Darsih terpekur di sudut
ruangan ukuran 3×3 meter persegi. Diselonjorkannya kakinya di lantai
semen yang dingin dan hitam. Punggungnya bersandar di tembok yang sudah
tak jelas warnanya, lumutan pula. Baru saja ia nonton tipi di ruang
istirahat sipir penjara. Darsih memang akrab dengan mereka. Meski
dirinya tahanan miskin yang tak pernah memberikan apapun untuk sipir,
tapi jemari Darsih kerap menjadi solusi kalau ada sipir yang merasa
penat dan butuh dipijat.
Tadi di tipi ia lihat ada ibu artis yang katanya
ditahan di rutan. Darsih sering melihat wajah cantik wanita itu di tipi,
baju-bajunya bagus-bagus. Anak-anaknya cantik dan ganteng. Tahun lalu,
Darsih nonton di tipi juga, suami artis cantik itu meninggal dunia. Lalu
entah kenapa, setahun terakhir ini si artis cantik itu makin sering
masuk tipi, katanya ia dituduh korupsi. Si artis cantik itu katanya
minta ditahan di rumah saja, biar bisa mengasuh anaknya, karena bapaknya
sudah tiada.
Tatapan mata Darsih nanar. Tiba-tiba ia ingat
keempat anaknya di kampung. Suaminya yang sopir truk sudah lama
meninggal. Dengan pendidikan yang cuma tamat SMP dan tak punya
ketrampilan apa-apa, Darsih terpaksa merantau ke kota jadi pembantu
rumah tangga, demi anak0-anaknya bisa sekolah. Darsih sudah bertekad,
anak-anaknya harus sekolah tinggi, jangan seperti dirinya dan suaminya.
Beruntung ia dipercaya penuh oleh majikannya, untuk mengurus rumah dan
menjaga anak semata wayang majikannya yang masih balita.
Sampai suatu kali, adiknya datang dari kampung,
diutus emaknya. Anak pertamanya, laki-laki, sudah kelas 3 SMP, minta
melanjutkan sekolah ke SMA di kota. Anak keduanya, perempuan, juga sudah
kelas 6 dan mau melanjutkan ke SMP tempat kakaknya sekolah. Anak
ketiganya, laki-laki, sudah kelas 5 SD dan minta disunatin kalau liburan
kenaikan kelas. Katanya malu jadi olok-olok temannya, karena di kampung
anak seusianya sudah disunatin. Anaknya yang bungsu, masih kelas 2 SD,
memang belum butuh biaya ekstra. Adiknya minta Darsih bisa menyiapkan
uang untuk keperluan anak-anaknya itu. Bulan depan, adiknya akan datang
lagi.
Darsih yang tak tahu cara memenuhi kebutuhan
anak-anaknya, akhirnya curhat pada tukang ojek yang biasa mangkal di
jalan depan komplek. Tukang ojek langganan yang biasa mengantarnya ke
pasar. Dari dari Maskun di tukang ojek inilah Darsih mendapat ide
“menculik” anak majikannya. Lalu minta tebusan sekian juta, nanti si
anak dilepas lagi. Maskun yang akan mengatur semuanya. Darsih cukup
berpura-pura sakit dan hari itu lalai mengunci pintu pagar rumah sampai
si kecil bermain sendiri keluar halaman rumah. Maskun janji anak itu tak
bakal diapa-apakan. Darsih sebenarnya sayang pada anak majikannya,
tapai apa boleh buat, ini satu-satunya cara ia bisa mendapat uang
banyak, bagi berdua dengan Maskun yang juga butuh uang untuk istrinya
yang bakal melahirkan.
Sayangnya, skenario tak semulus rencana Maskun.
Darsih yang tak pintar berbohong, segera ketahuan Polwab yang
menginterogasinya, kalau ia bohong. Akhirnya terbongkarlah semua.
