Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Gadis Kecil yang Keras Kepala

7 Desember 2012 | 7.12.12 WIB Last Updated 2012-12-08T15:58:13Z

“Aku mau bersekolah,” ucap seorang gadis kecil kepada ibunya.

“Nak, kamu masih kecil,” jawab ibunya sembari tersenyum sayang.

“Tetapi, aku mau bersekolah seperti anak-anak yang lain!” pintanya.

“Belum cukup umur kamu. Nanti kalau sudah berumur, kamu bisa bersekolah,” tegas ibunya sembari meniup api tungku di dapur.

“Bagaimanapun juga aku mau bersekolah. Aku sudah cukup umur!” kerasnya.

Tercenung ibunya sejenak mendengar ucapan anak perempuannya yang bersikeras hendak bersekolah juga. Sebelumnya memang keluar beberapa kali perkataan dari mulut sang anak tentang keinginannya mau belajar cepat yang tidak dimasukkan benar ke dalam hatinya. Jadi, terkejut sekali dia mendengar tuntutan keras anaknya tersebut. Dia mesti mengutarakan alasan yang lebih nyata untuk memadamkan api unggun yang bergelora dalam dada anaknya.

“Anak-anak mulai masuk SD kalau sudah berusia 8 tahun. Guru sekolah tak bakalan menerimamu,” tutup ibunya.

Sang anak terdiam mematung sambil menerawang jauh melewati jendela dapur yang berkayu lapuk berjelaga. Sang ibu meneruskan pekerjaannya dengan senang karena berhasil menyampaikan kebenaran telak yang tidak bisa ditolak kepada anak perempuannya itu. Tidak menuntut lagi sang anak dan berlalu dari hadapannya yang membuatnya merasa menang. Hanya udara kesenyapan yang tertinggal di dapur petang dengan asap tungku yang mengambang.

Ternyata persoalannya tidak selesai sampai di situ bersebab sang anak melangkah menemui ayahnya yang baru balik dari sawah. Sang ayah yang melihat wajah sang anak bisa segera merasakan sesuatu yang tidak beres.

“Bagaimana pun juga aku mau bersekolah,” kata anaknya dengan tiba-tiba.
Ucapan ini memberikan bukti bahwa sang ibu gagal memadamkan api unggun keinginan kuat sang anak untuk bersekolah.

“Apa kata ibumu?” tanya sang ayah.

“Ibu bilang aku belum cukup umur. Tetapi, katakan saja kepada guru kalau aku sudah berumur 8 tahun. Apa susahnya berkata begitu?,” putusnya dengan nada suara yang membara.

Tercenung sang ayah dan keras berpikir apa yang harus dilakukannya untuk menanggapi tuntutan anaknya yang keras kepala tersebut.

Dusun kecil di mana gadis itu bermukim hanya dihuni oleh sekitar 20 orang penduduk saja yang mencari nafkah dari bertani. Dusun yang berdiri di punggung bukit itu secara geografi tidak diberkahi sawah ladang yang cukup sehingga penghuninya harus turun naik bukit setiap hari untuk bertani. Juga, tempayan air mesti diisi setiap hari yang airnya diperoleh dari perigi yang terdapat di lembah yang dalam. Perlu berhati-hati sekali melalui jalan setapak yang curam menuju perigi tersebut.

Tidak seorang pun generasi orang tuanya yang pernah mengecap pendidikan di sekolah. Seperti di dusun yang lain, bocah-bocah dusun ini enggan bersekolah dan lebih senang bercengkerama bersama kawannya dalam dusun atau membantu orang tuanya di ladang atau di sawah. Orang tua mereka sendiri menganut pandangan yang baku bahwa bersekolah tidak ada gunanya karena pada akhirnya akan ke sawah juga.

Lagi pula, anak-anak tidak tertarik menghadapi meja berjam-jam di sekolah sesudah menapaki jalan tanah berbatu-batu dengan kaki ayam. Kala itu, sandal, apalagi sepatu, belum lagi menjadi bagian dari peradaban mereka. Jalan buruk yang berlubang lumpur menghubungi dusun dan SD yang ditempuh hampir sejam perjalanan dengan kaki-kaki mungil mereka. Jalannya lengang yang berkelok-kelok penuh tanjakan diselingi oleh hutan-hutan gelap yang suram di kiri kanannya dengan penduduk pribumi asli yang masih banyak berkeliaran seperti beruk, babi hutan, rusa, gajah, harimau, beruang, dan sebagainya. Manakala turun hujan, perlu kiat yang khusus untuk berhasil melewati jalan pendakian yang curam dan licin itu.

