Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Bu Risma Sosok Yang Dirindukan Publik

13 Februari 2014 | 13.2.14 WIB Last Updated 2014-02-13T14:39:44Z


Belakangan, nama Ir. Tri Rismaharini atau akrab dipanggil Bu Risma, mendadak jadi incaran media massa, terutama televisi. Selasa malam, Bu Risma jadi tamu Deddy Corbuzier di acara Hitam Putih-nya Trans7. Esoknya, Rabu malam jadi tamu Najwa Shihab di acara Mata Najwa milik Metro TV. Tampaknya, media massa tak mau kehilangan momentum dengan naiknya popularitas Bu Risma yang seolah tiba-tiba. Media massa seakan “ketinggalan kereta” dengan fenomena ini.

Selama ini, tokoh politik yang menjadi “besar” dalam skala nasional, pasti tak lepas dari peran media massa yang mengelus-elusnya. Fenomena mencuatnya popularitas SBY pada tahun 2003-2004 yang mengantarkannya jadi Presiden pilihan rakyat pada Pilpres 2004, juga berkat peran media. Begitu pun sosok Dahlan Iskan yang jadi sorotan mulai dari bersepatu kets ke istana, naik KRL, naik ojek ke istana Bogor untuk rapat kabinet, mampir makan soto di kaki lima, semua diliput dan disebarluaskan media. Begitu pun Jokowi, terutama setelah menjadi Gubernur DKI, yang nyaris seluruh aktivitasnya 7 hari dalam seminggu tak pernah luput dari kuntitan insan pers.

13922862375049902
Salah satu gang sempit padat penduduk di Pacar Keling, sekitar 50-an meter dari pasar tradisional besar. Tampak asri, bersih dan rapi. (Foto : pribadi)

Bu Risma memang beda. Selama ini beliau “aman” dari kejaran media. Bagi Bu Risma sendiri, kondisi seperti ini justru membuatnya nyaman. Warga Surabaya tahu betul, Walikotanya ini memang “aneh”. Tak suka narsis dengan memajang wajahnya di baliho atau spanduk. Bahkan di moment yang paling memberikan alasan bagi politisi dan pejabat untuk memberikan ucapan selamat sambil menampangkan fotonya, Bu Risma tak mau melakukannya. Saya pulang kampung ke Surabaya saat lebaran 2013 lalu. Kota Surabaya, dari jalan-jalan protokol sampai jalan kecil, spanduk di mana-mana, tapi tak satu pun spanduk bergambar wajah Bu Risma. Tak juga ditemukan papan iklan layanan masyarakat dari Dinas-Dinas di lingkungan Pemkot Surabaya, yang memajang foto Bu Risma, seperti umumnya kepala daerah lainnya.

13922863321134916494
Gang lainnya yang juga menuju ke pasar tradisional Pacar Keling, di pagi hari saat ramai orang berbelanja. Meski ada warung makan, tak ada sampah berserakan (foto : pribadi)

Mendadak, media dikagetkan rilis sejumlah lembaga survey menyajikan hasil polling tentang capres alternatif. Ternyata nama Bu Risma menjadi “pesaing” Jokowi, meski tetap di bawah Jokowi. Padahal, jika dipikir-pikir, peliputan dan blow up atas kerja Bu Risma sangat jauh di banding Pak Jokowi. Pun Pak Jokowi sudah menjadi Walikota Solo sejak 2005-2012, selama 7 tahun, sebelum akhirnya terpilih jadi Gubernur DKI. Sementara Bu Risma baru dilantik jadi Walikota Surabaya pada September 2010, alias baru 3,5 tahun memimpin Surabaya, kota metropolitan terbesar kedua setelah Jakarta.

Ini seakan tamparan bagi media massa mainstream, sekaligus anomali bagi popularitas seorang tokoh. Biasanya, jadi media darling dulu, baru popularitasnya melejit. Kini, seorang tokoh yang sama sekali tak dijadikan media darling kok bisa-bisanya mencuat namanya di jajaran capres alternatif yang diharapkan publik. Media massa mainstream seakan kecolongan, sebab pemberitaan soal kiprah dan keberhasilan Bu Risma justru lebih banyak ditulis oleh warga biasa, nonjurnalis, yang menulis di media warga, termasuk Kompasiana.