Celakanya lagi, rupanya si kecil rewel saat disembunyikan Maskun. Karena
tak tahan dengan rengekannya, Maskun semoat memukulnya sampai lebam.
Jadilah Darsih dan Maskun terdakwa penculikan dan penganiayaan pada anak
di bawah umur.
Kini, sudah tahun ketiga ia mendekam di penjara
ini. Anak pertamanya urung masuk SMA. Ia jadi pengangguran, kerja
serabutan, bahkan kata adiknya anaknya ikut-ikutan nyopet di pasar atau
memalak pemilik lapak. Sudah beberapa kali anaknya digebuki massa karena
ketahuan saat mencopet. Ditahan polisi juga pernah. Ah…, anaknya yang
masih umur 18 tahun itu kini sudah jadi penjahat kecil. Sementara anak
perempuannya, meski sempat disekolahkan ke SMP oleh adiknya, hanya 2
bulan bertahan lalu mogok sekolah. Malu disekolah diledekin
teman-temannya karena ibunya masuk penjara. Kini anaknya jadi pelayan
toko Babah Ahong di pasar kota. Darsih Cuma berharap, semoga saja anak
perempuan satu-satunya ini tak sampai jual diri.
Anaknya yang ketiga dan keempat masih sekolah,
dengan biaya dari adiknya.
Darsih tak pernah tahu pasti seperti apa
perkembangan anak-anaknya. Mereka tak pernah menjenguknya, hanya adiknya
yang 3-4 bulan sekali menengoknya. Darsih meminta adiknya tak mengajak
serta anaknya.nanti malu melihat ibunya pakai baju tahanan di penjara.
Darsih juga ingat Warsinah. Buruh cuci ini
ditinggal suaminya yang jadi TKI illegal ke Malaysia. Sayang, setelah
hampir setahun menunggu, suaminya tak kunjung mengiriminya uang.
Terpaksalah Warsinah jadi buruh cuci, demi menghidupi 2 anaknya yang
masih balita. Yang pertama masih umur 3 tahun dan si kecilmasih umur
setahun. Anak-anak Warsinah kurang gizi, maklum, Warsinah tak mampu
memberinya asupan makanan bergizi. Tergiur iklan susu bayi dan balita di
tipi tetangga, Warsinah nekad ke supermarket, pakai baju longgar
rangkap 2 plus jaket. Dari supermarket itu ia bisa mengutil 2 box besar
susu bayi dan balita. Dan…lolos!
Pengalaman sukses pertama, membuat Warsinah ingin
mengulanginya lagi.Apalagi anaknya tampak lebih sehat setelah rutin
minum susu. Ketika susu habis, Warsinah mengulang aksinya. Kali ini yang
diambilnya lebih banyak. Lalgi-lagi sukses! Kali ketiga, ini hari apes
buatnya. Aksinya terekam kamera CCTV dan seorang pramuniaga
mencurigainya karena jalannya yang seolah terseok-seok. Ia pun diproses
security supermarket lalu dibawa ke Polsek terdekat. Meski sudah jujur
mengaku baru 3 kali itu mengutil sus, tapi pihak supermarket tak
percaya. Warsinah tetap dituduh sebagai malaing yang sudah beraksi
berbulan-bulan.Akhirnya…, penjaralah akhir dari aksinya.
Karena di rumah tak ada yang mengasuh, anak
Warsinah yang baru berumur setahun ikut tinggal di penjara. Anaknya yang
umur 3 tahun dititipkan tetangga yang bersedia mengasuhnya. Kini si
kecil sudah umur 2,5 tahun. Kakaknya mestinya sudah waktunya masuk TK.
Tapi Warsinah tak pernah tahu kabar anaknya. Ia sudah cukup bersyukur
tetangganya mau mengasuh anaknya sementara ia menjalani hukuman. Tak
mungkin ia meminta tetangganya rajin menengoknya sambil membawa anaknya.
