Belakangan, nama Ir. Tri Rismaharini atau akrab
dipanggil Bu Risma, mendadak jadi incaran media massa, terutama
televisi. Selasa malam, Bu Risma jadi tamu Deddy Corbuzier di acara
Hitam Putih-nya Trans7. Esoknya, Rabu malam jadi tamu Najwa Shihab di
acara Mata Najwa milik Metro TV. Tampaknya, media massa tak mau
kehilangan momentum dengan naiknya popularitas Bu Risma yang seolah
tiba-tiba. Media massa seakan “ketinggalan kereta” dengan fenomena ini.
Selama ini, tokoh politik yang menjadi “besar” dalam skala nasional, pasti tak lepas dari peran media massa yang mengelus-elusnya.
Fenomena mencuatnya popularitas SBY pada tahun 2003-2004 yang
mengantarkannya jadi Presiden pilihan rakyat pada Pilpres 2004, juga
berkat peran media. Begitu pun sosok Dahlan Iskan yang jadi sorotan
mulai dari bersepatu kets ke istana, naik KRL, naik ojek ke istana Bogor
untuk rapat kabinet, mampir makan soto di kaki lima, semua diliput dan
disebarluaskan media. Begitu pun Jokowi, terutama setelah menjadi
Gubernur DKI, yang nyaris seluruh aktivitasnya 7 hari dalam seminggu tak
pernah luput dari kuntitan insan pers.
Bu Risma memang beda. Selama ini beliau “aman” dari
kejaran media. Bagi Bu Risma sendiri, kondisi seperti ini justru
membuatnya nyaman. Warga Surabaya tahu betul, Walikotanya ini memang
“aneh”. Tak suka narsis dengan memajang wajahnya di baliho atau spanduk.
Bahkan di moment yang paling memberikan alasan bagi politisi
dan pejabat untuk memberikan ucapan selamat sambil menampangkan fotonya,
Bu Risma tak mau melakukannya. Saya pulang kampung ke Surabaya saat
lebaran 2013 lalu. Kota Surabaya, dari jalan-jalan protokol sampai jalan
kecil, spanduk di mana-mana, tapi tak satu pun spanduk bergambar wajah
Bu Risma. Tak juga ditemukan papan iklan layanan masyarakat dari
Dinas-Dinas di lingkungan Pemkot Surabaya, yang memajang foto Bu Risma,
seperti umumnya kepala daerah lainnya.
Mendadak, media dikagetkan rilis sejumlah lembaga survey menyajikan hasil polling
tentang capres alternatif. Ternyata nama Bu Risma menjadi “pesaing”
Jokowi, meski tetap di bawah Jokowi. Padahal, jika dipikir-pikir,
peliputan dan blow up atas kerja Bu Risma sangat jauh di
banding Pak Jokowi. Pun Pak Jokowi sudah menjadi Walikota Solo sejak
2005-2012, selama 7 tahun, sebelum akhirnya terpilih jadi Gubernur DKI.
Sementara Bu Risma baru dilantik jadi Walikota Surabaya pada September
2010, alias baru 3,5 tahun memimpin Surabaya, kota metropolitan terbesar
kedua setelah Jakarta.
Ini seakan tamparan bagi media massa mainstream, sekaligus anomali bagi popularitas seorang tokoh. Biasanya, jadi media darling dulu, baru popularitasnya melejit. Kini, seorang tokoh yang sama sekali tak dijadikan media darling kok bisa-bisanya mencuat namanya di jajaran capres alternatif yang diharapkan publik. Media massa mainstream seakan kecolongan, sebab pemberitaan
soal kiprah dan keberhasilan Bu Risma justru lebih banyak ditulis oleh
warga biasa, nonjurnalis, yang menulis di media warga, termasuk Kompasiana.
Lalu kenapa bisa terjadi anomali seperti itu atas sosok Bu Risma? Jawabnya: karena polling itu
melibatkan masyarakat yang melihat langsung hasil kerja Bu Risma,
merasakan benar dampak perubahan yang dilakukan Bu Risma. Kemarin,
selama 4 hari saya berkesempatan pulang ke Surabaya. Melepas kangen
dengan kuliner khas Surabaya dan berbelanja di Pasar Pacar Keling,
adalah ‘agenda’ wajib yang masuk catatan saya. Selama 22 tahun tinggal
di Surabaya Timur dan 17 tahun tinggal di seputaran Pasar Pacar Keling,
membuat saya hafal gang-gang di sekitar sana. Apalagi dulu saya pernah
buka warung makan, jadi kondisi pasar Pacar Keling di pagi sampai malam
hari cukup akrab bagi saya. Saya bahkan hafal lokasi tiap los, sama
hafalnya dengan jalanan sekitarnya yang terdiri dari banyak gang yang
tembus kemana-mana. Maklumlah, kalau ingin cepat sampai ke rumah teman,
ke penjahit langganan, ke kantor kelurahan, ke penjual gado-gado enak,
memang harus melalui jalan pintas dari pasar dan masuk ke gang-gang
tertentu.