13922864141263184403
Gang yang lain lagi yang juga menuju ke pasar Pacar Keling, sama bersihnya (foto : pribadi)

Lalu kenapa bisa terjadi anomali seperti itu atas sosok Bu Risma? Jawabnya: karena polling itu melibatkan masyarakat yang melihat langsung hasil kerja Bu Risma, merasakan benar dampak perubahan yang dilakukan Bu Risma. Kemarin, selama 4 hari saya berkesempatan pulang ke Surabaya. Melepas kangen dengan kuliner khas Surabaya dan berbelanja di Pasar Pacar Keling, adalah ‘agenda’ wajib yang masuk catatan saya. Selama 22 tahun tinggal di Surabaya Timur dan 17 tahun tinggal di seputaran Pasar Pacar Keling, membuat saya hafal gang-gang di sekitar sana. Apalagi dulu saya pernah buka warung makan, jadi kondisi pasar Pacar Keling di pagi sampai malam hari cukup akrab bagi saya. Saya bahkan hafal lokasi tiap los, sama hafalnya dengan jalanan sekitarnya yang terdiri dari banyak gang yang tembus kemana-mana. Maklumlah, kalau ingin cepat sampai ke rumah teman, ke penjahit langganan, ke kantor kelurahan, ke penjual gado-gado enak, memang harus melalui jalan pintas dari pasar dan masuk ke gang-gang tertentu.

13922864661335220374
Salah satu gang yang relatif lebih lebar sehingga bisa dilewati mobil. Tetap bersih. Gapura di kejauhan adalah gerbang pasar tradisional Pacar Keling (foto : pribadi)

Kemarin, saya lihat gang-gang itu jauh lebih bersih ketimbang 4 tahun lalu. Bahkan salah satu gang yang dekat mulut gang-nya ada warung tenda kaki lima yang cukup ramai karena menjual sarapan, tak tampak lagi sampah berceceran. Kondisi pasar memang becek, maklum kemarinnya turun hujan cukup lebat. Pasar itu memang benar-benar pasar tradisional yang lantainya masih tanah. Namun, meski becek, pasar tak lagi sekotor dulu, tumpukan sampah di mana-mana. Jalan utama pasar yang memisahkan dengan toko-toko pun relatif bersih dan kini kalau pagi ditempati para penjual kue tradisional yang menggelar dagangan di emperan toko. Beberapa gang sempat saya ambil gambarnya. Gang yang kiri-kanannya padat rumah penduduk, tapi kebersihannya terjaga.

Jalan Raya Darmo juga terlihat bersih. Terminal angkot dan bis kota yang terletak di tengah kota, persis di samping Kebun Binatang Surabaya, juga ditata “beranda”nya. Ada tulisan “Joyoboyo” (nama terminal), bukan dari papan nama tapi dari deretan abjad sebagaimana lazimnya sebuah taman. Di sekitar tulisan itu juga ditanami bunga-bungaan. Meski hanya di bagian depan, tapi taman itu cukup mempercantik terminal Joyoboyo yang sejak dulu tak pernah diberi taman.

1392286572665823215
Layanan masyarakat mulai dari tingkat Kelurahan, Kecamatan, sampai Dinas-Dinas di lingkungan Pemkot Surabaya kini GRATIS (foto : pribadi)

Selasa siang Surabaya sempat diguyur hujan yang cukup lebat selama kurang lebih 2 jam. Begitu hujan mereda, saya dan teman saya kembali menyusuri jalanan Surabaya, saat sudah lewat senja hari. “Coba lihat, genangan airnya sudah surut kan?!” kata teman saya. Benar juga, jalanan sama sekali tak dipenuhi genangan air. Sisa air hujan begitu cepat terserap, tak menyisakan genangan yang membahayakan pemakai jalan terutama pengendara motor. Terasa benar bedanya dengan Surabaya 4 tahun lalu, kalau hujan cukup lebat, genangan air tak segera surut.

