SALIM, 50 tahun, seperti pagi kemarin sudah berdiri di depan rumah di samping bajaj-nya. Ia rutin mengantar sekolah anak kami. Lampu kiri kendaraan roda tiga itu sudah sompak. Ban belakang kirinya rata. Kendati bajaj itu terkesan ringkih bermasalah, kendaraan itulah penupang panjang kehidupan Salim sekeluarga. Ketegaran Salim, kepeduliannya kepada anak-anak, membuat kami menyerahkan antar jemput sekolah, walaupun fisik bajajnya oglek-oglek.
Setiap pagi ia membanggakan ke saya bahwa stiker Jakarta Baru dengan latar kotak-kotak di depan kaca kusam bajajnya tak akan ia copot. Salim pendukung fanatik Jokowi maju sebagai gubernur DKI. Ia memotivasi para abang bajaj lainnya, termasuk kalangan marjinal, turut militan mengganti gubernur tak membumi. Bak politikus ulung bunyi di tivi, Salim pun piawai mengamati.
Pagi ini dengan senyum cerah, ia bercerita kepada saya, membaca sebuah harian ibu kota, bahwa Jokowi, Rabu kemarin menerima kakek nenek dekil ke ruangan kerja, hanya untuk untuk mendengar curhat.
“Pak Jokowi memang tetap sebagaimana orang biasa.”
“Pak Jokowi juga komit tak pakai foreider. Saya lihat sendiri ketika mobil Kijang B 1123 RFR-nya ke luar rumah di Taman Suropati”
“Saya optimis gubernur kita bisa memberikan asuransi kesehatan dan gratis bagi kami kalangan bawah,” ujar Salim.
Saya potong kalimat Salim. Saya ceritakan bahwa pada 5 Oktober lalu sempat satu pesawat dengan Jokowi di penerbangan pertama Lion Air, Solo-Jakarta. Di pagi sekitar 05.30 itu di terminal kedatangan Bandara Adi Soemarmo, beberapa orang minta berfoto bersama. Masuk ke terminal, masih banyak yang ingin berkodak. Di saat agak luang, barulah saya dapat menyalaminya, mengucapkan selamat.
Menunggu waktu boarding, Jokowi tak memilih Executive Lounge di Bandara. Kami duduk di kedai biasa di lantai dua. Di saat menunggu satu dua petugas bandara ada yang minta berfoto bersama. Jokowi menggeret sendiri tas bermerk Rich Polo hitam-nya buatan lokal.
Mendarat sejam kemudian, beberapa petugas bandara Soekarno-Hatta, mengarahkan Jokowi ke jalur VVIP. Jokowi menjawab dengan tersenyum, “Ah tidak saya nganan aja.”
Sebagaimana penumpang biasa, Jokowi menaiki bis. Berdiri. Saat itulah saya jabat tangannya lagi, saya katakan: Selamat lagi, Anda tetap teman!
Di samping Jokowi di dalam bis yang mengantar ke terminal kedatangan, beberapa petugas bandara meminta berfoto bersama lagi. Para penumpang sepesawat lainnya ikutan, tanpa mempedulikan kaki dan tas saya mereka injak-injak. Keadaan demikian tak membuat wajah Jokowi berubah. Giginya tampak terbuka dengan senyum sumringah.
Keluar terminal kedatangan, lebih meriah lagi yang ingin menyalami. Saya sudah menduga akan ada mobil yang menjemput ber-foreider. Ternyata tidak. Kami berjalan menyeberang ke parkir. Sebuah Kijang sewaan sudah menunggu. Di depan mata dan kepala saya Jokowi masih sama. Padahal posisinya sudah Gubernur DKI Jakarta, walaupun belum dilantik resmi di tanggal 5 itu.
Sepuluh hari kemudian publik menyimak pelantikannya sebagai Gubernur. Beberapa kawan ada yang meminta tolong mencarikan undangan untuk bisa hadir di pelantikannya. Saya katakan; saya saja tidak berminat hadir di acara seremoni seperti itu, apalagi setahu saya jatah untuk partai hanyalah 10 saja. Konon karena keterbatasan undangan itulah dibuatkan panggung rakyat di kawasan jalan Merdeka Selatan.