Kemarin, saya lihat gang-gang itu jauh lebih bersih
ketimbang 4 tahun lalu. Bahkan salah satu gang yang dekat mulut
gang-nya ada warung tenda kaki lima yang cukup ramai karena menjual
sarapan, tak tampak lagi sampah berceceran. Kondisi pasar memang becek,
maklum kemarinnya turun hujan cukup lebat. Pasar itu memang benar-benar
pasar tradisional yang lantainya masih tanah. Namun, meski becek, pasar
tak lagi sekotor dulu, tumpukan sampah di mana-mana. Jalan utama pasar
yang memisahkan dengan toko-toko pun relatif bersih dan kini kalau pagi
ditempati para penjual kue tradisional yang menggelar dagangan di
emperan toko. Beberapa gang sempat saya ambil gambarnya. Gang yang
kiri-kanannya padat rumah penduduk, tapi kebersihannya terjaga.
Jalan Raya Darmo juga terlihat bersih. Terminal
angkot dan bis kota yang terletak di tengah kota, persis di samping
Kebun Binatang Surabaya, juga ditata “beranda”nya. Ada tulisan
“Joyoboyo” (nama terminal), bukan dari papan nama tapi dari deretan
abjad sebagaimana lazimnya sebuah taman. Di sekitar tulisan itu juga
ditanami bunga-bungaan. Meski hanya di bagian depan, tapi taman itu
cukup mempercantik terminal Joyoboyo yang sejak dulu tak pernah diberi
taman.
Selasa siang Surabaya sempat diguyur hujan yang
cukup lebat selama kurang lebih 2 jam. Begitu hujan mereda, saya dan
teman saya kembali menyusuri jalanan Surabaya, saat sudah lewat senja
hari. “Coba lihat, genangan airnya sudah surut kan?!” kata
teman saya. Benar juga, jalanan sama sekali tak dipenuhi genangan air.
Sisa air hujan begitu cepat terserap, tak menyisakan genangan yang
membahayakan pemakai jalan terutama pengendara motor. Terasa benar
bedanya dengan Surabaya 4 tahun lalu, kalau hujan cukup lebat, genangan
air tak segera surut.
Itulah Surabaya kini, setelah 3,5 tahun “ditangani” Bu Risma. “Aku pernah ketemu dia,”
kata teman saya. Saat itu teman saya keluar dari Surabaya Mall atau
yang kini disebut Hitech Mall, membeli perangkat komputer, kebetulan di
depannya ada taman kota. Saat itulah dia melihat Bu Risma sibuk memberi
instruksi pada pekerja yang merawat taman. Begitulah Bu Risma, dengan
kompetensinya sebagai Arsitek, beliau terjun langsung membenahi dan
membangun Surabaya yang panas menjadi lebih hijau dan asri.
Masih ingat kasus contek massal yang menimpa sebuah
SD di Surabaya pada April 2011 lalu? Saat itu Ibu S, ibunda dari siswa
Al yang dijadikan joki contekan, justru dimusuhi warga sekitar yang juga
orang tua murid dari teman-teman sekolah Al, karena dianggap gara-gara
ibu S-lah kasus itu jadi pemberitaan. Saat itu, Bu Risma pagi-pagi
mendatangi rumah Ibu S. Bahkan menurut pengakuan Ibu S di TV swasta, dia
tak tahu siapa yang datang padanya. Baru setelah Bu Risma
memperkenalkan dirinya sebagai walikota, Ibu S sadar siapa yang datang
ke rumahnya sepagi itu. Bu Risma, dalam jabatan dan kesibukannya menata
kota, tetaplah seorang wanita dengan naluri keibuannya. Untuk kasus
semacam itu, beliau mengedepankan sisi kewanitaannya untuk mengayomi
warganya.
Tapi jangan coba-coba mengkadali Bu Risma. Beliau
tak segan-segan marah meski disorot media TV, ketika kontraktor sebuah
proyek dianggap melenceng dari desain bestek yang seharusnya. Bu Risma
tak takut tampil “jelek” karena marah, sebab ia memang perlu marah
menghadapi hal-hal seperti itu. Bu Risma juga bisa marah pada
siswa-siswa yang dugem di tempat hiburan malam, bak seorang ibu yang
memarahi anaknya yang bandel. Bu Risma selalu tampil apa adanya. Dia
memang bukan politisi yang pandai menyimpan kepura-puraan. Bu Risma juga
tak kenal kompromi, padahal kompromi adalah keniscayaan dalam permainan
poltiik. Karena itu, tak heran jika parpol-parpol pernah mengeroyoknya
ketika masa jabatannya baru berjalan 100 hari.