Itulah Surabaya kini, setelah 3,5 tahun “ditangani” Bu Risma. “Aku pernah ketemu dia,” kata teman saya. Saat itu teman saya keluar dari Surabaya Mall atau yang kini disebut Hitech Mall, membeli perangkat komputer, kebetulan di depannya ada taman kota. Saat itulah dia melihat Bu Risma sibuk memberi instruksi pada pekerja yang merawat taman. Begitulah Bu Risma, dengan kompetensinya sebagai Arsitek, beliau terjun langsung membenahi dan membangun Surabaya yang panas menjadi lebih hijau dan asri.

139228664242888592
Upaya menghapus retribusi di Dinas-Dinas Pemkot, tulisan dipampang dimana-mana (foto : pribadi)

Masih ingat kasus contek massal yang menimpa sebuah SD di Surabaya pada April 2011 lalu? Saat itu Ibu S, ibunda dari siswa Al yang dijadikan joki contekan, justru dimusuhi warga sekitar yang juga orang tua murid dari teman-teman sekolah Al, karena dianggap gara-gara ibu S-lah kasus itu jadi pemberitaan. Saat itu, Bu Risma pagi-pagi mendatangi rumah Ibu S. Bahkan menurut pengakuan Ibu S di TV swasta, dia tak tahu siapa yang datang padanya. Baru setelah Bu Risma memperkenalkan dirinya sebagai walikota, Ibu S sadar siapa yang datang ke rumahnya sepagi itu. Bu Risma, dalam jabatan dan kesibukannya menata kota, tetaplah seorang wanita dengan naluri keibuannya. Untuk kasus semacam itu, beliau mengedepankan sisi kewanitaannya untuk mengayomi warganya.

1392286717353486935
Taman Pelangi, salah satu taman kota di Surabaya. Foto diambil malam hari (foto : koleksi pribadi milik teman penulis)

Tapi jangan coba-coba mengkadali Bu Risma. Beliau tak segan-segan marah meski disorot media TV, ketika kontraktor sebuah proyek dianggap melenceng dari desain bestek yang seharusnya. Bu Risma tak takut tampil “jelek” karena marah, sebab ia memang perlu marah menghadapi hal-hal seperti itu. Bu Risma juga bisa marah pada siswa-siswa yang dugem di tempat hiburan malam, bak seorang ibu yang memarahi anaknya yang bandel. Bu Risma selalu tampil apa adanya. Dia memang bukan politisi yang pandai menyimpan kepura-puraan. Bu Risma juga tak kenal kompromi, padahal kompromi adalah keniscayaan dalam permainan poltiik. Karena itu, tak heran jika parpol-parpol pernah mengeroyoknya ketika masa jabatannya baru berjalan 100 hari.

13922867811447477641
Taman Pelangi di malam hari (foto : koleksi pribadi milik teman penulis)

Ketika kepala daerah lainnya sibuk mengajukan beragam argumen untuk menutupi ketidakberanian mereka mengambil langkah kontroversial untuk menutup tempat prostitusi, Bu Risma mencoba melakukannya. Bukan karena paksaan ormas keagamaan, tapi karena pertimbangan kemanusiaan. “Mereka seharusnya punya masa depan yang lebih baik,” katanya di acara Hitam Putih. Saat itu Bu Risma cerita tentang seorang PSK yang menurunkan profesinya pada putrinya, padahal si anak masih bersekolah di SMP dan juara kelas pula. Bahkan kini si anak berhasil masuk SMA yang bagus di Surabaya. Karena itulah Bu Risma bertekad mengentaskan mereka dari kubangan pekerjaan nista. “Kalau umurnya sudah di atas 20 tahun, biarin aja Bu!” celetuk Deddy Corbuzier, sang host. Kontan Bu Risma tak setuju. Bukan begitu cara berpikir seorang pemimpin, katanya. Semua harus dibina dan dilindungi. Perjuangan Bu Risma yang bertekad akan menjadikan kota Surabaya bebas prostitusi sudah dimulai sejak 2 tahun lalu, pernah saya tuliskan DISINI.