Bagaimana pun juga kondisi jalan, jauhnya sekolah, dan kesadaran orang tua yang rendah akan pentingnya pendidikan membunuh minat anak-anak bersekolah. Tidak tepercik keinginan untuk berusaha merayap keluar dari kemiskinan yang menyelimuti kehidupannya lewat bangku sekolah. Namun, berbeda dengan anak-anak yang lain, anak gadis itu tidak pernah memalingkan muka dari gambaran kehidupan sekolah yang senantiasa membayang di pelupuk matanya.

“Usia anak ini berapa tahun, Pak!” tanya guru yang bertugas pada hari penerimaan murid baru di SD yang dilangsungkan di halaman sekolah.

“Delapan tahun,” kata ayahnya.

Sang guru memandangi anak gadis itu dari dari rambut sampai kakinya sembari menerka-nerka usia sang anak yang sesungguhnya. Terlihat jelas bahwa badan sang anak jauh lebih kecil dibandingkan anak-anak yang berusia 8 tahun.

“Betul dia sudah 8 tahun?” curiganya.

“Betul!” kata sang ayah yang berusaha tenang. Pertanyaan dan sorotan mata sang guru yang beraroma kecurigaan itu mengkhawatirkan perasaan keduanya.

“Dia lahir tahun berapa?” tanya guru lagi.

“Tahun 1936,” jawab sang ayah pasti.

Sang guru manggut-manggut dengan kecurigaan yang masih tersisa di raut wajahnya, tetapi tidak bisa dia memeriksa lebih lanjut akan bukti kelahirannya bersebab catatan kelahiran belum lagi hadir pada masa itu.

Sang guru memandangi sang anak sembari berkata, “Bisa berhitung?”

“Bisa,” jawab sang anak.

“Coba sebutkan angka satu sampai sepuluh,” uji guru itu.

“Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh,” tutur sang anak lancar.

“Tiga tambah empat berapa?” tanya guru.

“Tujuh,” jawabnya.

“Sepuluh kurang empat berapa?” tanya guru lagi.

“Enam,” jawab sang anak penuh percaya diri.

Beberapa pertanyaan lagi yang dilemparkan kepada sang anak mengakhiri ujian masuk tersebut. Sang guru mencantumkan nama “Chadidjah” dengan kelahiran tanggal 12 Mei 1936 di dalam bukunya. Dengan begitu, resmilah dia tercatat sebagai salah seorang murid baru di SD Kayupasak yang terletak di pedalaman Sumatra itu. Boleh jadi sang guru menjadi senang juga karena sekolahnya selalu defisit murid waktu itu.

Keduanya meninggalkan gedung sekolah menuju dusunnya. Sang anak yang hasratnya sudah terkabul itu banyak berbicara kepada ayahnya dengan wajah yang berseri-seri. Kepalanya dipenuhi oleh kehidupan sekolah yang bakal menyenangkan. Tidak ada kata yang mampu mewakili suasana hatinya. Mentari menguakkan awan-kemawan dan menyembulkan wajah cemerlangnya di atas langit. Senyuman yang melimpah ruah berceceran di sepanjang jalan pulang yang beroma bunga-bunga. Hatinya dipenuhi oleh nyanyian burung yang ceria dan pelangi yang berwarna-warni menghiasi langit yang ikut bergembira. Sementara itu sang ayah hanya tersenyum pahit mendengarkan apa yang dicelotehkan anak gadisnya yang keras kepala itu. Malam harinya pulas amat sang anak tidur di lapik usang sembari memetiki bintang-bintang gemerlapan yang disisipkan di sela-sela rambutnya.

Keinginan belajar yang kuat yang didasari oleh motivasi dari dalam diri sendiri membuat sang gadis tidak mau kalah bersaing dengan seorang murid laki-laki yang terpintar untuk memperebutkan peringkat teratas di kelasnya. Waktu itu, pensil dan buku tulis belum lagi bisa diperoleh. Dia selalu menyimak pelajaran dari gurunya dengan rajin dan menyimpan semua data itu dalam memori kepalanya. Dengan begitu, kehidupan SD dilaluinya dengan baik. Sesudah melanjutkan pelajaran ke SMP yang terletak hampir dua jalan kaki dari dusunnya, dia melanjutkan pelajaran ke sekolah pendidikan guru SD yang ada di sebuah kota kecil. Usai menamatkan Sekolah Pendidikan Guru, dia balik ke dusunnya, diterima mengajar di SD almamaternya, dan menerima seseorang menjadi suaminya.