Selanjutnya event pelantikan 15 Oktober pagi itu tak begitu saya simak.
Saya lebih tertarik menyimak perjalanan Jokowi berbaju biasa, putih, turun ke lapangan. Saya pernah berseloroh kepadanya, nanti kalau sudah jadi gubernur giliran ke lapangan pakai baju putih saja, jangan pula pakai emblim Jengkol kuningan di dada. Muak orang!
Saya senang Jokowi kemarin sudah naik ke Metromini yang acap saya ceritakan. Di mana jok penumpang besi, suspensi mati. Di jalanan pantat terasa bak duduk di atas besi-berlantakkan-besi. Di bagian depan cerobong angin mesin berpralon berbau oli hangus. Dinding-dinding besi busuk. Jendela kaca komprang-komprang. Miris, kendaraan itu ada mengepulkan asap hitam di sepanjang jalan ibukota negara yang katanya beradab.
Metromini, Kopaja, demikian, selama ini dibiarkan.
Saya juga menanti Jokowi naik bemo di Bendungan Hilir ke Tanah Abang.
Saya juga senang mendengar kalimat Jokowi mengatakan Monorail akan dilanjutkan pembangunannya. Bahkan MRT juga, kendati secara terang-terangan Jokowi bilang, “Saya akan mencek dulu biayanya, apakah sudah rasional, sehingga tak membebani rakyat ke depan.”
Dengan mencium langsung keadaan, saya percaya pemimpin dapat memahami medan, pasti berambisi mencarikan solusi. Seperti yang dilakukan Jokowi mengunjungi rumah susun bagi menampung warga bekas gusuran Kanal Timur.
Dibangunkan sarana seperti itu, kondisinya mabal; jendela sudah copot, dinding bagaikan bak sampah kumuh, air kadang tak menyala. Dalam keadaan demikian siapa betah menetap. Dan Jokowi datang dengan solusi memerintahkan pearawatan fasilitas dan sarana umum lain dilengkapi, jika perlu disubsidi hingga tiga tahun.
Tadi malam di pukul 23, saya mendatangi kediaman dinas Jokowi di Taman Suropati, sebagaimana disebutkan Salim. Rumah itu selalu melekat di hati saya, karena acap main woodball di rumput taman di depan rumah dinas itu. Sesuai janji, saya ingin berjumpa ajudannya, menjelaskan sebuah event yang kami gagas tanggal 25 Oktober 2012 nanti.
Melewati bagian samping rumah dinas itu, terus ke belakang di samping taman hijau. Saya perhatikan tampak lebih luas taman belakang rumah dinas Walikota Solo. Bau cat menyengat. Rupanya beberapa bagian rumah sedang dipoles ulang.
Saya dibukakan pintu kamar ajudan oleh seorang petugas. Ternyata yang bersangkutan sudah sangat lelap. Saya perhatikan sosoknya kelelahan. Diinfokan pula, Jokowi juga sudah istrahat, pukul 4 pagi sudah harus ke Bandara, hendak ke Solo.
Ketika tulisan ini saya naikkan, ia sudah berada di Solo.
Sambil minum kopi pagi, saya membayangkan kebutuhan SOS: 33 orang lagi seperti Jokowi. Saya teringat akan kalimat Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo, mengatakan ke media awal pekan ini, bahwa Otonomi Daerah hanya menghasilkan raja-raja kecil.
Dan kekecualiaan, di diri Jokowi jauh dari langgam ke-amtenar-an.
Salim, abang bajaj pengantar anak saya sekolah selalu bergairah jika sudah bicara Jokowi. Ia kian bersemangat bekerja. Ia berharap ada program peremajaan bajajnya kelak. Sebuah harapan tidak muluk-muluk. Dan saya yakin berjibun harapan, doa, lainnya datang dari berbagai warga. Dan saya percaya, selagi Jokowi masih mencium bau keringat warganya, selalu saja ada jalan perbaikan peradaban.
catatan Iwan Piliang