1392286883265924778
Sungai Kalimas kini bisa jadi tempat rekreasi keluarga, tak lagi kumuh dan penuh sampah. Foto diambil malam hari (foto : koleksi pribadi milik teman penulis)

Kini, Bu Risma mendadak muncul menjadi the new rising star. Bintang yang sinarnya tidak diasah oleh media massa, bahkan sempat luput dari over exposed media mainstream. Sepi ing pamrih, rame ing gawe, mungkin pepatah Jawa ini tepat disandangkan pada Bu Risma. Beliau bekerja, turun langsung ke lapangan, memegang sapu jalanan, menarik selang air mobil PMK, berlarian ke sana kemari dengan handy talkie di tangan sambil memberi instruksi, mengajak lurah dan camat meninjau titik-titik genangan air saat hujan turun, semua itu dilakukannya nyaris tanpa sorot kamera dan pemberitaan media massa. Warga mendengarnya dari cerita mulut ke mulut, lalu mereka lihat dan rasakan sendiri hasilnya. Cobalah datang ke Surabaya, ajak bicara warga Surabaya biasa, mereka bangga dengan “ibu” walikota mereka.

13922869731438266469
Sungai Kalimas di siang hari (foto : koleksi pribadi teman penulis)

“Mengubah mindset dan habit”, itu yang dikatakan Bu Risma saat diwawancara Metro TV beberapa waktu lalu tentang kiatnya mengajak warga Surabaya membangun kotanya. Sebab, jika mindset dan habit itu sudah tertanam dalam diri warga kota, maka siapa pun pemimpinnya, meski Bu Risma tak lagi menjabat, pemeliharaan kota tetap berlanjut. Tak heran kalau pendekatannya itu didukung penuh warga Surabaya. Salah satu dampaknya pernah saya tuliskan DISINI, Surabaya dinobatkan sebagai kota terbaik se-Asia Pasifik dari sisi partisipasi warganya.

1392287069641571640
Surabaya Heritage Track Bus, buat yang ingin berkeliling kota melihat warisan budaya Surabaya (foto : koleksi pribadi teman penulis)

Sayangnya, sosok yang memilih menghindar dari hiruk-pikuk politik dan menolak kompromi dengan politisi ini justru dikepung beragam intrik politik. Tak hanya dari parpol lain di DPRD Surabaya, namun justru dari parpol yang dulu meminang dan mengusungnya: PDI Perjuangan Kota Surabaya. Bahkan Wakil Walikota yang saat ini dipaksakan berdampingan dengannya, juga politisi PDIP yang dulu pernah jadi inisiator pemakzulan Bu Risma. Saya menuliskannya DISINI. Onak duri yang membuat Bu Risma harus jatuh bangun sejak pertama kali dicalonkan jadi Walikota, terutama karena beliau BUKAN KADER PDIP, pernah saya tuliskan DISINI.

1392287190808762828
Taman Jayengrono, Jembatan Merah (foto : koleksi pribadi teman penulis)

Orang baik, pekerja keras, punya kompetensi teknis, birokrat ulung yang memulai karir dari awal di lingkungan Pemkot Surabaya, lurus dan tak kenal kompromi, bisa juga kelelahan ketika intrik politik mengepungnya. Mungkin itu yang membuat air matanya mengalir deras di Mata Najwa. Air mata seorang ibu yang berbicara banyak tentang betapa besarnya tekanan politis yang dihadapinya. Kuatkan hatimu, Bu Risma, warga Surabaya masih membutuhkanmu. Parpol dan politisi bisa saja menjegalmu, tapi rakyat di belakangmu, selama engkau bersama mereka. Indonesia butuh figur-figur seperti Bu Risma.

Ira Oemar
×
Berita Terbaru Update