiliki kesaktian, apabila Djoko Susilo memegangnya maka dia tak akan mempan diapa-apakan. Bahkan tak sehelai rambutnya pun bisa dipotong.
Sayangnya, “paket” kesaktian keris
kurang komplit, karena terbukti KPK bisa menahan Djoko, pengadilan
tipikor bisa memvonisnya bahkan ketika mengajukan banding pun hukuman
Djoko diperberat. Kesaktian 4 pengacara kondang pun tak mampu menolong.
Entah karena Djoko tak memandikan sendiri keris-keris itu, atau karena
ini jaman modern. Jaman dulu, para pendekar, jawara, preman, banyak yang
berburu kesaktian agar tubuhnya tak mempan dibacok, ditusuk, dibakar,
rambut tak bisa putus, dll. Itu dulu, ketika pertarungan antarmanusia
masih sebatas adu fisik, orang harus menjadi superman yang kebal segala
macam. Sekarang, KPK cukup mencari 2 alat bukti, keluarkan sprindik,
jemput dan berikan selembar surat penahanan. Maka, 200 keris pun tak
mampu menghalanginya. Namun, meski banyak asset Djoko yang disita KPK,
200 bilah keris itu tak disentuh KPK. Padahal, kalau keris-keris itu
disita dan kelak dilelang pada kolektor benda antik, lumayan juga
uangnya untuk negara.
===================================
PESUGIHAN ABAD XXI ?
Dulu, sampai sekitar tahun
’70-an, di tengah masyarakat dipercaya ada ritual pesugihan, yaitu cara
cepat memperkaya diri. Ada yang disebut “babi ngepet”,
memelihara tuyul, dan lakon pesugihan lainnya. Para pelaku babi ngepet
misalnya, ada kerja sama antara suami dan istri, di mana ketika sang
suami sedang berubah wujud menjadi babi ngepet yang mencuri harta
kekayaan tetangga sekitarnya, maka si istri “melekan” atau tak
tidur semalaman karena harus menjaga nyala obor agar tak sampai padam.
Dipercaya kalau sampai api padam, maka penyamaran si babi ngepet akan
terbongkar dan digebuki massa, sang suami pun akan celaka bahkan bisa jadi menemui ajal.
Ada pula kepercayaan pesugihan lainnya yang meminta “tumbal”. Tumbal yang diserahkan haruslah
dari orang yang dicintai, entah istri/suami, anak, saudara, bahkan
orang tua sendiri pun dikorbankan. Dalam film-film mistis biasanya
digambarkan orang yang dijadikan tumbal akan mati dengan cara tragis.
Setelah tumbal diserahkan, tak lama pelakon pesugihan akan menuai hasil:
kekayaannya akan bertambah dengan cepat, dagangannya laris manis luar
biasa.
Dalam pesugihan yang
menggunakan babi ngepet atau tuyul, biasanya pelaku pesugihan menjadi
kaya mendadak, sedangkan tetangga sekitarnya justru kehilangan harta
milik mereka. Karena dipercaya memang caranya adalah menyerap kekayaan
tetangga sekitarnya. Saya jadi teringat
hukum kekekalan energi dari Einstein, di mana energi tak bisa
diciptakan maupun dimusnahkan, ia hanya berubah wujud dan berpindah
tempat. Tampaknya pesugihan ini pun berprinsip seperti itu. Harta
kekayaan itu tidak diciptakan (to create, to produce) melainkan hanya memindahkan kekayaan orang lain, menyerap dari pihak lain, untuk dipindah ke pelaku pesugihan.
Wawan dan Djoko adalah
figur yang hidup di jaman modern. Mereka memiliki kuasa, entah kuasa
karena jabatannya atau kuasa karena jabatan kakaknya. Namun, meski
mengaku Islam, keduanya punya kepercayaan pada selain Allah. Djoko
Susilo percaya pada kesaktian keris, Wawan percaya pada hokky angka 888.
Djoko percaya bahwa kedigdayaannya takkan berakhir, Wawan percaya bahwa
kekayaannya akan komplit meliputi langit, bumi dan manusia serta tak
terputus. Demi melanggengkan kepercayaan itu mereka rela merogoh kocek.
Sayangnya, untuk membeli “tuhan” yang dipercaya itu, sumber uangnya pun
tidak halal. Seolah kembali ke masa ketika manusia masih menganut
animisme dan dinamisme, maka “tuhan” itu mengejawantah dalam benda tak
bergerak (animisme) misalnya keris, atau benda bergerak (dinamisme)
misalnya mobil yang sudah ditempeli plat nomor keberuntungan 888. Atut
juga pernah dibentengi para “pendekar” yang konon sakti dan kan berbuat
sesuatu jika KPK berani menahan Atut. Kini, sudah 40 hari Atut
dititipkan di rutan Pondok Bambu, bercampur bersama pelaku kriminal
lainnya, ternyata tak ada sesuatu yang terjadi pada KPK.
Para pendekar
itu pulang dengan bis sewaan ketika KPK menetapkan Atut ditahan.
Kini, pesugihan jaman modern telah
bertransformasi menjadi korupsi. Tumbalnya adalah seluruh rakyat
Indonesia. Mereka tidak seketika mati, tapi mati pelan-pelan karena
kurang gizi, karena terkena runtuhan sekolah yang ambruk, mati karena
tak ada biaya berobat ketika sakit. Intinya sama: menyerap harta benda
milik orang lain (uang negara = uang milik rakyat) untuk diri sendiri,
dengan menjadikan pihak lain sebagai tumbal yang mati mengenaskan.
Meski peradaban manusia telah maju, bulan sudah
dijejak kaki-kaki manusia, planet lain sedang dieksplorasi untuk
dijajagi kemungkinan adanya peluang kehidupan, teknologi sudah
sedemikian canggih, namun terkadang manusia kembali ke insting primitif:
serakah bin loba! Bukankah manusia bisa berkaca pada monyet, yang nyegir
sambil terus berusaha menangkap apa pun makanan yang dilempar ke
arahnya? Kedua tangan dan kaki sudah memegang makanan, tapi belum puas
juga dan masih ingin menangkap kalau ada lagi yang melempari.
Saya sesekali menonton National Geographic
edisi binatang buas. Mereka berkompetisi di alam bebas, siapa cepat dia
dapat mangsa. Namun satu hal, ketika mangsa itu didapat, mereka makan
bersama kelompoknya, jika perut sudah tercukupi, mereka tinggalkan
buruannya. Terkadang sisa buruan yang tak habis dimakan itu menjadi
makanan bagi predator lain. Tak ada ceritanya mereka sembunyikan buruan
dan menyimpannya untuk ditumpuk lagi dan lagi. Padahal, mereka tak punya
jaminan nanti kalau perut lapar lagi, belum tentu ada binatang buruan
lewat. Kalau begitu, manusia sejatinya bisa lebih buas, lebih tamak dari
predator-predator di rimba belantara Afrika. Semua itu bisa terjadi,
ketika manusia menuhankan materi, mabok materi dan tak pernah merasa
puas, tak pernah bisa merasa cukup dengan apa yang sudah diperolehnya.
Semoga saja kita tak jatuh menjadi manusia yang perilakunya lebih buas
dari predator.
Ira Oemar