Beberapa tahun sesudah kelahiran anaknya yang kedua, disadarinya bahwa bermukim terus di dusun tidak memungkinkan bagi anaknya beroleh pendidikan yang tinggi dan akan hidup begitu saja tanpa perubahan. Dia tidak mau tunduk pada nasib dan jalan hidup mesti diubah dengan kekuatan sendiri. Jadi, dengan bulat tekad dia meninggalkan kedua anaknya di dusun dan melanjutkan pendidikan ke IKIP Padang. Selepas perguruan tinggi, dia bisa mengajar di suatu SD di kota itu yang membuatnya bisa menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin. Tatkala menjadi kepala sekolah, tempat mengajarnya ditetapkan sebagai SD teladan karena prestasi murid-murid sekolahnya yang tinggi. Terakhir dia menjabat sebagai penilik sekolah dan menikmati masa pensiunnya dengan damai sambil lebih banyak mencempulungkan diri dalam kegiatan sosial.

Sesudah lama menetap di Padang, dia bercerita kepada banyak orang tentang kebohongan usia yang disampaikan oleh ayahnya waktu dia mendaftarkan diri di SD Kayupasak. Sebetulnya, dia lahir bukan tahun 1936 melainkan tahun 1938. Untungnya, tidak merugikan orang yang lain. Tahun kelahiran yang salah tersebut terus tercantum dalam berkas-berkas identitas yang dimilikinya. Kalau saja dia tidak bersikeras mau bersekolah dalam usia yang masih mentah itu, entah bagaimana jalan hidupnya, entah bagaimana masa depan anak-anaknya, dan entah bagaimana kondisi dusunnya sekarang ini.

Kesadaran yang kuat akan pentingnya pendidikan bagi anak-anak dusun agar bisa maju sebagaimana yang sudah dia buktikan, mendorongnya seringkali pulang kampung. Selalu dia menganjurkan dengan antusias kepada orang dusun betapa pentingnya menyekolahkan anak-anak setinggi mungkin. Usahanya yang gigih tersebut membuahkan hasil yang besar dan membuat banyak anak-anak dusun menjadi melek huruf dan banyak yang sudah menyelesaikan program pascasarjana.

Tidak pelak lagi keberhasilannya memengaruhi cara pikir orang dusun tempat kelahirannya dan dusun tetangganya. Itu bisa dipandang sebagai selembar halaman yang gemerlapan dalam catatan hidupnya.
Seringkali dia berucap bahwa boleh jadi anak-anak dusun kurang gizi, tetapi usaha yang keras, tahu berterima kasih, tidak berkata sinis, rendah diri, dan berhubungan baik dengan banyak orang akan menjadi tiang penting penyangga keberhasilan dalam hidup.

“Berhentilah meratapi nasib dan sebaliknya selalulah berusaha keras untuk menciptakan hidup yang diinginkan. Kita harus belajar dari masa lalu dan menjalani hidup sekarang dengan serius untuk membuat kehidupan yang terbaik di masa depan,” nasihatnya. Memang, terhadap anak-anaknya sendiri dia sangat keras.

Perempuan itu meninggal pada 2006 dan anak-anaknya meneruskan usahanya membantu pendidikan anak-anak dusun yang tidak begitu tersentuh oleh jaminan kesejahteraan sosial sebagaimana yang tercantum jelas dalam UUD 45. Aku yakini bahwa di dunia sana ibuku sangat berbahagia dan berterima kasih kepada banyak orang tua asuh di luar negeri yang terus memberikan beasiswa kepada anak-anak dusun di Indonesia.

Aku yakini dia adalah mutiara yang memberikan sinar inspirasi abadi bagi anak-anaknya dan orang dusun tempat dia dilahirkan.

Edizal

Ctt: Semoga kisah perjalanan hidup ibuku di atas bisa mengingatkan banyak pembaca bahwa perlu usaha keras dalam hidup dan tidak meratapi nasib yang menimpa diri.
×
Berita Terbaru Update