Ketika kepala daerah lainnya sibuk mengajukan
beragam argumen untuk menutupi ketidakberanian mereka mengambil langkah
kontroversial untuk menutup tempat prostitusi, Bu Risma mencoba
melakukannya. Bukan karena paksaan ormas keagamaan, tapi karena
pertimbangan kemanusiaan. “Mereka seharusnya punya masa depan yang lebih baik,”
katanya di acara Hitam Putih. Saat itu Bu Risma cerita tentang seorang
PSK yang menurunkan profesinya pada putrinya, padahal si anak masih
bersekolah di SMP dan juara kelas pula. Bahkan kini si anak berhasil
masuk SMA yang bagus di Surabaya. Karena itulah Bu Risma bertekad
mengentaskan mereka dari kubangan pekerjaan nista. “Kalau umurnya sudah di atas 20 tahun, biarin aja Bu!” celetuk Deddy Corbuzier, sang host.
Kontan Bu Risma tak setuju. Bukan begitu cara berpikir seorang
pemimpin, katanya. Semua harus dibina dan dilindungi. Perjuangan Bu
Risma yang bertekad akan menjadikan kota Surabaya bebas prostitusi sudah
dimulai sejak 2 tahun lalu, pernah saya tuliskan DISINI.
Kini, Bu Risma mendadak muncul menjadi the new rising star. Bintang yang sinarnya tidak diasah oleh media massa, bahkan sempat luput dari over exposed media mainstream. Sepi ing pamrih, rame ing gawe,
mungkin pepatah Jawa ini tepat disandangkan pada Bu Risma. Beliau
bekerja, turun langsung ke lapangan, memegang sapu jalanan, menarik
selang air mobil PMK, berlarian ke sana kemari dengan handy talkie
di tangan sambil memberi instruksi, mengajak lurah dan camat meninjau
titik-titik genangan air saat hujan turun, semua itu dilakukannya nyaris
tanpa sorot kamera dan pemberitaan media massa. Warga mendengarnya dari
cerita mulut ke mulut, lalu mereka lihat dan rasakan sendiri hasilnya.
Cobalah datang ke Surabaya, ajak bicara warga Surabaya biasa, mereka
bangga dengan “ibu” walikota mereka.
“Mengubah mindset dan habit”,
itu yang dikatakan Bu Risma saat diwawancara Metro TV beberapa waktu
lalu tentang kiatnya mengajak warga Surabaya membangun kotanya. Sebab,
jika mindset dan habit itu sudah tertanam dalam diri
warga kota, maka siapa pun pemimpinnya, meski Bu Risma tak lagi
menjabat, pemeliharaan kota tetap berlanjut. Tak heran kalau
pendekatannya itu didukung penuh warga Surabaya. Salah satu dampaknya
pernah saya tuliskan DISINI, Surabaya dinobatkan sebagai kota terbaik se-Asia Pasifik dari sisi partisipasi warganya.
Sayangnya, sosok yang memilih menghindar dari
hiruk-pikuk politik dan menolak kompromi dengan politisi ini justru
dikepung beragam intrik politik. Tak hanya dari parpol lain di DPRD
Surabaya, namun justru dari parpol yang dulu meminang dan mengusungnya:
PDI Perjuangan Kota Surabaya. Bahkan Wakil Walikota yang saat ini
dipaksakan berdampingan dengannya, juga politisi PDIP yang dulu pernah
jadi inisiator pemakzulan Bu Risma. Saya menuliskannya DISINI.
Onak duri yang membuat Bu Risma harus jatuh bangun sejak pertama kali
dicalonkan jadi Walikota, terutama karena beliau BUKAN KADER PDIP,
pernah saya tuliskan DISINI.
Orang baik, pekerja keras, punya kompetensi teknis,
birokrat ulung yang memulai karir dari awal di lingkungan Pemkot
Surabaya, lurus dan tak kenal kompromi, bisa juga kelelahan ketika
intrik politik mengepungnya. Mungkin itu yang membuat air matanya
mengalir deras di Mata Najwa. Air mata seorang ibu yang berbicara banyak
tentang betapa besarnya tekanan politis yang dihadapinya. Kuatkan
hatimu, Bu Risma, warga Surabaya masih membutuhkanmu. Parpol dan
politisi bisa saja menjegalmu, tapi rakyat di belakangmu, selama engkau
bersama mereka. Indonesia butuh figur-figur seperti Bu Risma.
Ira Oemar