Warsinah membunuh rasa rindu pada anaknya dengan mencari kesibukan di
rutan, belajar menjahit supaya nanti bisa kerja di pabrik garmen kalau
sudah bebas.
Teman satu sel-Darsih yang lain, Tuning, punya
cerita lain lagi. Lelaki yang dijodohkan dengannya ternyata bukan orang
baik-baik. Wajah tampannya bertolak belakang dengan sifat buruknya.
Suaminya gemar memukul, apalagi kalau pulang malam hari dalam keadaan
mabok berat. Tuning sampai muak harus membersihkan muntahannya. Tak
hanya kerap main pukul, suaminya juga suka main perempuan. Sekali waktu,
Tuning yang kelelahan sepulang dari bekerja sebagai SPG di sebuah
minimarket, mendapati suaminya sedang mencumbu perempuan lain di
kamarnya. Gelap mata, pisau dapur pun menjadi senjata Tuning menusuk
suaminya. Terlalu banyak darah yang keluar, nyawa suaminya tak
tertolong.
Jadilah Tuning yang sedang hamil 6 bulan digiring
ke penjara. Di penjara inilah Tuning melahirkan bayi pertamanya yang
begitu lahir sudah menyandang statua anak yatim. Di penjara ini pula
Tuning menyusuinya, membesarkannya, sampai kini usianya sudah 3 tahun.
Masih 4 tahun lagi tuning akan menjalani hari-harinya di penjara. Entah
bagaimana nanti kalau anak itu sudah waktunya masuk sekolah. Dilahirkan
dan dibesarkan di penjara, membuat anak Tuning cepat beradaptasi dengan
siapa saja. Ia cepat lancar bicara, dan kini bahkan sudah fasih memaki.
Maklumlah, teman-temannya para napi wanita.
——————————————————————————-
Darsih sekali lagi tercenung. Kenapa tak ada yang
peduli pada nasib anaknya, anak Warsinah dan anak Tuning? Banyak lahi
perempuan-perempuan yang terpaksa menghuni penjara dengan berbagai
alasa. Ada yang terpaksa meninggalkan anaknya, ada juga yang terpaksa
membawa serta anaknya ke balik jeruji penjara. Tak pernah ada yang
memikirkan bagaimana perkembangan anak-anak itu, yang terpisah dengan
ibunya maupun yang hidup bersama ibunya di dalam penjara. Darsih,
Warsinah dan tuning tak paham apa itu “perkembangan psikologis”. Bagi
mereka, anak-anaknya bisa hidup, cukup makan, itu saja sudah bagus.
Darsih juga ingat anak lelaki ksulungnya. Kabar
dari adiknya, anaknya itu pernah 2x kali babak belur dihajar massa saat
apes ketahuan mencopet dan pernah pula ditahan Polisi. Tak ada yang
menjenguk anaknya, meski umur anaknya masih di bawah 18 tahun. Darsih
ingin bisa menemui lelaki berkacamata dengan wajah bulat dan senyum
sabar yang sering muncul di tipi. Katanya namanya Kak Seto. Darsih ingin
memintanya menengok anak lelakinya yang kini kembali ditahan. Darsih
juga ingin minta Kak Seto memerika anaknya, anak Warsinah dan anak
Tuning, agar mereka bisa minta ditahan di rumah saja, agar bisa menemani
anaknya.
Ah…sayang…, ia cuma seorang tahanan yang bodoh,
lugu dan tak punya uang. Ia tidak seperti ibu artis yang cantik yang
dilihatnya di tipi. Biarlah…, Darsih percaya, Tuhan yang akan menjaga
anak-anaknya. Darsih juga percaya, Tuhan ayang akan menuliskan jalan
hidup anak Warsinah dan Tuning, meski mereka dibesarkan di penjara sejak
bayi. Maafkan Ibu, Nak, keadilan memang hanya untuk orang yang punya
duit….
catatan Ira Oemar Freedom Writers Kompasianer